Di Qom misalnya, pada Ferbruari lalu, ulama dan cendikawan Muslim dari berbagai negara duduk bersama untuk membahas metode pendekatan (taqrib) di antara mazhab-mazhab Islam. Forum internasional yang sepenuhnya dibiayai Republik Islam Iran itu menandakan perhatian yang serius pada masalah ekstremisme dalam mazhab-mazhab Islam, khususnya Syiah.
Tampil sebagai keynote speaker, Ayatullah Muhsin Araki, tanpa tedeng aling-aling langsung melayangkan kritik pedas pada kelompok yang disebut sebagai ‘Syiah Ekstrimis’. Selain menyerang simbol-simbol yang dihormati oleh Sunni, Syiah ekstremis ini juga gemar melakukan “tathbir”, yaitu upacara memukul kepala mereka sendiri dengan benda tajam yang menyebabkan darah mengalir dalam rangka memperingati wafatnya Imam Husain. Menurut Araki, sikap dan perilaku Syiah ekstrimis itu ingin menggiring umat Islam pada perpecahan dan menggambarkan Syiah sebagai ajaran ekstrim di mata dunia. Bagi Araki, kelompok Syoah ekstrimis yang berbasis di Amerika Serikat (AS) dan Inggris ini ingin membuat Syiah sama ekstrimnya dengan kelompok ultra puritan seperti Islamic State (ISIS).
Menurut laporan situs Al Monitor, orang-orang yang dimaksud dengan ‘Syiah Ekstrimis” oleh Araki ialah mereka yang tergabung dalam ‘Shirazian’. Kelompok ini merujuk pada para pengikut Ayatullah Shadiq Shirazi, ulama kelahiran Karbala yang saat ini berdomisili di Qom dan megasuh 19 TV satelit dalam bahasa Persia, Arab, Inggris dan Turki. Sebagian TV itu memiliki pusat stasiun siaran di Inggris, seperti TV Khadijah di Peterborough dan TV Al Zahra di Harrow, London, Inggris. Tak ayal, mereka pun disebut sebagai “Syiah MI6” sehubungan dengan sebagian mesin dakwahnya yang disokong oleh London. MI6 merupakan sebutan buat badan intelijen rahasia terkemuka Inggris.
Melalui semua TV satelit yang bisa diakses dari berbagai negara itu, Shirazian secara terang-terangan ‘menyerang’ para sahabat dan istri Nabi–suatu sikap yang diharamkan oleh pemimpin tertinggi Iran, Ayatullah Sayyid Ali Khamenei. Dalam pidatonya pada September 2013, Ali Khamenei yang juga marja’ Syiah ini menyebut “Syiah MI6” ini sebagai salah satu musuh Iran di samping AS dan Israel. Menyinggung mereka yang senantiasa menumpahkan bensin untuk membakar konflik Sunni-Syiah, Khamenei megatakan “Syiah yang dipropagandakan melalui media massa London dan Amerika dengan target memecah belah umat tidaklah berada di jalur Syiah yang sesungguhnya.”
Pengikut Shirazian yang termasuk anti pemerintahan Islam Iran itu sebenarnya memiliki latar belakang sejak Iran masih di bawah rezim Syah. Ketika masa pengasingan di Irak karena menentang rezim Syah, Imam Khomeini sempat ke Karbala, tempat Imam Husain, cucu Nabi Muhammad, dimakamkan. Tidak seperti kebanyakan ulama Irak yang tidak suka pada Khomeini, kakak Shadiq Shirazi yang bernama Ayatullah Muhammad Shirazi yang tinggal di Karbala menerima Khomeini dengan tangan terbuka. Sikap baik Shirazi ini diketahui Khomeini bertujuan untuk memanfaatkan dirinya dalam persaingan antara Karbala dan Najaf sebagai pusat Syiah di Irak. Alih-alih tinggal di Karbala, Khomeini akhirnya memutuskan untuk tinggal di Najaf. Sikap inilah yang lantas membuat Shirazi kecewa.
Ketika intimidasi rezim Saddam pada Syiah kian buas, Shirazi mengungsi ke Qum, Iran. Pasca tumbangnya rezim Syah, obsesi Shirazi untuk mendapatkan bagian kekuasaan pada pemerintahan baru diketahui oleh Khomeini. “Imam Khomeini sangat cerdas dan memahami politik di hauzah-hauzah (pesantren)” kata Mehdi Khalaji, anggota senior di Washington Institute untuk kebijakan Timur Tengah. “Dia tahu nama dan kredibilitas Shirazi tidak baik di mata kebanyakan warga Qom maupun Najaf. Agaknya pengucilan ini memperkuat sikap pengikut Shirazian untuk menjadi oposisi pemerintahan bentukan Khomeini hingga kini.”
Adalah wajar jika Khamenei menyebut ‘Syiah MI6’ ini musuh Iran yang tidak kalah bahayanya dengan AS dan Israel. Dalam perjalanan kepemimpinan Khamenei, Shirazian pernah terlibat dalam apa yang disebut dengan ‘revolusi hijau’ pada pemilu 2009 di Iran. Meski Shirazi menjadi tahanan rumah, tapi jaringan internasional pengikutnya cukup membuat Iran kerepotan melawan mereka. Ketika pemerintahan Iran mendukung program Pekan Persatuan Sunni-Syiah, program berbagai jaringan TV Shirazi yang disokong Barat itu justru mengkampanyekan apa yang mereka sebut dengan Pekan Bara’ah. Meminjam istilah dalam Al-Qur’an, Bara’ah diartikan sebagai ‘berlepas diri’ atau memutus hubungan dengan mereka yang dianggap kafir, termasuk sebagian sahabat yang dihormati mayoritas umat Islam.
Salah satu TV jaringan Shirazi adalah TV Salam yang disiarkan dari California. TV ini kerap mengkampanyekan slogan kemurnian Islam, mirip dengan kampanye kaum ultra puritan ‘Salafi’. TV Salam, di bawah asuhan Mohammad Hidayati, menyerang Khomeini bukan karena dianggap politkus fundamentalis tapi disebabkan dia membuat Islam (baca: Syiah) jauh dari “kemurniannya”. Bagi Hidayati, yang kerab muncul di program VOA, Khomeini dan penggantinya Khamenei telah mencampur aduk Islam dengan ajaran tasawuf dan filsafat. Dari London, Ayatullah Mujtaba Shirazi, adik Shadiq yang kini menetap di London, dan menantunya Yasser Habib, tidak jarang tampi di TV Fadak untuk ‘menyerang’ para sahabat dan istri Nabi. Yasser Habib, yang dikenal dengan bukunya “Prostitute: The Other Face of Aisha”, memusatkan aktivitas dakwah ekstremisnya di London setelah diusir dari tanah airnya, Kuwait, karena menyebarkan propaganda anti-Sunni.
Di Zurich, Muhammad Ahmadi, salah satu pendukung Shirazi, menolak tuduhan “menyerang Sunni” dan mengklaim tuduhan itu sebagai ‘pernyataan propaganda’. Bagi pria kelahiran Isfahan-Iran ini, Shirazi percaya pada “koalisi politik tapi tidak dengan teori persatuan” dengan Sunni. Kelompok seperti Shirazi ini, menurut Mehdi Khalaji, tetap akan sulit diterima oleh mayoritas masyarakat Iran dan arus utama Syiah karena sikapnya yang tidak moderat dan ‘anti-modernisme’. Stasiun TV Shirazi, misalnya, tidak pernah memberi ruang bagi perempuan untuk tampil di publik. Demikian juga mereka sepenuhnya menolak program-program kesenian seperti musik. Pada tahun lalu mereka ikut dalam pemilu di Irak tetapi gagal meraih walau hanya satu kursi, bahkan di Karbala yang menjadi basis politik gerakan ini sekalipun.