Oleh : Shavin Iravani
Perempuan dan Integritas Moral dalam Al-Quran Kesucian, dalam kasus Maryam as, merupakan kesalehan luar biasa penting dalam Al-Quran. Beberapa karakter yang diperkenalkan dalam kaitan ini adalah Maryam as, Yusuf as, dan istri gubernur Mesir beserta sahabat-sahabatnya. Maryam as dan Yusuf as merupakan personifikasi kesucian karena keduanya harus melewati ujian-ujian yang intimidatif dan mampu keluar sebagai pemenang dan suci. Namun begitu, terdapat sebuah perbedaan esensial diantara keduanya. Yusuf as berupaya menjaga kesuciannya tatkala para perempuan menginginkannya. Yusuf as sama sekali tidak berpikir untuk melakukan dosa (QS. Yusuf : 24). Kasus Maryam as, bagaimanapun, berbeda. Maryam as berkata pada malaikat sebagai berikut : ”sesungguhnya aku berlindung dari padamu kepada Tuhan yang Maha Pemurah, jika kamu seorang yang bertakwa.”(QS. Maryam : 18) Sang malaikat berkata padanya : ”Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang utusan Tuhanmu untuk memberimu seorang anak laki-laki yang suci.”(QS. Maryam : 19) Maryam as menjawab, ”Bagaimana akan ada bagiku seorang anak laki-laki sedangkan tidak pernah seorang manusia pun menyentuhku dan aku bukan (pula) seorang pezina!”(QS. Maryam : 20) Menurut seorang ahli tafsir, Jawadi Amuli, ini merupakan sebuah seruan untuk melakukan perbuatan-perbuatan baik dan meninggalkan perbuatan-perbuatan jahat. Kata-kata tersebut memiliki nilai instruktif. Maryam as tidak hanya berlindung dari dosa pada kekuasaan Tuhan tapi juga memperingatkan orang itu (malaikat) untuk tidak melakukan dosa dengan mengingatkannya akan (kehadiran) Tuhan. Dengan begitu, pengaruh spiritual Maryam as melampaui dirinya sendiri dan memberikan efek pada individu yang lain. Untuk menjelaskan argumen tersebut, tampaknya akan bermakna jika merujuk pada surah Yusuf, yang di dalamnya perilaku istri gubernur Mesir dan teman-temannya ditampilkan. Meskipun telah menikah, perempuan tidak saleh ini jatuh cinta pada seorang pelayan laiki-laki, Yusuf as, yang suaminya justru menganggap Yusuf sebagai anaknya. Dia berusaha menjebak dan menggoda Yusuf. Namun, ketika rencana jahatnya gagal dan rahasianya terbongkar, ia membalasnya dengan mendistorsi kebenaran dan berpura-pura bahwa Yusuflah yang berupaya merayunya. Maka, Yusuf as dijebloskan ke dalam penjara karena rencana jahatnya. Fakta bahwa Al-Quran memberikan contoh dari kalangan perempuan bukan pria merefleksikan pentingnya perilaku perempuan dalam kondisi semacam itu. Lebih jauh. Al-Quran menggunakan frasa ”tipu daya yang besar” ketika menjelaskan perilaku perempuan tersebut dan teman-temannya yang mencoba merayu Yusuf as dan kemudian, sebagai pembalasan, menuduh Yusuf sebagai seorang kriminal. Pada hakikatnya, sebuah telaah yang seksama tentang kisah Yusuf as dalam Al-Quran menyingkapkan salah satu tema utama, yakni tipudaya. Saudara-saudara Yusuf as menipu ayah mereka dan berupaya untuk membunuh Yusuf as. Yusuf as di kemudian hari menyembunyikan sebuah gelas berharga dalam karung saudaranya dan menuduh saudaranya telah melakukan pencurian. Al-Quran menyatakan bahwa Allah SWT mengajari yusuf penggunaan tipu daya tadi. Ketika mengetahui bahwa teman-temannya memperolok karena telah jatuh cinta pada Yusuf as, istri gubernur Mesir mengundang mereka semua dan memberikan tiap-tiap mereka semua sebilah pisau dan buah-buahan. Kemudian ia menampilkan ketampanan Yusuf as pada mereka. Maka kelompok perempuan yang terpesona ini melukai tangan masing-masing, alih-alih mengupas buah itu, tatkala menyaksikan (ketampanan) Yusuf. Namun demikian, di antara tipu daya dan rencana tersembunyi ini, hanyalah tipu daya perempuan yang menciptakan sebuah ”kemenangan besar”. Alasannya adalah efek distruktif dari tipu daya itu dalam menjerumuskan orang lain. Hal ini juga merefleksikan bahwa perempuan memiliki kekuatan untuk mempengaruhi pria. Dengan mempertimbangkan fakta bahwa Maryam as berada satu langkah di depan Yusuf as dalam integritas moral dan bahwa perempuan dianugerahi kekuatan untuk mempengaruhi pria, dan dengan demikian mampu melakukan ”tipu daya yang besar”, kita dapat menyimpulkan bahwa peran perempuan dalam mempertahankan integritas moral masyarakat jauh lebih signifikan ketimbang pria. Meski, bagaimanapun, tidak berarti bahwa pria tidak mempunyai tanggung jawab dalam kaitan ini. Yusuf as diperkenalkan dalam Al-Quran sebagai model kesucian seorang pria. Meskipun belum menikah, menarik, dan dicari banyak perempuan, ia mampu mengontrol hasratnya dan lebih memilih pesakitan (dalam penjara) daripada mengalami kerusakan moral. Diriwayatkan oleh Rasulullah SAW bahwa Yusuf as merupakan kriteria kesucian bagi pria sementara Maryam as adalah kriteria yang sama bagi perempuan, di hari pengadilan nanti. Dalam salah satu bagian yang membahas kemungkinan penerimaan wahyu, telah ditekankan bahwa, berdasarkan Al-Quran, Maryam as adalah seorang nabi dan telah menerima wahyu. Namun demikian, Maryam bukanlah satu-satunya perempuan yang telah melakukan komunikasi supranatural. Ibunda Nabi Musa as diperkenalkan dalam Al-Quran sebagai orang yang telah menerima wahyu (QS. Thaha : 38), dan istri Ibrahim as juga berbicara dengan para malaikat (QS. Hud : 73). Dengan demikian, status transendental penerimaan wahyu tidaklah semata-mata menjadi milik kaum pria. Bagaimanapun, pertanyaan yang muncul di sini adalah; mengapa semua nabi, yang memiliki tugas untuk menyampaikan pesan Tuhan kepada manusia, dipilih dari kaum pria ? Jawabannya terletak pada posisi historis perempuan dalam masyarakat manusia. Bahkan kini, sangatlah sulit bagi masyarakat-masyarakat patriarkal untuk menerima kepemimpinan perempuan. Dengan begitu, bagaimana dapat diharapkan bahwa pada milenium yang lalu seorang perempuan dapat diakui, bukan hanya sebagai agamawan atau intelektual, tetapi juga pemimpin politik dan militer dari masyarakat ? Aspek-aspek yang ditelaah hingga kini dihubungkan dengan identitas esensial umat manusia sebagai pria dan perempuan. Kini saatnya untuk memperhatikan peran perempuan dalam kehidupan. Al-Quran memberikan kepada perempuan banyak peran dengan cara membahas karakter beberapa contoh, yang perilakunya terhadap kehidupan dan pemenuhan tugas-tugasnya sangatlah dipuji atau bahkan dikecam. Di antara peran-peran tersebut, salah satunya yang paling signifikan adalah peran mereka sebagai ibu dan istri. Sebagai istri, seperti halnya istri Imran, istri Zakaria, istri-istri Ibrahim (Sarah dan Hajar), dan istri Ayyub, yang dirujuk dalam Al-Quran. Perempuan-perempuan tersebut dipuji berdasarkan dua kesalehan utama; dipuji sebagai hamba yang saleh dan pelaku amal-amal saleh, serta sejumlah kesalehan personal lainnya; dan kemudian dipuji karena telah menjadi mitra yang sempurna bagi suami masing-masing di jalan Allah SWT. Haruslah dicatat bahwa bukan hanya persahabatan dan ketaatan yang dipertimbangkan terpuji. Hal-hal tersebut bernilai hanya karena mereka melakukannya demi Allah dan karena Allah. Istri Firaun dipuji karena ketidakpatuhannya pada seorang suami yang zalim, istri Nuh as dan istri Luth as dikecam karena tidak taat terhadap suami-suami mereka yang saleh, dan istri Abu Lahab dikecam karena menaati dan membantu suaminya yang zalim (QS. Ali Imran : 34-36; Al-Anbiya : 89-90; Hud : 69-73; Ibrahim : 37; Shad : 41-44). Sebagai ibu, Al-Quran memberikan contoh perempuan-perempuan seperti Maryam (ibunda Nabi Isa as), ibunda Maryam as, ibunda Musa as, dan juga istri Firaun yang menyelamatkan, melindungi, dan mendidik Musa as. Keibuan Maryam as sejak awal diuji dengan penderitaan dan tekanan. Namun, ia tetap menghadapi masyarakatnya dengan berani dan membesarkan serta mendidik Isa as dengan baik (QS. Maryam : 22-23). Ibunda Maryam as, di sisi lain, bersumpah bahwa bayi dalam kandungannya akan didedikasikan pada Tuhan dan setelah sang bayi lahir, memohon kepada Allah untuk melindunginya dan anaknya (QS. Ali Imran : 34-36). Ibunda Nabi Musa as dalam kesedihan yang luar biasa – tapi ditenangkan oleh firman Allah – menghanyutkan anaknya di Sungai Nil dan mengikutinya. Allah SWT, berkat kasih-Nya, mengembalikan putranya ke pangkuannya ”agar senang hatinya dan tidak berduka cita” (QS. Thaha : 36-40). Istri Firaun membujuk suaminya agar tidak membunuh Musa as, melaksanakan semua tugas seorang ibu bagi Musa, dan akhirnya menjadi pengikut Musa serta mengorbankan hidupnya bagi keyakinannya (QS. Al-Qashash : 7-9 dan At-Tahrim : 11-12). Tak ada referensi langsung mengenai ibu yang buruk dalam Al-Quran. Akan tetapi Nuh as memiliki seorang putra yang amoral, yang dibesarkan seorang ibu yang buruk. Meskipun Al-Quran tidak mengindikasikan sebuah hubungan, namun setidaknya dapat dikatakan bahwa terdapat suatu hubungan antara ibu yang tidak bertanggungjawab dengan putra yang jahat. Ini bukanlah nilai yang tipikal karena hubungan seperti itu tidak ditemukan dalam keluarga Luth as. Al-Quran berbicara mengenai semua anggota keluarga Luth as sebagai orang yang diselamatkan kecuali istrinya (QS. Hud : 81). Perempuan Muslim Teladan Mereka yang tumbuh dan hidup dalam sistem pendidikan Islam membentuk kelompok kedua dari para teladan. Sumber informasi mengenai kelompok pertama, perempuan dalam umat-umat terdahulu, adalah Al-Quran, sumber informasi terpenting di Dunia Islam. Namun, sumber informasi tentang pribadi-pribadi Muslim teladan merupakan koleksi sangat luas dalam catatan sejarah dan kata-kata yang diriwayatkan dari para pemimpin awal Islam. Beberapa bagian dari koleksi informasi yang luas ini tidaklah dapat diandalkan sepenuhnya. Dengan begitu, sangatlah krusial bagi seseorang untuk merujuk pada dokumen-dokumen sejarah yang berbeda untuk memastikan peristiwa atau pembicaraan yang dilaporkan itu otentik. Namun demikian, sumber-sumber ini memiliki keuntungan karena begitu terperinci dan, dibandingkan dengan Al-Quran, memuat beragam data yang luas tentang sejumlah karakter teladan. Maka satu cara terbaik untuk menegaskan sebuah perilaku sebagai kesalehan adalah dengan menemukannya pada figur yang saleh. Hal yang penting lainnya adalah bahwa perempuan dalam Al-Quran kebanyakan ditampilkan dalam identitas esensialnya sebagai sosok perempuan dan suatu telaah mengenai peran mereka dalam kehidupan diletakkan pada signifikansi yang sekunder. Namun demikian, dalam catatan sejarah yang tersedia, perempuan secara mendasar digambarkan dalam peran-perannya dalam kehidupan sehingga deskripsinya sangat dipengaruhi oleh asumsi-asumsi pandangan patriarkal dari periode-periode sejarah yang berbeda. Maka, Al-Quran adalah tak terbandingkan oleh semua teks tersebut dalam rangka menemukan status sejati perempuan dalam Islam. Juga sangat vital untuk menggunakan Al-Quran sebagai standar untuk menilai catatan-catatan sejarah tersebut, khususnya karena sebagian besar ambiguitas dan komplikasi mengenai status perempuan dalam Islam berakar dari laporan-laporan sejarah tersebut. Perempuan Muslim teladan terbagi dalam dua kelompok; perempuan dari kalangan Ahlul Bait Rasulullah SAW dan para pengikut setianya dari kalangan perempuan secara umum. Di antara anggota kelompok pertama, kita dapat menyebut nama-nama seperti Khadijah as (istri Nabi SAW), Fatimah as (putri beliau SAW), Zainab as (cucu perempuan SAW), serta beberapa saudara perempuan para Imam dan anak perempuannya, seperti Fatimah dan Sakinah (putri-putri Sayyidina Husain), Fatimah (saudara perempuan Imam Ridha), dan Hakimah (anak perempuan Imam Ali an-Naqi). Para istri sebagian imam juga termasuk dalam daftar tersebut, seperti Ibunda Imam Mahdi, Narjes, yang menurut beberapa laporan sejarah seorang murid Isa as. Terdapat juga sejumlah nama perempuan yang disebutkan sebagai pengikut setia Rasulullah SAW dan para Imam. Fatimah Zahra Fatimah, putri Rasulullah SAW, memiliki status paling tinggi di antara semua karakter tersebut. Karakteristiknya identik dengan apapun yang dinilai Al-Quran sebagai terpuji dan berharga pada diri perempuan. Berikut ini merupakan sejumlah laporan yang diriwayatkan tentang status spiritualnya.
- Fatimah merupakan sosok terpilih di antara seluruh perempuan di dunia.
- Fatimah bercakap-cakap dengan para malaikat dan bahkan setelah wafatnya Rasulullah SAW, berbicara dengan Jibril dan menerima beberapa penjelasan darinya.
- Fatimah dipandang pada derajat tinggi oleh Allah dan Allah telah menetapkannya sebagai salah seorang hamba-Nya yang terpilih.
- Fatimah merupakan titik sentral Ahlul Bait Nabi SAW dan semua anggota yang dirujuk pada Ahlul Bait berada dalam terminologi hubungan mereka dengannya. Diriwayatkan bahwa Allah, ketika berbicara kepada Jibril, merujuk pada anggota-anggota keluarga suci ini dalam terminologi berikut; mereka adalah Fatimah, ayahnya, suaminya, dan putra-putranya.
- Fatimah adalah salah satu dari orang-orang yang bersegera dalam melakukan semua perbuatan baik.
- Fatimah merupakan seorang manusia tersabar, yang mengalami berbagai derita dan diksriminasi dari orang-orang zalim tetapi tidak pernah mengutuk seorang pun dari mereka.
- Fatimah memiliki status tinggi sebagai eksistensi suci yang mampu memberikan pertolongan (syafaat) atas izin Allah untuk umat manusia.
- Fatimah merupakan kriteria bagi perbuatan-perbuatan manusia pada hari pengadilan
- Fatimah mengaplikasikan seluruh kualitas dan posisi tersebut pada perilakunya yang khas terhadap kehidupan dan perubahannya serta energi Fatimah yang seakan tak pernah habis dalam meraih pertumbuhan spiritual dan kesempurnaan.
Sikap Fatimah terhadap Kehidupan Sebuah telaah yang seksama tentang gaya hidup Fatimah menunjukkan bahwa seluruh hidupnya dibentuk satu prinsip yang esensial; lebih memilih kesusahan daripada kemudahan. Seseorang mungkin akan terkejut ketika mengetahui prinsip seperti itu; mengapa ia mesti memilih prinsip tersebut dan melaksanakannya sepanjang hayat? Di Dunia modern kita, yang di dalamnya seluruh nilai secara drastis mengalami metamorfosis dan yang di dalamnya teknologi bermaksud untuk mereduksi kesulitan dan memanjakan manusia dengan kemungkinan maksimal dari kemudahan dan kenyamanan, pertanyaan di atas jelaslah sangat relevan. Islam, bagaimanapun, memiliki pandangannya tersendiri. Ketika berbicara tentang penemuan diri dan pertumbuhan spiritual, Islam mendorong adanya pengalaman dalam menghadapi kesulitan hingga batas yang layak bagi seseorang. Membangun suatu karakter memerlukan ketahanan akan kesusahan. Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan (QS. Al-Insyirah : 5) Ini merupakan prinsip yang sama, yang dapat ditemukan dalam kehidupan semua orang saleh, para reformis besar, dan semua pencari tujuan-tujuan yang bermakna. Berikut beberapa contohnya.
- Lebih memilih kemiskinan ketimbang kemakmuran dan kekayaan. Meskipun memiliki penghasilan yang stabil dari tanah Fadak, Fatimah hidup dalam kemiskinan dan mendermakan penghasilannya pada fakir miskin. Ia diriwayatkan pernah berkata, ”Aku tidak memiliki sesuatu apapun kecuali sepasang sepatu sobek dan penuh tambalan serta sehelai pakaian dan selembar hijab dalam kondisi yang sama.”
- Lebih mencintai orang lain daripada diri sendiri; putra Fatimah, Sayyidina Hasan mengenang ibunya sebagai berikut, ”Suatu kali, ibuku mendirikan shalat sejak pertengahan malam hingga fajar menjelang dan mendoakan seluruh orang kecuali dirinya sendiri. Aku bertanya, kenapa ? beliau berkata, putraku tersayang! Yang pertama adalah tetangga lalu dirimu.
- Lebih menyukai kesederhanaan daripada kemewahan. Fatimah mendermakan perhiasan-perhiasan lehernya, anting-anting, perhiasan-perhiasan anak-anaknya, dan gorden-gorden rumahnya yang indah untuk membantu kemajuan Islam. Ayahnya, Nabi SAW, merupakan sumber pendorong akan hal ini.
- Lebih menyukai usaha dan kesulitan daripada kemudahan dan kemalasan. Fatimah bersikeras mengerjakan sendiri tugas-tugas rumah tangga dan tangannya menunjukkan efek kerja keras itu.
- Lebih menyukai shalat malam daripada tidur dan beristirahat. Putranya, Sayyidina Hasan pernah menuturkan, ”Tak seorang pun yang lebih mengabdi daripada Fatimah. Ia berdiri di atas kakinya (mendirikan shalat) begitu lama sehingga kakinya bengkak.”
”Pada sebagian besar malamnya, ia mendirikan shalat hingga pagi hari.”
- Lebih suka menentang kezaliman daripada diam. Fatimah adalah pejuang Tuhan di hadapan kezaliman, khususnya setelah Rasulullah SAW wafat, ketika dirinya melancarkan protes terhadap berbagai ketidakadilan dengan keberanian luar biasa. Dua di antara penentangannya yang penting tercermin dari dua khutbah yang disampaikannya; satu di masjid dihadapan semua orang, satunya lagi di rumah di hadapan kehadiran orang-orang yang datang menjenguknya tatkala sakit. Ia memohon kepada suaminya, Sayyidina Ali, agar menguburkannya diam-diam sehingga orang-orang zalim tidak mengetahui kuburnya dan, dengan begitu, terhindar dari hipokritas (kemunafikan) yang dipertontonkan orang-orang tersebut setelah kematiannya. Ini juga merupakan suatu bentuk yang kompleks dari penentangan Fatimah as terhadap kezaliman orang-orang tersebut.
Semua yang disebutkan di atas secara konsisten dilaksanakan karena Fatimah hendak meraih status tinggi dari keridhaan Allah serta dileburkan dalam eksistensi-Nya yang abadi, tangga tertinggi dari kesempurnaan manusia. Kaum perempuan yang hidup semasa dengan Fatimah mengatakan bahwa Fatimah memiliki seluruh karakteristik kemanusiaan yang transenden. ”Aku tidak pernah melihat seorang perempuan yang lebih peduli daripada Zahra.” ”Rasulullah SAW memberikan padaku putrinya. Maka, kudidik sang putri itu tetapi ia ternyata lebih terdidik dibandingkan aku.” Istri Nabi SAW, Aisyah berkata, ”Aku tidak pernah melihat seorang perempuan pun yang lebih mukmin daripada Fatimah.” Aku tidak pernah melihat siapa pun yang lebih utama dibanding Fatimah kecuali ayahnya.” Haruslah diperhatikan bahwa kualitas-kualitas yang disebutkan dari sumber-sumber yang berbeda, sebagai bukti bagi status spiritual Fatimah dan karakter teladannya, merupakan tanga-tanda umum kesempurnaan bagi segenap manusia, di mana masalah gender sama sekali tidak berperan apapun dalam konteks ini. Kesimpulan Sudah menjadi Fitrah Manusia untuk mencontoh sosok yang ideal. Dalam Islam, sosok yang ideal mewujud pada pribadi-pribadi tertentu, yang memiliki nilai-nilai spiritual termulia. Melalui sebuah telaah terhadap karakter-karakter dalam Al-Quran dan teks-teks Islam, menjadi jelas bahwa kesempurnaan spiritual terbuka bagi siapapun, baik pria maupun perempuan. Kami menyajikan beragam contoh mengenai perempuan-perempuan yang telah meraih kedekatan dengan Tuhan dan menjadi teladan bagi pria dan perempuan di seluruh penjuru dunia. Dalam pribadi-pribadi yang disebut sebagai ”empat perempuan sempurna” kesalehan-kesalehan abadi telah dipaparkan, seperti kesabaran, kesucian, dan keberanian. Sebagai perempuan, mereka juga menampilkan diri di hadapan kaum perempuan Muslim, pelbagai model peran yang ideal dalam tugas-tugasnya sebagai istri dan ibu. Pada diri Maryam as, kita menyaksikan pengaruh langsung kesuciannya dalam membesarkan dan mendidik puranya, Nabi Isa as. Pada Khadijah, kita melihat signifikansi persahabatan seorang istri pada suaminya dalam mendukung sang suami dalam kehidupan yang berorientasi Ilahiah. Pada karakter Aisyah as, kita mengamati suatu personifikasi keberanian dan pengabdian pada Tuhan dalam penentangannya terhadap tirani dan kezaliman suaminya. Semua kebaikan dan kesalehan tersebut bersatu padu dalam semangat tanpa akhir pada diri Fatimah az-Zahra as. Ia benar-benar merupakan perempuan paling inspiratif dalam penciptaan dan cahayanya bersinar layaknya obor yang menerangi umat manusia. Seorang perempuan Muslim selamanya diberkati dengan keberadaan para teladan tersebut, yang menampilkan baginya suatu bimbingan dan inspirasi yang diperlukan untuk meraih kesempurnaan dan tetap mulia di antara perempuan-perempuan lain di masanya.