Seiring perkembangannya seluruh nusantara menjadi umat Muslim setia, bahkan menjadi umat mayoritas Muslim dibanding dengan Negara-negara muslim lainnya di Muka bumi. Perjuangan para penyiar Islam mulai dahulu sampai sekarang sehingga menjadi umat mayoritas, bukanlah kerja sulapan yang instan atau kebetulan tetapi itu dilakukan dengan berbagai metode, cara, strategi berdakwah yang panjang dan berliku. Baik pendakwah atau santri itu sebagai seorang individu maupun masyarakat itu sendiri. Mereka sungguh besar pengorbanannya sebagai modal menyebarkan ajaran-ajaran santri. Salah satu strategi yang dipilih oleh santri penyebar Islam awal adalah aspek materi ajaran yang disampaikan kepada masyarakat yang mendiami bumi Nusantara ini. Taruhlah materi fiqih ibadah yang mengikuti madhhab Syafi’i. Pemilihan madhhab syafi’i sebagai bahan ajar masyarakat Indonesia ini bukanlah tanpa alasan, tepai memang itu sudah diperhitungkan oleh para ulama, sehingga fiqih yang disampaikan nanti dapat dipraktikkan oleh masyarakat tanpa merasa terbebani dan terpaksa, di samping nuansa religiusitas madhhab syafi’i yang begitu kuatnya. Patut disyukuri akhirnya pilihan madhhab syafi’i sebagai praktik hukum yang diamalkan sehari-hari membuat masyarakat menjadi lebih nyaman dan khidmah, yang menambah semakin kuatnya Muslim di tanah Nusantara menerima ajaran ini.
Di samping itu para santri awal dulu begitu cerdiknya dalam menyampaikan ajaran-ajaran agama Islam. Peranan perangkat dakwah saat Islam awal begitu kentara dalam sejarah perjuangan Islam di Indonesia. Kita bisa lihat tentang budaya wayangan, selamatan, arsitektur masjid, nama-nama bayi penduduk Indonesia yang selalu dari kata-kata arab, dapat dikatakan hasil akulturasi Islam dengan budaya masyarakat kala itu. Dengan melakukan akulturasi budaya para santri dahulu tidak usah repot-repot menjelaskan Islam dengan pendekatan formalitas teks, tetapi dengan budaya, masyarakat dengan sendirinya mengamalkan Islam tanpa merasa tertekan atau terpaksa.
Begitu juga strategi penyampaian Islam model santri dulu dapat dikatakan dengan multi perspektif dan cara. Artinya para pejuang Islam tempo dulu tidak hanya menyerah dalam satu cara saja, tetapi memakai berbagai pendekatan dan cara sampai masyarakat menerimanya. Sesuai dengan pepatah Jawa,” Pring Buntet Dingge Sulingan, Ora iso metu ngarep yo metu iringan”. Artinya para da’i dulu sebenarnya mempunyai kecerdasan social yang begitu tinggi sehingga tahu bagaimana menyampaikan ajaran Islam dengan budaya masyarakat seperti itu. Ini mungkin dapat untuk contoh bagi penda’i masa sekarang, dengan tantangan lebih berat dan lebih komplek dalam menyampaikan ajaran Islam. Jangan sampai karena salah dalam memilih strategi berdampak melemahkan Islam itu sendiri, yang didapatkan Islam bukan simpati masyarakat tetapi Islam diklaim sebagai umat yang arogan karena sering menampilkan kekerasan dan premanisme.
Sebenarnya yang patut kita contoh dari para santri tempo dulu lagi adalah kemampuan retorika penyampaian ajaran yang begitu baik, memukau bahkan kadang membius para orang-orang yang mendengarkannya. Sejak awal Islam masuk di tanah air dulu sampai sekarang kita banyak sekali mempunyai para mubaligh atau da’i yang menyampaikan hikmah-hikmah kehidupan. Sehingga metode ini samapai sekarang menjadi metode yang mujarap bagi para penyiar Islam. Bahkan tidak jarang para santri pesantren mempunyai cita-cita untuk menjadi seorang mubaligh atau da’i. Mungkin budaya oral masih menjadi pilihan terbaik, dikarenakan human Resourch kita yang yang juga belum begitu baik. Ini terbukti acara dikampung-kampung ketika memperingati hari besar Islam, mereka mendatangkan para mubaligh yang bisa melucu dan memberikan motivasi dalam pengamalan ajaran agama. Tetapi ketika di sampaikan dakwah Islam dengan cara yang formal, resmi, terkesan membebani dan menekan, masyarakat kita malah tidak simpati dan meninggalkan acara dakwah tersebut.
Tidak kalah penting santri dalam menyampaikan dakwahnya dilakukan dengan sikap totalitas. Maknanya dia dalam meyampaikan ajaran selalu berbekal ilmu dan amal, lahir dan bathin, fisik dan psikis. Para kyai-kyai salaf al-shalih dulu selalu berpesan kepada santri seniornya untuk mengajar dan berdakwah kepada lingkungan masyarakatnya masing-masing. Para santri ketika sudah pulang harap mengamalkan ilmu, mau mengajar, berdakwah menyampaiakan ilmu. Dengan menyampaikan ilmu seorang santri dapat memanfaatkan ilmunya baik untuk dirinya dan orang lain. Sesuai dengan dalil nabi Saw. “Khairu al-Nas Anfauhum li al-Nas, sebaik-baik manusia adalah orang yang lebih bermanfaat untuk manusia yang lain”. Bisa dipahami seorang santri harus berusaha untuk kontekstualisasi ilmunya di lingkungannya masing-masing.
Lebih sempurna lagi para pejuang Islam dahulu dalam mengamalkan ajaran Islam tidak hanya berbekal ilmu-ilmu dhahir, misalnya fiqih, hadits, al-qur’an dan lain-lain, mereka juga mempunyai sejumlah laku spiritualitas (batin-rohani) sebagai bagian dari mengamalkan ajaran Islam dalam perspektif yang lain. Kita tentu ingat beberapa kyai-kyai dahulu yang menurut penilain masyarakat selalu mempunyai kemampuan linuwih disbanding dengan orang-orang muslim kebanyakan. Ini dikarenakan mereka tidak hanya mengamalkan Islam secara lahir, tetapi juga mengamalkan Islam secara ruhani-batin berdasarkan ilmu yang diadapatkan dari guru-guru mereka. Ini dapat dilacak dari biografi ulama Nusantara sebagaian besar kyai selalu mempunyai amalan-laku spiritual yang mereka jalankan sehingga mereka diberi oleh Allah kemampuan yang lebih disbanding orang-orang awam seperti kita. Amalan-amalan itu dilakukan secara tertib dan disiplin, seperti bacaan wirid, puasa sunnah, sholat malam, memperbanyak shodaqah dan lain sebagainya. Kita tentu sering melihat kisah-kisah spiritualitas Syekh siti Jennar, Wali Songo, KH Mahrus Ali Lirboyo, Gus Mik Ploso, KH As’ad Situbondo, KH Hamid Pasuruan dan sejumlah kyai berpengaruh lainnya. Mareka-mereka selain mengajrakn ilmu-ilmu dhohir juga dipersepsikan mempunyai ilmu bathin oleh mayoritas penduduk Muslim di Tanah Jawa ini.
Artinya fenomena santri dalam mengawal pertumbuhan dan perkembangan Islam Nusantara ini, mempunyai dinamika yang komprehensif yang selalu unik, menarik untuk dilakukan penelitian-penelitian, baik oleh sarjana dalam negeri maupun lkuar negeri. Sehingga tidak heran kalau kemudian dikatakan profil santri itulah sebenarnya pioneer Islam nusantara melekat di Bumi Indonesia. Baik dari sisi amaliyah, ilmiyah maupun ruhaniyah ajaran Islam dikontektualisasikan dalam bumi Nusantara. Wa Allahu A’lamu bi al-Shawab.