Oleh : A.Rahmat Munawar
Kepercayaan Pra Islam
Masyarakat Sulawesi Selatan pada zaman dahululu memiliki keyakinan yang beragam. Untuk etnis Bugis dan Makassar serta Mandar, telah memahami konsepsi ketunggalan Tuhan. Mereka menyebut dengan nama “Dewata SeuwaE” yang berarti Tuhan yang tunggal.
Kata “Dewata” menurut Mattulada berasal dari kata “De” dan “Watang” yang bermakna tiada yang mampu mengalahkan kekuatannya. Ada juga yang mengatakan bahwa “De” dan “Watang” berarti tidak memiliki jasmani. Bukan juga tidak mungkin, kata “Dewata” adalah istilah yang diserap dari kebudayaan lain. Tapi terlepas dari berbagai anggapan di atas, masyarakat Sulawesi Selatan umumnya di zaman dahulu telah meyakini ketunggalan Tuhan.
Meski demikian, kepercayaan dahulu juga menempatkan kekuatan-kekuatan magis dalam sistem keyakinannya. Sehingga, hingga hari ini kita masih menemukan praktek ritual kuno yang ditujukan terhadap kekuatan magis tersebut. Ini berarti bahwa Islamisasi di Sulawesi Selatan mengalami akulturasi dengan kebudayaan lokal.
Proses Islamisasi
Proses Islamisasi di Sulawesi Selatan sebenarnya telah berjalan sebelum awal abad ke-17. Atau sebelum kerajaan-kerajaan mengakui Islam sebagai agama resmi. Hal ini diindikasikan dengan adanya makam wali di Sulawesi Selatan, atau cerita rakyat maupun naskah kuno sebelumnya yang berkisar abad ke-13 dan 14. Meski demikian masih membutuhkan penelitian kesejarahan yang lebih mendalam.
Pada akhir abad 16 kerajaan Makassar adalah kerajaan yang terkuat di timur nusantara yang telah berinteraksi dengan kerajaan luar seperti Portugis, Denmark, Inggris dan Spanyol. Hal ini membuat kaum jesuit tertarik untuk menyebarkan misi kristen di Sulawesi. Maka datanglah misionaris dari Portugis yang menawarkan kristen kepada Raja Makassar. Bahkan misionaris Portugis sempat mengkristenkan Datu Suppa (Pinrang) dan Raja Siang (Pangkep). Namun pada saat yang hampir bersamaan, kerajaan Ternate dan Aceh juga menawarkan Islam.
Sejarah mencatat, Sultan Iskandar Muda Raja Aceh mengirim Dato’ ri Bandang, Dato’ ri Tiro dan Dato’ Sulaiman untuk menyebarkan Islam. Di tempatain, La Mungkace to Udamang, Raja Wajo pernah bermimpi melihat orang shalat dan tertarik. Namun merasa ajalnya sudah dekat, beliau mewasiatkan bahwa akan ada agama baru dan hendaknya rakyatnya mengikuti agama tersebut.
Sebelum Dato’ ri Bandang menemui Karaeng Tallo (mangkubumi kerajaan makassar), I Malingkaan daeng Nyori Karaeng Tallo bertemu dengan seorang yang berjubah warna keemasan dan menganjurkan agar menerima Islam. Padahal sebelumnya, putranya hendak membunuh Dato’ ri Bandang.
Ketika Dato’ ri Bandang mengunjungi Karaeng Tallo, beliau mengucapkan salam dan dijawab juga dengan salam. Proses selanjutnya Karaeng Tallo beserta anaknya mengucap dua kalimat syahadat. Memang kisah pengislaman terkadang berbau mistis, sehubungan dengan paradigma masyarakat pada saat itu. Tapi bukan berarti pembenaran terhadap rasionalitas empiris yang serta merta menolak pandangan seperti itu.
Di Luwu, Dato’ ri Sulaiman (Dato’ Patimang) bertemu dengan Datu Luwu yaitu Daeng Parabbang dan berdiskusi tentang ketuhanan. Ternyata konsep Dewata Seuwae yang dipahami Datu Luwu dan rakyatnya kemudian disebut Dato’ Patimang sebagai Allah Subhanahu Wataala dan konsekuensinya adalah mengakui kerasulan Muhammad. Dengan mudah Raja Luwu mengucapkan dua kalimat syahadat.
Gowa Tallo (Makassar) adalah simbol kekuatan politik dan militer kerajaan pada saat itu. Dan Luwu adalah simbol tradisi mistik. Islamnya kerajaan Makassar dengan Luwu adalah kemenangan besar dalam Islamisasi. Saat Dato’ Patimang meminta Datu Luwu untuk menyebarkan Islam, Datu Luwu dengan rendah hati mengatakan bahwa di Gowalah kekuatan dan menganjurkan agar Islamisasi dilaksanakan oleh Gowa karena kekuatan politik dan militer yang dimilikinya.
Gowa menyerang Siang dan Suppa yang sempat dikristenkan lalu diIslamkan. Kemudian kerajaan-kerajaan Ajatappareng (Sidenreng, Rappang) dan Mandar pada tahun 1605. Selanjutnya kerajaan Soppeng di Islamkan pada tahun 1607. Pasukan gabungan Soppeng dan Gowa menyerang Wajo dan Wajo pun diIslamkan pada tahun 1609. Selanjutnya, pasukan Gowa, Soppeng dan Wajo menyerang Bone pada tahun 1611. Takluknya Bone adalah dalam musu selleng “Perang Islamisasi” adalah pertanda masyarakat jazirah Sulawesi Selatantelah menerima Islam.
Diakuinya Islam menjadi agama resmi kerajaan, berimbas pada berubahnya konstitusi dan struktur kerajaan. Pangadareng adalah konstitusi kerajaan yang terdiri dari
1.Ade’ yang berarti undang-undang atau ketetapan permanen.
2.Rapang yang kurang lebih berarti yurisprudensi.
3.Wari’ yang bermakna aturan-aturan termasuk keprotokoleran
4.Bicara yang berarti kesepakatan dewan kerajaan.
Setelah masuknya Islam, maka faktor ke-5 adalah syara’ atau syariat. Dari sinilah perlahan syariat Islam ditegakkan.
Kebiasaan pra Islam misalnya makan babi, minum lawar dan ballo’ dihilangkan untuk mengikuti syariat Islam. Disamping itu, peran Bissu pendeta Bugis diminimalisir.
La Maddaremmeng Arungpone adalah Raja Bone yang tegas dalam Islamisasi. Beliau bermaksud memerdekakan strata “Ata” atau budak, namun ditentang oleh petinggi kerajaan. Sementara di kerajaaan Makassar, Syeh Yusuf berbeda pendapat dengan Karaeng Patingallong tentang Ballo’ dan Botoro’ (minuman keras dan judi). Akibatnya, Syeh Yusuf memilih meninggalkan Makassar dan bermukim di Banten.
Tokoh-tokoh Islam Sulawesi Selatan seperti 3 Dato’ dari Minangkabau, Syeh Samman dan Syeh Yusuf adalah penganjur tradisi Khalwatiah. Mungkin karena hal ini maka sampai hari ini masih banyak penganut tradisi ini. Pengaruh Wahabi juga sempat masuk pada abad ke-19, namun paradigma mistik masyarakat tidak memberi ruang yang luas terhadap ajaran ini.
Untuk menerapkan syariat, dibentuk Institusi yaitu Qadhi (Hakim), Khatib, Imam, Bilal dan Doja. Merekalah yang mengajarkan masyarakat tentang Islam, mulai dari mengaji, fikih sampai pada pengetahuan sufistik.
Berkembangnya Muhammadiyah di Sulawesi Selatan berperan signifikan dalam pola keberislaman masyarakat. Namun satu hal yang perlu diakui adalah Islamisasi yang dilakukan oleh Muhammadiyah di sebagian Toraja yang masih menganut kepercayaan lokal dan Kristen.
Terbentuknya pesantren pada zaman kemerdekaan oleh ulama lokal seperti KH. Muh. As’ad, KH. Ambo Dalle dan Imam Lapeo berperan penting dalam memperluas syiar Islam.
Akulturasi Islam dan Budaya Lokal
Begitu kentalnya akulturasi Islam dan budaya sehingga ketika kita membahas hal-hal metafisis maka akan sulit dibedakan antara sufistik Islam dengan tradisi lokal. Namun pada tataran ritual, maka akulturasi itu akan nyata terlihat. Misalnya, ritual naik rumah baru pra Islam digantikan dengan pembacaan Barzanji.
Dalam tradisi lokal, telur memiliki maknatelur. Akan tetapi, untuk mengajak masyarakat agar lebih mengenal Nabinya melalui Maulid, maka ditengah Mesjid dipasang telur yang dihias yang kemudian diperebutkan dengan harapan mendapatkan berkah dari Nabi.
Pengajaran agama secara tradisional dimulai dengan mengaji dengan metode pengkhidmatan. Dimana anak yang belajar mengaji disuruh untuk mengangkat air oleh guru mengajinya. Ketika beranjak dewasa dan bermaksud mendalami hal-hal batiniah, maka dituntut melakukan tazkiyatun nafs. Saat ia dianggap sudah mampu, maka diajarkan ilmu sufistik secara rahasia. Yaitu di dalam kelambu dan menggigit potongan emas.
Dalam tradisi tutur masyarakat ditemui kisah tentang dikalahkannya Sawerigading sang tokoh legendaris oleh Muhammad kecil pada pertandingan adu kesaktian. Kisah ini diyakini banyak orang, tapi menurut hemat penulis, ini tidak lebih sebagai sebuah pola dakwah untuk mengikis ketokohan Sawerigading. Hal ini mirip dengan ketundukannya para Pandawa oleh Semar dalam kebudayaan Jawa. Kita tidak akan menemui Semar yang memiliki Jimat Kalimasada (kalimat syahadat) pada Mahabarata yang aslinya yaitu di India.
Tradisi tutur lain adalah cerita Indra Patara yang berkisah perjalanan seorang pangeran Persia yang lebih memilih ketinggian akhlak ketimbang kekuasaan. Indra Patara dikisahkan kepada pangeran-pangeran kecil sebelum tidur.
Hingga hari ini, walau terancam punah, kita masih mendapatkan hiburan gambusu’ yang merupakan budaya serapan dari timur tengah yang ditampilkan saat walimah pernikahan.
Pada naskah Lontara, Stempel Kerajaan, dan Bendera Kerajaan, tak jarang kita temui penggunaan huruf hijaiyah selain aksara lontara maupun latin.
Dari sekelumit hal di atas dapat dipahami bahwa budaya lokal terbuka terhadap perubahan dan pengaruh luar selama sesuai dengan kondisi masyarakatnya. Namun kita masih temukan ritual kuno di pelosok yang dipadukan dengan ajaran Islam, atau bahkan tidak berhubungan sama sekali dengan Islam. Sementara kondisi masyarakat di Sulawesi Selatan hari ini berada di zaman modern dan global. Sehingga berbagai varian-varian Islam seperti gerakan Wahabiyah dan Ikhwanul Muslimin ikut mewarnai Islamisasi. Di pihak lain, intervensi budaya asing sedang gencar-gencarnya. Menjadi tanda tanya dan tantangan generasi hari ini untuk melanjutkan proses Islamisasi yang masih terus berproses mencari bentuknya : Islam Sulawesi.
Wallahu ‘alam