Oleh : Syamsunar
Kebutuhan Manusia Kepada Kesempurnaan dan Kebahagiaan
Telah disinggung sebelumnya bahwa manusia mempunyai ruh non materi (mujarrad), dan pada tempatnya (dalam pembahasan filsafat) telah dibuktikan bahwa ruh manusia adalah langgeng dan abadi serta tidak ada jalan kehancuran dan kemusnahan baginya. Juga telah dibuktikan bahwa hakikat manusia terbangun oleh ruh dan badan, sementara badan tegak dengan mengikut pada ruh yang non materi. Oleh karena itu, manusia dari sisi ruh dan nafs natiqah merupakan suatu maujud yang unggul dan utama, yang bukan ahli bumi dan zaman serta tidak bergantung pada langit dan malaikat. Demikian pula ia adalah suatu maujud yang menuntut kesempurnaan, bergerak dan dinamis (yang dimaksud di sini bukanlah gerak materi, tapi gerak menyempurna), dan memiliki kemampuan untuk mengakses dan mengaplikasikan seluruh ilmu dan pengetahuan, baik itu metafisika dan supranatural maupun fisika, biologi, arkeologi, astrologi, geologi, sosiologi, dan lainnya.
Dengan seluruh kelebihan dan keunggulan ini, bukan berarti manusia sudah tidak butuh terhadap bimbingan dan arahan kenabian lagi yang dapat menyampaikannya kepada kesempurnaan yang paripurna. Akan tetapi, manusia tetap senantiasa butuh terhadap undang-undang yang membina dan mendidik ruh, dan butuh terhadap ajaran kesempurnaan dan hidayah kebahagiaan para Nabi as. Para Nabi as, dengan membawa dan menjelaskan undang-undang Tuhan, akan mengantarkan ruh manusia untuk menemukan kemekaran dan kebahagiaan. Oleh karena itu, setiap manusia butuh terhadap wahyu Tuhan, apakah ia orang yang paling pertama di muka bumi ini, ataukah ia orang yang mengasingkan diri dari masyarakat ataukah ia bermasyarakat, sebab manusia dalam berinteraksi dengan dirinya dan dalam berhubungan dengan Khaliknya serta cara mengatur hubungan antara dirinya dengan sistem alam eksistensi, kendatipun mengasingkan diri dan berkhalwat (menyepi) sendirian, ia tetap membutuhkan penunjuk jalan dan pembimbing benar.
Kemestian Pembimbing
Telah disebutkan bahwa unsur inti kenabian tersusun dari dua hal yaitu pertama, undang-undang yang turun dalam bentuk wahyu Tuhan, kedua pembawa undang-undang atau wahyu yang disebut dengan Nabi. Kemestian wahyu, sesuai dengan penjelasan di atas, pada dasarnya telah terpaparkan, dan sekarang sebaiknya dipaparkan kemestian pembimbing.
Adapun kemestian keberadaan Nabi dan pembimbing, adalah bahwa undang-undang gaib yakni wahyu Allah SWT tidak tumbuh dari tanah dan tidak tercurah dari langit, tidak terberkas dalam benang-benang otak manusia dan tidak terselip di sela-sela kitab yang disusun manusia serta tidak ditemukan di tempat lain, akan tetapi hanya didapatkan dari sisi Tuhan yang terkadang termanifestasi dengan tanpa perantara dan suatu ketika dengan perantara malaikat.
Tempat turunnya sabda gaib ini dan tempat manifestasi kalam malakuti seperti ini, adalah kalbu suci manusia yang maksum, yang terjaga dari kekeliruan dan kelupaan dalam seluruh dimensi, mulai dari penerimaan wahyu, pemeliharaan wahyu, sampai pada penyampaian wahyu, serta suci dari setiap bentuk dosa dan kesalahan. Undang-undang langit ini, butuh pada penjelasan, penguraian, perealisasian, perlindungan, dan pembelaan.
Masyarakat manusia, tanpa teladan suci dan uswah serta tempat rujukan pemecahan perselisihan dan penguraian benang-benang pertentangan, selamanya tidak akan pernah menyaksikan kebahagiaan ideal yang didambakannya. Oleh karena itu, kemestian keberadaan Nabi Tuhan yang mengemban seluruh dimensi-dimensi yang telah diungkapkan tersebut adalah benar secara akal dan rasional.
Untuk menjelaskan sebagian dari prinsip-prinsip tersebut, dapat diutarakan dalam bentuk seperti ini: Manusia memulai perjalanan kesempurnaan dan kebahagiaan idealnya dari titik potensi dan berakhir pada pusat aktual : “…sesungguhnya kita dari Allah dan kepada-Nya kita akan kembali.”(QS. Al-Baqarah : 156) Oleh karena itu, harus ada antara titik permulaan dan titik akhir, jalan dan juga penunjuk jalan, sebab ia tidak akan pernah sampai pada tujuan idealnya tanpa jalan benar dan penunjuk jalan, karena dalam pertengahan jalan terdapat gangguan yang mengombang-ambingkan, padang sahara menyesatkan, perampok-perampok pemikiran dan keinginan, fatamorgana-fatamorgana yang menipu, dan hewan-hewan buas pemangsa keimanan.
“Jangan lewati tahapan ini tanpa pertemanan Hidir.”
“Takutlah dari mara bahaya kesesatan karena kegelapan.”
Oleh karena itu, antara titik permulaan dan mencapai tujuan, membutuhkan jalan yang bernama agama serta penunjuk jalan yang bernama Nabi yang bertugas mengarahkan manusia berjalan di atas agama dan syari’at: “Sesungguhnya Kami telah memberi hidayah jalan kepadanya….” (QS. Al-Insan : 3)
Di samping itu, lebih dari pada apa yang telah kami sebutkan di atas terdapat beberapa poin penting lainnya berkenaan masalah ini:
- Agama yang merupakan shirath mustaqîm kesempurnaan dan kebahagiaan individu dan masyarakat, kendatipun sebagian darinya disingkap dengan bantuan argumentasi akal, tetapi bagian penting darinya mesti disingkap dengan wahyu Ilahi,
- Masyarakat manusia tidak hanya pada bagian khusus wahyu butuh pada penunjuk dan pembimbing, bahkan pada bagian yang akal mandiri di dalamnya pun juga butuh kepada uswah dan teladan,
- Pembimbing manusia dalam dua bagian tersebut, adalah manusia sempurna dan manusia maksum, yang mana dalam bidang akal teoritis kokoh dalam kepastian kebenaran dan juga dalam akal praktis tidak menerima kecacatan dalam kepastian kebenaran, serta dalam menerima, menjaga, dan menyampaikan wahyu Tuhan terpelihara dari kealpaan, kelalaian, dan kesalahan. Oleh karena itu, mereka yang disebut Nabi Tuhan ini merupakan dambaan, kecintaan, dan maksud dari seluruh kafilah dan musafir kesempurnaan manusia, dan di bawah naungan kemuliaannya, ateisme, kesyirikan, dan kekafiran menemukan kehinaan dan kehancuran.
Dengan keterangan lain, Tuhan Yang Maha Suci, yang merupakan Tuhan seluruh alam semesta menjadikan alam dan penghuni alam berada dalam pengaturan-Nya dan manusia juga yang merupakan maujud yang memiliki pikiran, nalar, dan rasio tidak terkecualikan dalam hal ini. Karena pengaturan, bimbingan, dan pengajaran manusia harus sesuai dengan struktur badan dan pikirannya, dan sudah jelas bahwa pekerjaan besar ini tidak akan terwadahi dengan pengetahuan yang sedikit dan kecil pada manusia, akan tetapi yang bisa menanggung pekerjaan ini haruslah ilmu pancaran ladunni dan Ilahi dan juga berdasarkan penegasan serta bantuan rabbâni (Ilahi) maka diperlukan pribadi agung dan mulia yang merupakan manusia pilihan Tuhan yang disebut dengan Nabi, yang ditujukan untuk mengajar, membimbing, dan mengangkat manusia dari alam kegelapan ke alam cahaya.
Kesimpulan dari pembahasan kita di atas dapat dijelaskan dalam bentuk seperti ini, Akal manusia menyaksikan kekeliruan dan kesalahan ilmu serta kesalahan amal pada dirinya dan orang lain, dan dengan pengalaman yang kontinyu serta berkesinambungan, menyimpulkan bahwa manusia biasa tidak terpelihara dari terpaan kekeliruan dan kesalahan serta wabah kecenderungan keburukan.
Manusia yang demikian ini, tidak akan pernah sanggup menyusun undang-undang yang terjaga dari kesalahan, tercegah dari aib, dan terpelihara dari kekurangan, akan tetapi bagi pemikir dan cendekiawan yang bukan muwahhid (bertauhid), keberadaan manusia maksum, bagi mereka ini adalah ide yang utopia, tetapi bagi pemikir muwahhid, keberadaan manusia suci ini, bagi mereka adalah pasti dan niscaya, sebab mereka berkeyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Hâdi (Memberi Petunjuk), Hakîm, dan Adil, yang kekuasaan dan kekuatan-Nya adalah azali (abadi) dan tidak ada jalan kelemahan, kekurangan, dan ketidaksanggupan pada kapasitas kemampuan-Nya yang tak terhingga.
(Sumber : “Manifesto Kenabian: Rahasia dan Khatamiyyah Kenabian” oleh Syamsunar, Penerbit Chamran Press)