Oleh : Akmal Kamil
Bagian Kedua
Kajian pada bagian ini berkaitan dengan dengan kaidah-kaidah yang kita dapat aplikasikan saat ingin memahami Al-Quran, tentunya setelah kita menerima prinsip-prinsip di atas yang kita jadikan sebagai metode yang harus digunakan saat kita ingin merujuk dan memahami Al-Quran sehingga apa yang kita fahami -secara global- dapat dijadikan sandaran (hujjah). Apa yang harus kita lakukan agar kita dapat memahami atau menafsirkan Al-Quran dengan benar? Kemudian di saat kita berhak merujuk dan memahami Al-Quran, prinsip-prinsip dasar (Ushul) atau kaidah-kaidah apakah yang tetap harus kita perhatikan? Bagaimanapun prinsip-prinsip ini kembali kepada kaidah-kaidah yang digunakan dalam komunikasi yang rasional (muhawarah uqalaiyah), dalam artian penerapan prinsip-prinsip yang ada bukan berdasarkan taklid buta namun akal kita pun secara independen dapat menangkapnya (kecuali pada satu kasus yang akan kami sebutkan).
Dengan memandang bahwa Al-Quran termaktub dengan bahasa Arab yang fasih (lisanun arabiyun mubin), maka menurut kaidah rasional barang siapa yang hendak memahami kandungan ayat-ayat Al-Quran, ia harus menguasai kaidah-kaidah atau grammar bahasa Arab dengan baik. Oleh karenanya ia harus menguasai kaidah-kaidah Sharaf, Nahwu, Bayan, Ma’ani, Tasybih, Isti’arah, Kinayah dan segenap pembagiannya (ilmu Balaghah). Jika berbagai disiplin ilmu tersebut tidak dikuasai, maka seseorang tidak akan dapat menafsirkan Al-Quran dengan baik dan benar. Terkadang dikarenakan sebuah kata memiliki arti yang sangat jeli, maka tatkala akar kata tersebut tidak diketahui dengan baik tentu akan terjadi kesalahan yang fatal dalam mengartikannya.
Atas dasar ini, syarat pertama untuk memahami Al-Quran dengan benar ialah, pengusaan terhadap kaidah-kaidah bahasa Arab seperti Nahwu, Sharaf, Balaghah dan seterusnya. Syarat ini jelas bersifat rasional, jika ada seorang yang berbahasa Inggris dan ia ingin membaca dan memahami naskah bahasa Persia, maka -selama ia tidak memahami dan menjaga kaidah-kaidah bahasa Persia- secara rasional ia tidak akan memahami isi naskah tersebut dan –seandainya secara global ia dapat memahaminya- iapun tidak berhak menisbatkan pemahamannya itu kepada penulis naskah ternebut, kaidah seperti inipun berlaku saat kita ingin memahami Al-Quran.
Syarat kedua: Setiap bahasa memiliki pola komunikasi yang berbeda, di mana terkadang masalah ini dapat menimbulkan kesalahpahaman. Terkadang satu kata memiliki beberapa makna dan kita tidak mengetahui makna manakah yang dimaksud dalam kalimat tersebut, apakah makna sebenarnya atau ia hanya sebuah kiasan. Untuk mengidentifikasikannya kita harus melihat seluruh bagian dari kalimat yang ada, misalnya jika kita menemukan sebuah ayat yang memiliki kriteria demikian, maka untuk mengetahui maksud sebenarnya dari ayat tersebut kita harus memperhatikan seluruh bagian dari ayat yang ada (dari awal hingga akhir) dan juga harus kita perhatikan ayat sebelum dan sesudahnya, hal ini biasa disebut dengan Siyâqu al-Kalâm (konteks pembicaraan).
Dengan metode seperti ini kita dapat memahami maksud dari kata yang terkandung dalam sebuah ayat, seandainya kita hanya menukil potongan sebuah ayat tanpa kita memperhatikan awal dan akhir ayat tersebut serta ayat sebelum dan setelahnya, maka kita tidak akan dapat memahami dengan baik maksud dari ayat itu. Kesalahan seperti ini sering terjadi dimana seseorang hanya berpijak pada sepotong ayat tanpa memperhatikan konteks pembicaraannya dan hal ini tentu akan menyesatkan pemahamannya.
Syarat ketiga: Melihat Qarinah Lafziyah (pertalian lafazh) yang berkaitan dengan ayat yang ingin ditafsirkan. Mengingat bahwa ayat-ayat Al-Quran berasal dari Zat yang Mahabijaksana yang tidak akan pernah mengalami lupa dan melakukan hal yang sia-sia, maka dapat dipastikan bahwa ayat satu dengan lainnya merupakan pertalian (qarinah) yang dapat menjadi sandaran untuk memahami sebuah ayat. Dengan artian untuk memastikan bahwa makna inilah dimaksud ayat tertentu, kita harus merujuk kepada ayat-ayat lainnya yang memiliki muatan yang serupa atau yang menjelaskan dan menafsirkan maksud dari ayat tersebut. Dengan kata lain kita harus memperhatikan seluruh ayat-ayat Al-Quran guna memahami sebuah ayat. Namun bukan berarti untuk memahami setiap ayat Al-Quran kita harus merujuk satu-persatu seluruh ayat yang ada, akan tetapi kita harus perhatikan muatan Al-Quran secara keseluruhan atau paling tidak kita harus perhatikan ayat-ayat yang memiliki kandungan yang serupa dengan ayat tersebut yang dapat membantu menyingkap maksud yang diinginkannya. Ini merupakan metode yang disabdakan Imam Ali Kw “ayat-ayat al-Qur’an saling menafsirkan satu dengan lainnya” dan metode semacam ini merupakan metode rasional. Karena merupakan kesepakatan bahwa bersandar kepada seluruh kata-kata pembicara untuk menjelaskan dan memahami ibarat tertentu merupakan metode rasional dan bukan bersumber dari ketaatan. Demikian pula halnya dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Quran terlebih dengan mengingat bahwa sumber Pembicaranya tidak pernah mengalami lupa dan kesalahan sehingga tidak akan terjadi kontradiksi antara satu ayat dengan ayat lainnya. Pembicara lain bisa jadi mengalami lupa dan merubah serta merevisi apa yang telah diucapkannya, namun fenomena seperti ini tidak akan didapati dalam Al-Quran –Nasakh (penghapusan) adalah masalah yang berbeda dimana ia berkaitan dengan hukuh-hukum tertentu dan pada kondisi tertentu pula-.
Al-hasil memperhatikan dan merujuk kepada seluruh muatan Al-Quran untuk memamahi sebuah ayat, atau bersandar kepada qarinah-qarinah Lafzi yang berkaitan dengan ayat bersangkutan merupakan satu kaidah yang harus dijaga dan diperhatikan saat menafsirkan Al-Quran.
Syarat yang keempat ialah merujuk kepada pertalian sejarah (Qarinah Târikhiah), ini juga merupakan metode rasional dimana di saat pembicara ingin mengucapkan sesuatu kepada lawan bicaranya ada sesuatu yang selalu diperhatikannya, -selain itu- ada kesepakatan antara keduanya bahwa lafaz A misalkan adalah memiliki arti ini, dan keduanya pun menyadari pembicaraan yang mereka utarakan berkaitan dengan masalah apa dan apa yang menjadi pertimbangan pembicara saat ingin mengutarakan permasalahan tersebut? Sebuah pembicaraan saat diucapkan pada kondisi tertentu maka makna dan maksud yang dikandungnya dapat dimengerti.
Sebagai contoh dalam kisah Nabi Sulaiman as dengan Ratu Bilqis jika kita ingin melihat kondisi kerajaan Ratu Bilqis dengan apa yang disebutkan dalam ayat, maka kita sekilas akan menemukan bahwa Ratu Bilqis dikaruniakan segala sesuatu “Wa Utiya min Kulli Syai’” jika kita hanya melihat kata Syai’ (sesuatu) ini, maka ia memiliki pengertian yang sangat luas yang mencakup sesuatu yang materi dan maknawi karena seluruhnya termasuk dalam makna Syai’. Namun apakah pada kenyataannya Ratu Bilqis benar-benar dikaruniakan segala kenikmatan tersebut? Banyak sekali sesuatu yang di dunia ini yang tidak pernah didengar atau dilihat oleh Ratu Bilqis apalagi dimilikinya. Akan tetapi saat kita meperhatikan obyek pembicaraan, maka kita dapat memahami bahwa yang dimaksud dengan Syai’ di sini adalah yang berkaitan dengan kerajaan. Kondisi pembicaraan mengindikasikan bahwa yang dimaksud dengan syai’ bukanlah maknanya yang umum yang sekilas terlintas di benak kita. Lantas dari mana kita dapat menangkap hal ini, sedangkan pada ayat sebelum dan sesudahnya tidak menyebutkan sedikitpun kriteria mengenai makna Syai’ tersebut, di sini kita memahaminya dari kondisi atau obyek pembicaraan, saat suatu pembicaraan berkaitan dengan kekuasaan dan dikatakan bahwa kerajaan seorang raja tertentu tidak memiliki kekurangan, maka bukan berarti raja tersebut memiliki seluruh apa yang ada di dunia ini, namun maksudnya adalah bahwa raja tersebut telah memiiki segala yang menjadi kebutuhan kerajaannya.
Memperhatikan situasi dan kondisi masa tertentu dan Sya’nu Nuzul (sejarah turunnya) sebuah ayat juga sama seperti ini. Jika seseorang dapat nenangkap perkara yang dipahami oleh akal sehat, maka hal ini akan banyak berpengaruh atas kejelian pemahamannya terhadap sebuah ayat. Patut diingat bukan berarti hal ini menjamin seseorang untuk tidak mengalami kesalahan sama sekali, bisa jadi seseorang mengalami kesalahan saat menghubungkan sesuatu yang tidak ada kaitannya dengan ayat bersangkutan atau ia lupa saat mengaplikasikan kaidah-kaidah yang ada. Namun bukan juga berarti kaidah-kaidah tersebut tidak memiliki arti sama sekali. Ilmu Logika (Mantiq) bertujuan menjaga kita agar tidak mengalami kesalahan saat berargumen secara rasional, namun bukan berarti seluruh yang menguasai ilmu mantiq, ia tidak akan mengalami kesalahan saat berargumen (segala argumennya adalah benar). Tidaklah demikian, bisa jadi ia mengalami kesalahan dan tidak menerapkan kaidah-kaidah rasional secara benar, dan hal ini tidak menjadikan ilmu Logika tersebut tidak bermanfaat.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa memperhatikan kondisi dan obyek sebuah pembicaraan serta Sya’nu Nuzul dan sejarah diturunkannya sebuah ayat sangat membantu seseorang untuk memahami ayat bersangkutan dengan lebih jeli dan teliti.
Oleh karenanya subyek pembicaraan dapat dipahami akal dengan jelas, dimana orang-orang berakal sehat pada kondisi normal dapat memahaminya tanpa sedikitpun keraguan, dan kita dapat mempraktekan hal tersebut. Namun sudah barang tentu sesuatu yang kita anggap sebagai suatu swa-bukti (Badihi, jelas dengan sendirinya), di sepanjang perjalanan sejarah ada saja yang meragukannya. Sehingga pada saat ini telah sampai pada batasan mereka menganggap bahwa tidak ada sesuatu yang jelas secara mutlak, segala sesuatunya adalah relatif, namun keraguan semacam ini merupakan suatu penyimpangan. Tidak ada seorang berakal sehat pun yang pada awalnya menyakini hal semacam ini, keraguan ini muncul dikarenakan adanya sebuah kerancuan, setiap orang berakal sehat -yang belum terkontaminasi segala kerancuan dan tidak memiliki tujuan dan kepentingan tertentu- ia akan menangkap sebuah realitas saat berhadapan dengan permasalahan tertentu. Contoh, saat saya berbicara dengan Anda dan saya mengatakan “saat ini lampu ruangan saya dalam keadaan menyala” Anda tidak akan meragukan hal tersebut, namun para Sophist akan meragukannya, sebagaiman ucapan Descartes yang terkenal “Dari mana saya tahu kalau saya tidak dalam keadaan mimpi, bisa jadi segala yang saya saksikan ini adalah mimpi”. Keraguan semacam ini akan selalu ada, namun orang-orang yang berakal sehat tidak akan memperhatikan keraguan yang berlebihan semacam ini. Orang-orang yang memiliki fitrah yang sehat, akalnya akan menerima proposisi-proposisi rasional, jika ada seseorang yang memahami sebuah ucapan atau sebuah teks dengan pemahaman yang bertentangan dengan rasio, maka pemahaman ini tidak akan diterimanya.
Yang dimaksud di sini ialah bahwa pertalian rasional memiliki pengaruh dalam memahami sebuah pembicaraan. Sudah barang tentu di saat sebuah perkataan memiliki dua makna, makna yang satu bertentangan dengan hukum akal dan yang satunya sesuai dengannya, maka yang sesuai dengan akallah yang patut kita terima. Jika sebuah perkataan bersumber dari Zat yang Mahabijaksana, namun kita memahaminya dengan makna yang bertentangan dengan akal, maka dapat dipastikan bahwa pemahaman kitalah yang salah. Oleh karenanya kesaksian akal, lafaz, kondisi, dan sejarah sangat berpengaruh dalam mamahami ayat-ayat Al-Quran. Demikian pula, apabila kita memahami sesuatu dari ayat Al-Quran dan kita menganggapnya sebagai suatu yang jelas, namun ternyata pemahaman tersebut bertentangan dengan argumen rasional, maka argumen rasional dapat menjadi bukti bahwa pemahaman tersebut adalah salah. Misalnya dalam ayat-ayat yang secara lahir menunjukkan makna jasmaniah terhadap Allah SWT seperti makna ayat “Dan datanglah Tuhanmu; sedang malaikat berbaris-baris.” dan “Tuhan yang Maha Pemurah. yang bersemayam di atas ‘Arsy”tatakal al-Quran sendiri menyatakan “tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan Melihat”. Maka jika ayat mengatakan “Datang Tuhanmu” dan yang terlintas dibenak kita adalah makna yang berunsur materi, maka secepatnya kita harus menolak pemahaman tersebut karena akal menolaknya. Dengan demikian sebagaimana bukti sejarah dan lafazh dapat membatu kita untuk memahami ayat secara benar, demikian pula dengan bukti rasional. Sebelumnya kita harus mamahami apa yang dimaksud dengan bukti rasional atau kesaksian akal. Salah satu kriteria bukti rasional adalah bahwa seluruh orang berakal dapat menerimanya, namun jika seseorang mengatakan bahwa menurut pemikiran saya adalah demikian, lantas seorang lainnya memiliki pemikiran yang berbeda, maka hal ini tidak dapat dikatakan sebagai suatu yang rasional. Sesuatu yang menjadi perselisihan tidak dapat disandarkan kepada rasio. Saat sebuah permasalahan benar-benar bersumber dari rasio, maka setiap orang berakal sehat akan menangkapnya, kecuali jika pokok permasalahan tidak dipahami dengan baik.
Seandainya terdapat pertalian rasional yang pasti, maka kita dapat menggunakannya untuk memahami makna sebuah teks, orang-orang yang berakal sehat mengunakan kaidah tersebut dalam komunikasi dan percakapan mereka. Al-Quran menjelaskan tugas-tugas Rasulullah SAW dalam sebuah ayat , membacakan ayat-ayat Al-Quran (tilawah), mengajarkannya kepada umat (ta’lim) dan membersihkan jiwa mereka (tazkiah) sebagaimana firman Allah “Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan hikmah”, dari ayat ini kita memahami bahwa mengajarkan ayat-ayat Al-Quran merupakan salah satu tugas Nabi SAW di mana ada poin-poin tertentu di dalam Al-Quran yang harus dijelaskan oleh beliau. Seandainya kita hanya bersandar kepada pemahaman kita maka sudah barang tentu saat kita berhadapan dengan poin-poin tersebut (yang harus dijelakan oleh Nabi SAW) kita tidak akan dapat menafsirkannya dengan sebenarnya, oleh karenanya kita tidak hanya membutuhkan bacaan ayat yang disampaikan oleh Rasul SAW, namun kita juga butuh pengajaran beliau. Jika tugas Rasulullah SAW hanya membacakan ayat-ayat Al-Quran kepada umat, maka ayat di atas cukup menyebutkan Yatlu ‘Alalihim Aayatihi (membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya) titik. Selain itu dalam ayat yang lain terdapat penjelasan yang lebih tegas, firman Allah SWT “Wa anzalna ilaika az-Dzikra li tubayyina linnasi Ma Nuzzila Ilaihim” dan kami turunkan kepadamu Al-Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang Telah diturunkan kepada mereka. Ma Nuzzila Ilaihim artinya adalah sesuatu yang diturunkan kepada mereka, mereka adalah umat manusia jadi pada dasarnya ayat-ayat Al-Quran diturunkan untuk umat manusia. Dengan kata lain pada akhirnya ayat-ayat Al-Quran harus sampai kepada mereka. Adapun makna “Li Tubayyina linnasi Ma Nuzzila Ilaihim” adalah; bahwa kamu harus menjelaskan apa-apa yang diturunkan untuk umat manusia. Hal ini selain menyatakan bahwa Rasulullah SAW adalah mufassir Al-Quran ini pun merupakan bukti yang solid bahwa Al-Quran membutuhkan penafsiran. Sebuah penfsiran yang menjadi tanggung jawab Rasulullah SAW.
Dari sini kita dapat memahami bahwa untuk menafsirkan ayat-ayat Al-Quran kita pun harus merujuk kepada ucapan Rasulullah SAW, paling tidak pada bagian-bagian atau ayat-ayat tertentu. (Bersambung)