Buletinmitsal.com – Keputusan Pengadilan Pidana Internasional (ICC) untuk memulai investigasi penuh terhadap kejahatan Israel disambut baik oleh Palestina, dan sebaliknya sangat ditentang oleh rezim Zionis.
Ketua Jaksa Penuntut ICC, Fatou Besouda, Jumat (20/12) menuturkan ia akan meminta ICC untuk segera mengumumkan keputusan penyelidikan atas kejahatan Israel di Tepi Barat, Jalur Gaza dan Qods Timur setelah meluncurkan investigasi awal pada Januari 2015 lalu. Saat itu, Besouda melakukan penyelidikan terhadap dugaan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan di wilayah Palestina menyusul perang Gaza pada 2014.
Sejak pengumuman keputusan itu, muncul dua pandangan yang berlawanan; Palestina di satu sisi, dan rezim Zionis bersama Amerika Serikat di sisi lain.
Pihak Palestina memandang keputusan ICC ini sebagai kemenangan keadilan. Oleh karena itu, mereka menyambut keputusan tersebut. Saeb Erekat, Sekretaris Komite Eksekutif Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), mengatakan keputusan Fatou Besouda adalah langkah positif dan berani serta pesan untuk mewujudkan keadilan.
Sebaliknya, Amerika Serikat dan rezim Zionis menyebutnya sebagai hari gelap bagi keadilan, dan mengklaim keputusan itu ilegal. Benjamin Netanyahu mengatakan,”Ini adalah hari hitam untuk kebenaran dan keadilan. Keputusan ini tidak berlaku.” Jaksa agung rezim Zionis juga menekankan bahwa Pengadilan Pidana Internasional tidak memiliki yurisdiksi untuk menyelidiki kasus ini.
Pejabat AS dan rezim Zionis mengklaim keputusan ini ilegal. Padahal berdasarkan Pasal 15 ICC, jaksa penuntut sendiri bisa mengeluarkan instruksi penyelidikan kasus itu. Tindak lanjut penyelidikan terhadap suatu kasus ditentukan oleh keanggotaan suatu negara. Tetapi jika negara tersebut bukan anggota ICC, maka Dewan Keamanan PBB atau Jaksa Penuntut dapat melimpahkan kasus tersebut ke ICC. Dengan demikian, secara hukum keputusan Besouda untuk meluncurkan investigasi terhadap kejahatan Israel secara hukum berada dalam kerangka Statuta ICC.
Poin lainnya, keputusan jaksa penuntut juga merupakan keputusan hukum, bahkan bisa dikategorikan masuk dalam bentuk doktrin “tanggung jawab untuk perlindungan”. Berdasarkan doktrin ini, pelanggaran berat hak asasi manusia di suatu wilayah dapat menjadi dasar bagi intervensi internasional. Dari aspek esensinya, apa yang dilakukan Israel di wilayah-wilayah pendudukan, khususnya di Tepi Barat sebagai contoh nyata dari kejahatan yang disebut dalam Statuta ICC, termasuk kejahatan perang.
Pasal 8 Statuta ICC ini mencakup tindakan pembunuhan yang disengaja, penahanan atau penyiksaan, melukai atau merusak tubuh atau harta benda, meluasnya penghancuran atau penyitaan properti sipil yang tidak dibenarkan, perampasan hak tahanan untuk diadili secara sah dan adil, pengasingan atau pemindahan tahanan secara ilegal, penyerangan atau pemboman terhadap kota-kota dan desa-desa dan daerah pemukiman sipil yang bukan target militer, serta memaksakan kelaparan terhadap warga sipil telah sebagai contoh kejahatan perang.
Semua kasus ini telah dilakukan oleh rezim Zionis terhadap orang-orang Palestina, terutama di Gaza. Dari aspek blokade Jalur Gaza saja, setidaknya satu setengah juta orang Palestina terancam kehidupannya dan menghadapi kelaparan parah, penyakit dan kemiskinan. Oleh karena itu, keputusan Fatou Besouda sepenuhnya sah dan didasarkan pada permohonan penyelidikan yang disampaikan Palestina di tahun 2015.
sumber: Parstoday