Sosok

Perempuan-Perempuan Suci Dari Keluarga Rasulullah SAW

SAYYIDAH AMINAH

Pribadi Agung, Teladan Kaum Wanita, Pemimpin Para Ibu

 

Berkatalah Baginda Nabi Muhammad SAW  tentang nasabnya.

“ALLAH telah memilih aku dari Kinanah, dan memilih Kinanah dari suku Quraisy bangsa Arab.

Aku berasal dari keturunan orang-orang yang baik, dari orang-orang yang baik,

dari orang-orang yang baik.” Dengarlah sabdanya lagi, “Allah memindahkan aku

 dari sulbi-sulbi yang baik ke rahim-rahim yang suci secara terpilih dan terdidik.

Tiadalah bercabang dua, melainkan aku di bahagian yang terbaik.”

 

Aminah binti Wahab. Ibu dari Nabi Muhammad SAW yang diutus ALLAH sebagai rahmat seluruh alam. Cukuplah baginya kemuliaan dan kebanggaan yang tidak dapat dimungkiri, bahwa Allah Azza Wa Jalla memilihnya sebagai ibu seorang rasul mulia dan nabi yang terakhir. Seorang wanita berhati mulia, pemimpin para ibu. Seorang ibu yang telah menganugerahkan anak tunggal yang mulia pembawa risalah yang lurus dan kekal, rasul yang bijak, pembawa hidayah. Dialah Bunda Aminah bukan cuma ibu seorang rasul atau nabi, tetapi juga wanita pengukir sejarah. Kerana risalah yang dibawa putera tunggalnya sempurna, benar dan kekal sepanjang zaman. Suatu risalah yang bermaslahat bagi umat manusia. Berkatalah Ibnu Ishaq tentang Bunda Aminah binti Wahab ini. “Pada waktu itu ia merupakan gadis yang termulia nasab dan kedudukannya di kalangan suku Quraisy.”

Aminah binti Wahab merupakan bunga yang indah di kalangan Quraisy serta menjadi puteri dari pemimpin Bani Zuhrah. Pergaulannya senantiasa dalam penjagaan dan tertutup dari pandangan mata. Terlindung dari pergaulan bebas sehingga sukar untuk dapat mengetahui jelas penampilannya atau gambaran fisikalnya. Para sejarawan hampir tidak mengetahui kehidupannya kecuali sebagai gadis Quraisy yang paling mulia nasab dan kedudukannya di kalangan Quraisy.

Meski tersembunyi, baunya yang harum semerbak keluar dari rumah Bani Zuhrah dan menyebar ke segala penjuru Makkah. Bau harumnya membangkitkan harapan mulia dalam jiwa para pemudanya yang menjauhi wanita-wanita lain yang terpandang dan dibicarakan orang.

ALLAH memilih Aminah “Si Bunga Quraisy” sebagai isteri Sayyid Abdullah bin Abdul Muthalib di antara gadis lain yang cantik dan suci. Ramai gadis yang meminang Abdullah sebagai suaminya seperti Ruqaiyah binti Naufal, Fatimah binti Murr, Laila al-Adawiyah, dan masih ramai wanita lain yang telah meminang Abdullah.

Bunda Aminah adalah pemimpin para ibu, karena ia ibu Nabi Muhammad SAW yang dipilih ALLAH sebagai rasul pembawa risalah untuk umat manusia hingga akhir zaman. Saat menjelang wafatnya, Aminah berkata: “Setiap yang hidup pasti mati, dan setiap yang baru pasti usang. Setiap orang yang tua akan binasa. Aku pun akan wafat tapi sebutanku akan kekal. Aku telah meninggalkan kebaikan dan melahirkan seorang bayi yang suci.”

Seorang Ulama dalam kitab Maulid Ad-Diba’iy, Syaikh Abdurahman Ad-Diba’iy hal 192-193 meredaksikan:

“Sesungguhnya saat malam kelahiran Nabi Suci Muhammad SAW, Arsy seketika bergetar hebat nan luar biasa meluapkan kebahagiaan dan kegembiraannya, Kursi Allah bertambah kewibawaan dan keagungannya dan seluruh langit dipenuhi cahaya bersinar terang dan para malaikat seluruhnya bergemuruh mengucapkan pujian kepada Allah SWT.”

 

Salam atas Ibunda Agung Sayyidah Aminah Alaihassalam…

 

 

Sayyidah Khadijah

Tak dapat dimungkiri, Khadijah, istri Rasulullah merupakan sosok yang fenomenal. Integritas, kesucian diri, keimanan, dan komitmennya untuk terus menyokong lalu berkorban demi dakwah memang luar biasa. Khadijah, cinta sejati Rasulullah

 

Khadijah binti Khuwailid bin Asad bin ‘Abdil ‘Uzza bin Qushay Al-Qurasyiyah Al-Asadiyah sebagai istri Rasulullah SAW sekaligus wanita pertama yang membenarkan pengangkatan Muhammad SAW sebagai nabi dan beriman kepada Allah dan Rasul-Nya Sebelumnya dia dikenal sebagai seorang wanita yang menjaga kehormatan dirinya sehingga melekatlah sebutan ath-thaahirah pada dirinya.

Khadijah binti Khuwailid lahir pada tahun 68 sebelum Hijrah. Hidup dan tumbuh serta berkembang dalam suasana keluarga yang terhormat dan terpandang, berakhlak mulia, terpuji, berkemauan tinggi, serta mempunyai akal yang suci, Khadijah adalah wanita kaya yang hidup dari usaha perniagaan. Dan untuk menjalankan perniagaannya itu ia memiliki beberapa tenaga laki-laki, diantaranya adalah Muhammad SAW (sebelum beliau menjadi suaminya).

Peristiwa pernikahan Muhammad SAW dengan Khadijah r.a berlangsung pada hari Jum’at, dua bulan sesudah kembali dari perjalanan niaga ke negeri Syam. Bertindak sebagai wali Khadijah r.a ialah pamannya bernama ‘Amir bin Asad, sedang Waraqah bin Naufal membacakan khutbah pernikahan dengan fasih, disambut oleh Abu Thalib sebagai berikut: “Alhamdu Lillaah, segala puji bagi Allah Yang menciptakan kita keturunan (Nabi) Ibrahim, benih (Nabi) Ismail, anak cucu Ma’ad, dari keturunan Mudhar. “Begitupun kita memuji Allah SWT Yang menjadikan kita penjaga rumah-Nya, pengawal Tanah Haram-Nya yang aman sejahtera, dan menjadikan kita hakim terhadap sesama manusia.

“Sesungguhnya anak saudaraku ini, Muhammad bin Abdullah, kalau akan ditimbang dengan laki-laki manapun juga, niscaya ia lebih berat dari mereka sekalian. Walaupun ia tidak berharta, namun harta benda itu adalah bayang-bayang yang akan hilang dan sesuatu yang akan cepat perginya. Akan tetapi Muhammad SAW, tuan-tuan sudah mengenalinya siapa dia. Dia telah melamar Khadijah binti Khuwailid. Dia akan memberikan mas kawin lima ratus dirham yang akan segera dibayarnya dengan tunai dari hartaku sendiri dan saudara-saudaraku.

 

Wanita Terbaik
Sanjungan lain yang banyak kali diucapkan Rasulullah SAW. terhadap peribadi Khadijah ra. ialah: “Dia adalah seorang wanita yang terbaik, karena dia telah percaya dan beriman kepadaku di saat orang lain masih dalam kebimbangan, dia telah membenarkan aku di saat orang lain mendustakanku; dia telah mengorbankan semua harta bendanya ketika orang lain mencegah kemurahannya terhadapku; dan dia telah melahirkan bagiku beberapa putera-puteri yang tidak ku dapatkan dari isteri-isteri yang lain”.

Putera-puteri Rasulullah SAW. dari Khadijah ra. sebanyak tujuh orang: tiga lelaki (kesemuanya meninggal di waktu kecil) dan empat wanita. Di antaranya Qosim, Abdullah, Zainab, Ruqayah, Ummu Kultsum dan Fathimah. Namun putera beliau yang laki-laki meninggal dunia sebelum dewasa. Salah satu dari puterinya bernama Fatimah, dinikahkan dengan Ali bin Abu Thalib, sama-sama sesuku Bani Hasyim. Keturunan dari kedua pasangan inilah yang dianggap sebagai keturunan langsung dari Rasulullah SAW.

 

Perjuangan Khadijah

Tatkala Nabi SAW mengalami rintangan dan gangguan dari kaum lelaki Quraisy, maka di sampingnya berdiri dua orang wanita. Kedua wanita itu berdiri di belakang dakwah Islamiah, mendukung dan bekerja keras mengabdi kepada pemimpinnya, Muhammad SAW : Khadijah bin Khuwailid dan Fatimah binti Asad. Oleh karena itu Khadijah berhak menjadi wanita terbaik di dunia. Bagaimana tidak menjadi seperti itu, dia adalah Ummul Mukminin, sebaik-baik isteri dan teladan yang baik bagi mereka yang mengikuti teladannya.

Khadijah menyiapkan sebuah rumah yang nyaman bagi Nabi SAW sebelum beliau diangkat menjadi Nabi dan membantunya ketika merenung di Gua Hira’. Khadijah adalah wanita pertama yang beriman kepadanya ketika Nabi SAW berdoa (memohon) kepada Tuhannya. Khadijah adalah sebaik-baik wanita yang menolongnya dengan jiwa, harta dan keluarga. Peri hidupnya harum, kehidupannya penuh dengan kebajikan dan jiwanya sarat dengan kebaikan.

Betapa tidak, karena Khadijah r.a. adalah pendukung Nabi SAW sejak awal kenabian. Ar-Ruuhul Amiin telah turun kepadanya pertama kali di sebuah gua di dalam gunung, lalu menyuruhnya membaca ayat-ayat Kitab yang mulia, sesuai yang dikehendaki Allah SWT. Kemudian dia menampakkan diri di jalannya, antara langit dan bumi. Dia tidak menoleh ke kanan maupun ke kiri sehingga Nabi SAW melihatnya, lalu dia berhenti, tidak maju dan tidak mundur. Semua itu terjadi ketika Nabi SAW berada di antara jalan-jalan gunung dalam keadaan kesepian, tiada penghibur, teman, pembantu maupun penolong.

Sesungguhnya ia adalah kedudukan yang tidak diperoleh seorang pun di antara para shahabat yang terdahulu dan pertama masuk Islam serta khulafaur rasyidin. Hal itu disebabkan sikap Khadijah ra. pada saat pertama lebih agung dan lebih besar daripada semua sikap yang mendukung dakwah itu sesudahnya. Sesungguhnya Khadijah ra. merupakan nikmat Allah yang besar bagi Rasulullah SAW. Khadijah mendampingi Nabi SAW selama seperempat abad, berbuat baik kepadanya di saat beliau gelisah, menolongnya di waktu-waktu yang sulit, membantunya dalam menyampaikan risalahnya, ikut serta merasakan penderitaan yang pahit pada saat jihad dan menolong-nya dengan jiwa dan hartanya.

Rasulullah SAW bersabda : ”Khadijah beriman kepadaku ketika orang-orang mengingkari. Dia membenarkan aku ketika orang-orang mendustakan. Dan dia memberikan hartanya kepadaku ketika orang-orang tidak memberiku apa-apa. Allah mengaruniai aku anak darinya dan mengharamkan bagiku anak dari selain dia.” [HR. Imam Ahmad dalam “Musnad”-nya, 6/118]

Selain, kedermawanan dan pekertinya yang patut dijadikan teladan, loyalitas Khadijah terhadap dakwah yang dilakukan oleh Rasulullah SAW pun tidak dapat diragukan lagi. Beliau yang pertama kali beriman setelah Rasulullah memperoleh wahyu. Beliau dapat menenangkan hati Rasulullah yang gelisah setelah menerima wahyu Allah SWT dengan perantara malaikat Jibril. Dan beliau pula yang selalu mendampingi Rasulullah di masa-masa sulit ketika untuk pertama kalinya Islam disebarkan.

banyak sekali keteladanan hidup dari sang Ummul Mukminin, cinta sejati Rasulullah SAW, Khadijah yang semoga saja bisa menjadi tuntunan bagi kaum wanita.

Istri Yang Tercinta
Wahai Muslimah…
Mengapa kita harus mencari panutan yang lain,
Kalau di hadapan kita ada sosok yang paling baik,
dan Mulia Ibu bagi orang Mukminin…
Istri yang setia lagi Taat…
Sebagai penentram hati sang suami…
dan sebaik-baik teladan bagi kaum wanita…

 

SAYYIDAH FATIMAH AZ-ZAHRA

 

Salah satu peristiwa monumental dalam sejarah Islam adalah peristiwa kelahiran dan sekaligus syahadah seorang wanita suci nan agung, putri Kinasih Al-Musthafa SAW yakni Fatimah Az-Zahra. Kita menyebutnya monumental karena pada diri beliau terdapat sejumlah keagungan sebagaimana ayahandanya Muhammad SAW  yang seyogyanya kita teladani dalam kehidupan. Tapi, siapakah Fatimah ? Jawaban yang dibutuhkan bukan sekadar jawaban biografis. Melainkan lebih dari itu. Artinya, kita tidak cukup untuk menjawab bahwa Fatimah adalah putri Rasulullah SAW, istri dari Imam Ali bin Abi Thalib, Ibu dari Imam Hasan, Imam Husain, Sayyidah Zainab dan Sayyidah Ummu Kultsum. Jawaban yang kita inginkan tentu saja adalah jawaban yang mampu memuaskan dahaga intelektual, spiritual, emosional atau bahkan sosiopolitis kaum muslimin terutama bagi para pecinta dan pengikutnya. Ini berarti kita menginginkan jawaban-jawaban yang sanggup menguak misteri kehidupan Az-Zahra. Tapi, mampukah kita ? Syaikh Ibrahim Amini dalam kata pengantar bukunya “Fatimah Az-Zahra : Wanita Teladan Sepanjang Masa”, mengakui betapa sulitnya untuk menulis buku tentang Fatimah Az-Zahra. Alasannya, Pertama, kehidupan Fatimah relatif pendek dan Kedua, tidak sampainya biografi yang lengkap perihal kehidupan Az-Zahra. Kesulitan untuk menguraikan kehidupan Fatimah juga diakui penulis lainnya seperti Ali Syari’ati, oleh karenanya, setelah sedikit menjelaskan tentang Fatimah, Syari’ati berkomentar pendek : Fatimah is Fatimah.

Berangkat dari kesadaran itulah lewat naskah yang singkat ini akan diungkapkan sekelumit kehidupan Fatimah yang pernah dideskripsikan atau disampaikan kepada kita, kaum muslimin.

Adalah tidak dapat diingkari oleh siapapun  bahwa Sayyidah Fatimah Az-Zahra adalah wanita terkemuka sepanjang zaman, tidak hanya bagi kalangan muslimin saja, tapi juga seluruh umat manusia. Nabi SAW menyebut Fatimah Az-Zahra putrinya, sebagai Sayyidah Nisa al-Alamin atau penghulu wanita sejagad raya. Ketika ditanya, bagaimana dengan Sayyidah Maryam ? Nabi menjelaskan, dia adalah penghulu wanita pada zamannya, tapi Fatimah adalah penghulu wanita sepanjang zaman.

 

Melalui kelahiran Fatimah Az-Zahra, Islam ingin mengajarkan betapa   istimewanya kedudukan perempuan dalam pandangan Islam. Bukan hanya sekedar slogan kalau Rasulullah SAW mengatakan bahwa sorga berada di bawah telapak kaki ibu. Juga bukan sekadar slogan kalau beliau menyatakan bahwa orang yang pertama kali harus kita berikan perbuatan baik adalah Ibu. Dalam berbagai ajaran Islam, perempuan mendapat penghormatan yang tidak pernah diberikan oleh seluruh agama lain di dunia ini. Itulah sebabnya, kelak setelah kelahirannya, pada saat anak perempuan dipandang rendah, Nabi mengangkat Fatimah. Ketika kehadiran anak wanita dianggap bencana, Nabi menyebut Fatimah sebagai “Al-Kautsar” (anugerah yang banyak). Dalam masyarakat jahiliyah yang bangga menguburkan anak perempuannya hidup-hidup, Nabi menegakkan hak-hak anak secara terbuka. Belum pernah pemimpin dunia memperlakukan anaknya seperti perlakuan Nabi kepada Fatimah. Hubungan batin di antara keduanya dicatat sejarah sebagai pelajaran abadi untuk umat manusia. Dari bimbingan ayahandanya, terbentuk kepribadian dan keteladanan pada diri Fatimah. Ia mewarisi kepribadian Maryam binti Imran yang di dalam Al-Quran dilukiskan sebagai wanita suci. Waktunya dipenuhi dengan zikir dan ibadat. Fatimah juga mewarisi karakter ibunya sendiri. Khadijah binti Khuwailid. Dia hidup sederhana di samping suaminya. Ali bin Abi Thalib. Dia pernah kelaparan tiga hari tiga malam karena memberikan makanannya kepada anak yatim, orang miskin dan tawanan. Seperti Khadijah, Fatimah mempersembahkan apapun yang dimilikinya untuk Islam. Terakhir, Fatimah juga menghimpun akhlak Asiyah binti Mazahim. Hari-hari terakhir dalam kehidupannya dipenuhi perjuangan menegakkan keadilan. Kalau Asiyah menentang kezaliman suaminya, Fatimah berjuang menentang kezaliman yang dilakukan lawan suaminya. Dia pernah berpidato di hadapan para sahabat Nabi SAW menuntut tanah fadak pemberian Rasulullah, bukan karena rakus harta, tetapi karena memperjuangkan haknya. Di rumahnya, pernah berkumpul pihak oposisi bukan karena dia punya ambisi politik, tetapi karena dia tidak dapat berkompromi dengan pelanggaran kebenaran. Tampaknya, pada Fatimahlah seharusnya wanita Muslimah mendefinisikan dirinya.

 

 

SAYYIDAH ZAINAB AL-KUBRA

Kesabarannya seperti permata yang menghiasi jiwanya

Sayyidah Zainab al-Kubra tumbuh dan berkembang di rumah tempat para malaikat berlalu lalang. Di rumah tempat nama-nama suci Allah selalu dikumandangkan, yang para penghuninya merupakan pengejawantahan segala kesempurnaan, kezuhudan, keberanian, kedermawanan, ahklak mulia, penghambaan, keadilan dan segala sifat sempurna lainnya. Kakeknya Rasulullah SAW yang merupakan manusia paling sempurna di alam semesta dan penghulu para nabi cukup memberikan pengaruh positif pada pertumbuhan kepribadian beliau. Nabi Muhammad SAW senantiasa memperhatikan para putra dan putri Sayyidah Fatimah Zahra dengan sepenuhnya serta mengasihi mereka.

Sayyidah Zainab al-Kubra demikian Rasulullah SAW memberi Gelar kepada cucunya dengan al-Kubra yang berarti yang besar atau agung. Sayyidah Zainab merupakan anak dari Sayyidah Fatimah Az-Zahra (Putri Rasulullah SAW) dan Sayyidina Ali Karramallah Wajhah, saudara -saudara Sayyidah Zaenab bernama Sayyidina Hasan dan Sayyidana Husain. Ketika Sayyidah Zainab yang Lahir tanggal 5 Jumadil Awal tahun 6 Hijriyah, Rasulullah SAW menggendong Zainab sambil menangis hingga bercucuran air matanya sambil berkata “Wahai putriku Fatimah ketahuilah bahwa cucuku ini akan ditimpa berbagai musibah dan menghadapi banyak cobaan”, begitupun sewaktu Malaikat Jibril berkunjung ke rumah Rasulullah SAW dan melihat Zainab cucu Rasulullah SAW, Malaikat jibril pun ikut menangis “Aku sedih melihat anak ini yang akan menyaksikan dan mengadapi berbagai macam cobaan dan musibah.” kata Jibril. Demikian Ramalan yang telah digambarkan Rasulullah SAW.

Salah satu gelar termasyhur beliau ialah ‘Aqiilah’. Ibnu Duraid dalam karyanya ‘Jamharotul Loghah’ berkata: “Fulanah Aqiilatul qaum berarti perempuan itu ialah perempuan paling mulia dari kaumnya.” Terdapat kisah tentang Sayyidah Zainab dalam berbagai sumber yang mengisyaratkan tentang kesempurnaan akal beliau. Dalam sejarah disebutkan bahwa pada suatu hari Sayyidah Zainab yang masih kecil bertanya kepada ayahnya, “Ayahku sayang, apakah engkau mencintaiku?” Kemudian Imam Ali menjawab: “Bagaimana mungkin aku tidak mncintaimu, kau adalah buah hatiku”. Lantas beliau berkata lagi: “Ayahku sayang, kecintaan hanyalah untuk Allah SWT sementara kasih sayang untuk kita”. Dalam riwayat lain pula dijelaskan bahwa suatu hari Imam Ali mendudukkan putrinya Zainab al-Kubra dipangkuannya lalu beliau mengelus-ngelus kepalanya seraya berkata: “Putriku sayang, katakan satu.” “Satu,” timpal beliau. Kemudian Imam Ali melanjutkan ucapannya: “Putriku sayang, katakan dua”. Namun Sayyidah Zainab  diam tidak menjawabnya. Lalu Imam Ali mengulangi ucapannya seraya berkata: “Berkatalah wahai cahaya mataku”. Sayyidah Zainab menjawab: “Ayahku sayang, aku tidak dapat mengatakan dua dengan lidahku yang dengannya aku katakan satu.” Mendengar hal itu lantas Imam Ali memeluknya dan menciumnya dengan penuh rasa haru. Kisah di atas menunjukkan kematangan dan kemampuan daya pikir lebih yang dimiliki oleh Sayyidah Zainab . Padahal beliau kala itu masih kanak-kanak. Dalam usia dini beliau dapat memahami bahwa ketika beliau telah mengatakan Tuhan itu Esa maka beliau tidak dapat mengatakan  Tuhan itu dua. Dengan kata lain beliau telah memahami kontradiksi antara konsep monoteisme dengan dualisme. Inilah salah satu perwujudan gelar ‘aqiilah (sangat berakal)’ yang disandang Sayyidah Zainab al-Kubra, berupa kematangan dan kecerdasan akal tinggi.

Keutamaan lain yang dimiliki Sayyidah Zainab ialah beliau memiliki ilmu tanpa ada yang mengajari. Imam Ali Zainal Abidin berkata: “Wahai bibiku…dan engkau, alhamdulillah, berilmu tanpa ada yang mengajarimu dan memahami sesuatu permasalahan, tanpa ada yang memahamkannya/menerangkannya.”

Setelah semua peristiwa yang ia lalui, Zainab ingin menghabiskan sisa hidupnya di sisi kakeknya, Rasulullah SAW. Akan tetapi Bani Umayyah tidak menginginkan hal itu, karena keberadaannya di Madinah dapat membangkitkan kemarahan orang-orang Madinah dan mendorong mereka untuk menuntut balas. Maka gubernur Madinah memintanya untuk meninggalkan Madinah. Kemudian ia pergi ke Mesir dan sampai pada bulan Sya’ban tahun 61H sebagaimana disebutkan sebagian besar buku sejarah. Kedatangannya di Mesir pun disambut hangat oleh Maslamah bin Makhlad al-Anshari, gubernur Mesir kala itu dan oleh penduduk Mesir. Kemudian Maslamah menjamunya di rumahnya dan ia tinggal di sana sekitar satu tahun lalu meninggal pada tahun 62 H.

Komentari Artikel Ini

comments

https://pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js
%d blogger menyukai ini: