Buletinmitsal.com – Transformasi Timur Tengah atau Asia Barat selama beberapa hari terakhir diwarnai sejumlah isu penting di antaranya mengenai perkembangan aksi unjuk rasa di Lebanon yang berujung kerusuhan dan terhambatnya pembentukan kabinet baru di negara Arab ini.
Selain itu, patroli militer Rusia dihadang pasukan AS di ladang minyak Suriah, Arab Saudi berupaya mendekati Suriah, dan masalah pelanggaran HAM luas yang dilakukan rezim Al Saud. Dari Irak, pemerintah Baghdad menolak permintaan Washington supaya mencabut kesepakatan dengan Cina.
Babak Baru Demonstrasi di Lebanon
Kerusuhan kembali terjadi di Beirut Sabtu malam (18/1/2020) yang menyebabkan sekitar 200 orang terluka dan puluhan ditangkap aparat keamanan Lebanon. Gelombang baru demonstrasi di Lebanon dimulai Senin lalu, tetapi semakin memuncak sejak para pemrotes hari Selasa menyerukan aksi protes anti-pemerintah, yang disebutnya sebagai “pekan kemarahan”. Kemarin, aksi protes berujung kerusuhan yang dipicu bentrokan antara pengunjuk rasa dengan pasukan keamanan Lebanon. Pertanyaannya, apa penyebab terjadinya gelombang baru protes massa di Lebanon?
Tampaknya ada dua faktor, yang menjadi pemicu utamanya. Masalah kebijakan ekonomi pemerintah Saad al-Hariri dan ketidakmampuan Perdana Menteri Hassan Diab untuk membentuk kabinet baru.
Pemerintah Saad al-Hariri baru-baru ini memberlakukan batasan 1.000 dolar AS perbulan untuk penarikan dari rekening valuta asing. Kebijakan tersebut menyulut gelombang demonstrasi baru. Tidak heran jika sasaran para pengunjuk rasa adalah Bank Sentral Lebanon. Protes yang dimulai sejak 17 Oktober 2019 telah menyebabkan pengunduran diri Saad al-Hariri dari jabatan perdana menteri, dan juga memiliki akar ekonomi berkaitan dengan pengenaan pajak atas panggilan telpon dengan aplikasi Whats apps.
Hal ini menunjukkan bahwa ekonomi dan mata pencaharian adalah penyebab utama protes di Lebanon. Kini, setelah aksi protes tiga bulan berlalu, tidak ada perubahan signifikan dalam kebijakan ekonomi pemerintah Lebanon, tetapi terjadi pembatasan baru yang memperburuk kondisi ekonomi negara Arab ini. Meskipun demikian, Presiden Lebanon Michel Aoun menyatakan bahwa Lebanon membayar harga 30 tahun kebijakan keuangan yang salah.
Masalah lainnya mengenai tidak terbentuknya kabinet baru sebagai pemilu lain gelombang protes baru di Lebanon. Pada 19 Desember 2019, Hassan Diab secara resmi ditugaskan untuk membentuk kabinet baru, tetapi gagal membentuk kabinet sebulan kemudian. Kamis lalu, muncul berita tentang pembentukan kabinet barui, tetapi tidak ada pejabat yang mengkonfirmasi berita tersebut. Para pengunjuk rasa di Lebanon kini menuntut diakhirinya perselisihan antarfaksi politik untuk mempercepat pembentukan kabinet baru.
Gelombang protes dan kerusuhan baru yang terjadi di Beirut merupakan bentrokan terburuk selama tiga bulan terakhir, akan memiliki konsekuensi bagi negara. Konsekuensi yang paling penting mengenai semakin tertundanya pembentukan kabinet baru. Pada saat yang sama, perpecahan semakin meningkat. Sejauh ini kekuatan asing, terutama Arab Saudi, rezim Zionis dan AS diuntungkan untuk menjegal Hassan Diab membentuk kabinet baru.
Kirim Video Unjuk Rasa ke Israel, Warga AS Ditangkap di Lebanon
Aparat keamanan Lebanon menangkap seorang warga Amerika Serikat yang berprofesi sebagai wartawan di lokasi demonstrasi di kota Beirut, karena dituduh melakukan aksi mata-mata.
Wartawan Amerika yang namanya masih dirahasiakan itu, Minggu (19/1) ditangkap aparat keamanan Lebanon saat merekam insiden bentrokan antara massa demonstran dengan polisi di pusat kota Beirut.
Setelah diperiksa, ternyata wartawan Amerika itu mengirim video rekamannya ke surat kabar rezim Zionis Israel, Haaretz.
Gelombang baru unjuk rasa warga Lebanon pecah sejak hari Senin (13/1) lalu, untuk memprotes kebijakan pemerintah. Demonstrasi beberapa hari lalu berujung dengan bentrokan yang melukai puluhan orang.
Hizbullah Tekankan Pembentukan Pemerintah Baru di Lebanon
Deputi sekjen Hizbullah Lebanon, Sheikh Naim Qassem menekankan pentingnya mengedepankan kepentingan nasional di atas kepentingan pribadi dan golongan dalam kondisi sensitif saat ini. Selain itu, Sheikh Qassem juga menekankan secepatnya membentuk pemerintah baru demi kepentingan nasional Lebanon.
Sheikh Naim Qassem Senin (20/01) mengatakan, pihak-pihak yang terkait dengan pembentukan pemerintah di kondisi istimewa ini harus menghindari masalah pembagian jatah dan pemerintah harus memulai tugasnya.
Sheikh Naim Qassem menjelaskan, Hizbullah terus melanjutkan upayanya untuk membentuk pemerintahan secepat mungkin sehingga kondisi tidak semakin memburuk.
Deputi sekjen Hizbullah juga menyinggung bentrokan terbaru di Beirut dan mengatakan, protes yang diwarnai kekerasan sebuah kerusuhan untuk membuat kodisi semakin rusuh dan krisis kian besar.
Hassan Diab, perdana menteri yang diberi mandat membentuk kabinet Ahad (19/01) malam bertemu dengan Presiden Michel Aoun untuk membahas pembentukan pemerintah yang terdiri dari 20 menteri.
Sejumlah pemuda Lebanon yang tidak puas hari Ahad malam dalam sebuah aksi menyerang pusat perbelanjaan, bank dan perusahaan komunikasi Alfa di Beirut. Aksi ini menimbulkan kerusakan dan kerugian terhadap sarana publik dan individu.
Organisasi Bulan Sabit Lebanon mengumumkan, selama bentrokan antara aparat keamanan dan demonstran, sebanyak 309 demonstran terluka.
Katz: Inggris Sanksi Hizbullah atas Permintaan Israel
Menteri Luar Negeri rezim Zionis Israel memuji keputusan pemerintah Inggris menyanksi sayap politik Hizbullah Lebanon dan mengumumkannya sebagai organisasi teroris.
Israel Katz, Sabtu (18/1) di akun Twitternya menulis, ini adalah kemajuan besar bagi Israel dalam melawan Iran dan proksi-proksinya.
Katz menambahkan, saya berterimakasih kepada pemerintah Inggris karena sudah menyanksi sayap politik Hizbullah, dan mengumumkannya sebagai organisasi teroris.
Menurut Menlu Israel, dalam pertemuan dengan Menlu Inggris, Dominic Raab, ia meminta London untuk menyanksi Hizbullah, dan ia berterimakasih karena permintaan itu akhirnya dikabulkan.
Patroli Militer Rusia Dihadang Pasukan AS di Ladang Minyak Suriah
Kantor berita Turki, Anadolu mengabarkan, pasukan Amerika Serikat melakukan langkah provokatif dengan menghadang pasukan Rusia yang bergerak ke arah ladang minyak Suriah di utara Provinsi Hasakah.
Anadolu melaporkan, saksi mata di lokasi kejadian, Minggu (19/1) mengatakan, pasukan Amerika di utara Suriah yang diperintahkan langsung oleh Presiden Donald Trump untuk menguasai ladang serta fasilitas minyak Suriah, berusaha menghadang pergerakan pasukan Rusia ke wilayah itu.
Ketegangan antara pasukan Amerika dan Rusia di ladang minyak Rmelan di timur laut Provinsi Hasakah terus berlanjut hingga Minggu malam.
Pertikaian memburuk setelah pasukan Amerika meminta patroli militer Rusia kembali ke wilayah Amuda, namun untuk kembali ke wilayah itu patroli Rusia harus melewati ladang minyak Rmelan dekat pangkalan militer Amerika, dan pasukan Amerika melarang mereka melalui jalan itu.
Pada hari Kamis (16/1) milisi bersenjata Kurdi dari Unit Perlindungan Rakyat, YPG juga menghadang pergerakan patroli militer Rusia ke kota Qamishli yang akan membangun zona militer di ladang minyak Rmelan.
Al Watan: Saudi Berusaha Dekati Suriah
Surat kabar Suriah, Al Watan mengutip sumber terpercaya di Amerika Serikat, mengabarkan upaya Arab Saudi untuk mendekati Damaskus.
Surat kabar Al Watan mengutip sumber diplomatik Barat di New York menulis, Wakil Tetap Suriah di PBB, Bashar Al Jaafari menghadiri acara khusus yang diselenggarakan Menteri Negara Saudi, Fahad bin Abdullah Al Mubarak.
Menurut Al Watan, Bashar Al Jaafari yang diundang secara khusus ke acara tersebut oleh Wakil tetap Saudi di PBB, Abdullah bin Yahya Al Mualimi itu langsung didatangi oleh Abdullah Al Mubarak sehingga membuat sebagian hadirin terkejut.
Dalam pertemuan dengan Wakil tetap Suriah di PBB, pejabat Saudi mengatakan semua yang terjadi di masa lalu harus dilupakan, dan hubungan bersaudara Suriah-Saudi harus menjadi perhatian.
Al Watan menambahkan, pejabat Saudi dalam kesempatan itu kepada Bashar Al Jaafari menekankan persahabatan dua negara dan mengaku bahwa Suriah ada di hati mereka. Sebelum Saudi, Uni Emirat Arab juga melakukan hal serupa, berusaha mendekat ke Suriah.
SAM: Saudi Lakukan Pelanggaran HAM Luas di Mahrah
Lembaga Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Eropa (SAM) menyatakan bahwa pemerintah Arab Saudi terlibat pelanggaran HAM secara luas di Provinsi al-Mahrah, timur Yaman.
SAM yang bermarkas di Jenewa, Swiss dalam sebuah laporannya menambahkan pasukan Saudi melakukan berbagai pelanggaran HAM di al-Mahrah dan menjalankan aksi teror terarah. Demikian dikutip laman Alkhaleej Online, Sabtu (18/1/2020).
“Pasukan Saudi melepaskan tembakan ke arah orang-orang yang melakukan mogok untuk memprotes kehadiran mereka di al-Mahrah. Sejumlah orang meinggal dunia dan terluka dalam insiden itu,” kata SAM.
Sejumlah warga al-Mahrah diculik dan disiksa, dan ada banyak dokumen mengenai aksi penculikan, penyiksaan, penangkapan di luar hukum, intimidasi, dan pemukulan.
Pasukan Arab Saudi menumpas setiap orang yang mengeluarkan pendapat bertentangan dengan kebijakan Riyadh.
SAM meminta pemerintah Saudi untuk menghormati kedaulatan Yaman dan hukum internasional.
Ribuan orang di Provinsi al-Mahrah, melakukan aksi mogok di jalan-jalan untuk mendesak penarikan pasukan AS dari wilayah tersebut.
Agresi Arab Saudi dan sekutunya di Yaman telah menewaskan lebih dari 16.000 orang, melukai puluhan ribu lainnya, dan membuat jutaan orang kehilangan tempat tinggal.
Irak Tolak Permintaan AS Cabut Kesepakatan dengan Cina
Seorang anggota Parlemen Irak mengabarkan penolakan perdana menteri negara ini untuk mencabut kesepakatan dengan Cina.
Hassan Khalati, anggota Gerakan Hikmah Nasional Parlemen Irak mengabarkan, Amerika mendesak PM Irak, Adil Abdul Mahdi untuk membatalkan kesepakatan negara itu dengan Cina.
Sebagaimana dikutip situs berita Al Ahed, Khalati menuturkan, 100.000 barel minyak Irak yang akan dikirim ke Cina, merupakan saham OPEC dan berdasarkan kesepakatan dengan Cina, pendapatan dari hasil kesepakatan ini akan digunakan untuk menyelesaikan krisis di sektor properti dan pembangunan jalan Irak.
Ia menambahkan, pendapatan yang dihasilkan dari kesepakatan ini tidak akan masuk ke Bank Federal Amerika, oleh karena itu Washington dengan tegas mendesak pencabutan kesepakatan ini, dan meminta PM Irak dengan bantuan pengacara untuk mencabut kesepakatan tersebut. Namun Abdul Mahdi menolak permintaan itu.
sumber: parstoday