Perspektif

Arti Sebuah Kesyahidan

Oleh : Ali Syariati

Karbala atau Asyura, hari yang oleh pecinta keluarga Nabi SAW dikenal sebagai “Hari Darah”, adalah hari yang memperlihatkan arti syahadah dengan segenap maknanya yang begitu dalam dan agung. Pada hari inilah Imam Husain tampil sebagai perwujudan dan model unggul bagi kepahlawanan sepanjang sejarah.

Begitu banyak orang yang menulis dan berbicara tentang sikap serta langkah Imam Husain selaku pahlawan Karbala. Mereka pun senantiasa menulis dan membicarakan hal itu. Sementara kaum tradisional telah menafsirkannya dengan gaya dan dari sudut pandang mereka yang khas, kaum intelektual yang modernis turut membubuhkan penafsiran yang tentunya berawal dari sudut pandang yang khas pula.

Di sini, setelah melakukan perenungan yang dalam, saya dapat menyimpulkan bahwa visi, misi dan perjuangan Imam Husain tidak akan kita pahami selama kita tidak menyentuh arti dan hakikat kesyahidan. Ketidakpahaman kita ini akibat dari keagungan pribadi beliau itu sendiri, juga dari kita sendiri yang menfokuskan perhatian pada pribadi tersebut. Dua faktor inilah yang telah membuat kita silau akan kebesaran Al-Husain, yang pada gilirannya kita kehilangan sesuatu yang lebih agung dari pribadi beliau itu sendiri. Lalu, apakah yang lebih besar dan agung dari pribadi Al-Husain itu? Yaitu sesuatu yang telah diperjuangkan oleh beliau dengan segenap jiwanya.

Ada “masalah besar” yang dihadapi Imam Husain. Demi masalah itu ia telah mengorbankan jiwanya. Di sini, seringkali kita hanyut dalam gelombang emosional tatkala kita berbicara tentang Imam Husain dengan penuh semangat namun kita melupakan “masalah besar” itu yang menjadi pusaran kesyahidan beliau. Sebuah masalah yang dalam pandangan kita semua, benar-benar besar, besar dalam sejarah kemanusiaan dan besar di sisi al-Khaliq dan makhluk-Nya.

Sejauh analisis saya, masalah besar itu mencuat dari segenap kandungan kesyahidan yang dalam. Titik inilah yang saya ambil dalam menafsirkan perjuangan dan kepahlawanan Imam Husain. Oleh karena itu, kita akan menelusuri masalah besar ini dari sisi yang berbeda. Yakni mengamatinya dalam perspektif filosofis. Dalam rangka ini, logika dan kebijakan akan membantu kita dalam berpikir dan berargumentasi. Jelas bahwa hal demikian ini tidaklah mudah. Meski begitu, saya akan berusaha sejauh kesiapan dan kapasitas yang saya miliki.

Bukan rahasia lagi bahwa apa yang diangkat oleh kisah kesyahidan, dengan maknanya yang unik sekaligus membangkitkan keheranan, sanggup melumpuhkan nalar dan memandulkan ketajaman logika. Kesyahidan merupakan formulasi perasaan yang hidup menggelinjang dan hikmah (kebijakan) yang dalam serta rumit.

Dari sisi lain, upaya mengurai kedua dimensi tersebut dalam satu bingkai malah menghambat atau malah menahan pencapaian maksud utama yang diusahakan lewat kata-kata. Lebih dari itu, upaya ini benar-benar menjadi berat bagi kapasitas orang seperti saya yang sangat minus dari kekuatan jiwa dan kehangatan emosi. Tampak jelas bagaimana permohonan maaf saya atas apa yang akan saya sampaikan terselubung di balik keterbatasan kemampuan saya. Barangkali saya pun hanya dapat menguak sebagian maksud yang ingin dikemukakan, tanpa hendak basa-basi atau melebih-lebihkan. Maka, syarat pertama untuk membongkar rahasia kesyahidan adalah menampilakn nilai-nilai dan serat-serat misi yang telah melapisi esensinya dan mengaktualisasikan maknanya yang khas di dalam bingkai tersebut. Perjuangan inilah yang telah menjadikan Imam Husain sebagai salah satu pilarnya. Maka itu, perseteruan yang terjadi sepanjang sejarah dan menjadikan beliau sebagai salah seorang pemegang panjinya dan Karbala sebagai salah satu medannya, merupakan bagian dari gerakan historis dan gugusan silsilah zaman, dengan pelaku yang berbeda-beda dan akan terus berlanjut. Demikian itu karena Imam Husain merupakan bagian dari silsilah sejarah Ibrahimik yang selayaknya dipahami dari sudut pandang ini. Tanpa syak lagi bahwa mengangkat riwayat Imam Husain sebagai satu mata rantai yang lepas dari rangkaian sejarah, kemudian memandang tragedi Karbala sekadar sebuah kasus biasa (yang telah terjadi dan berlalu begitu saja) akan membuatnya kehilangan dasar-dasar historis dan visi-visi sosial, serta pada akhirnya akan mengosongkannya dari inti yang terkandung di dalamnya, inti yang menjadikannya sebagai sebuah tragedi dan masalah yang terus baru, segar dan berkesinambungan. Sayangnya, yang kita dapatkan sekadar isak tangis seperti yang kita lakukan sekarang.

Memisahkan Imam Husain dari falsafah yang dibangunnya di atas basis-basis historis misi serta keyakinan yang ditumbuhkannya, tidak bedanya dengan memotong bagian tubuh manusia yang masih hidup untuk dilakukan penelitian atasnya atau sekadar untuk disimpan saja.

 

Para Nabi sebagai Lapisan Bawah

 

Seperti yang telah saya sebutkan, bahwa revolusi Ilahi yang dilakukan oleh para nabi sepanjang sejarah dapat dikelompokkan berdasarkan nilai-nilai yang dikandung oleh agama tersebut. Padanya mereka berada dalam sebuah lapisan masyarakat menyaksikan kelahiran mereka lahir darinya dan mewadahi hubungan  serta pergaulan sosial mereka, ataupun bentuk dan haluan dakwah yang mereka lakukan.

Secara umum, founding fathers perubahan besar dunia dapat diklasifikasikan kepada dua kelompok. Kelompok pertama dipelopori oleh Nabi Ibrahim as, begitu juga para nabi yang datang setelah beliau, sebagaimana yang telah kita kenal mengingat akrabnya sejarah mereka dengan kita. Mereka semua adalah para nabi yang lahir dari lapisan bawah masyarakat mereka. Sesuai sabda Nabi kita Muhammad SAW, bahwa mayoritas mereka itu adalah penggembala kambing. Pun sejarah mencatat bahwa pekerjaan mereka tidak dapat mencukupi kebutuhan keseharian mereka, kecuali sebagian kecil dari mereka. Kelompok kedua diprakarsai oleh mereka yang berada pada kelas sosial yang berbeda jauh dengan kelompok pertama. Mereka adalah jiwa-jiwa revolusioner dan para penggagas aliran pemikiran dan etika, baik dari yang (berkulit) kuning seperti: Cina, Iran, Yunani atau selain mereka yang tidak termasuk dalam agama Ibrahimik. Mereka secara keseluruhan tanpa terkecuali muncul dari lapisan atas masyarakat; putra para raja, darah biru, rohaniawan dan saudagar kaya, dari jalur ibu, ayah ataupun dari kedua-duanya. Begitu pula kaitannya dengan Konfusius, Lautze, Zoroaster, Maniy, Muzdak, Socrates, Plato dan Aristoteles.

Menelaah lapisan masyarakat dalam sejarah memberikan catatan kepada kita bahwa di dalam masyarakat primitif, para raja, saudagar dan rohaniawan membagi-bagi kekuasan politik, ekonomi dan kepercayaan di lingkungan mereka, baik dalam situasi damai maupun tegang. Sementara itu, rakyat biasalah yang malah menampung (limbah busuk) kedamaian dan ketegangan mereka. Sekali lagi, lapisan bawah ini sama sekali tidak mendapatkan keuntungan di tengah persatuan ataupun perseteruan mereka.

Ketika Al-Quran menyebutkan kata al-Ummiyyin seperti dalam ayat: “Dialah yang mengutus di antara orang-orang yang ummi seorang rasul……” (QS. Al-Jumuah [62] : 2), kata tersebut menunjuk lapisan bawah dan rakyat jelata. Sedangkan rasul yang dimaksud adalah rasul Ibrahimik. Artinya, utusan Allah ini ialah manusia biasa, bukan seorang raja. Ia layaknya kebanyakan manusia yang hidup dalam kesusahan, bukan dari kelompok elit masyarakat.

Di tempat lain, Al-Quran menerangkan: “Dan Kami tidak mengutus seorang rasul, melainkan dengan bahasa kaumnya. Hal itu untuk menerangkan kepada mereka, maka Allah menyesatkan siapa yang ia kehendaki dan memberi petunjuk kepada siapa yang ia kehendaki. Dan Dialah Allah Yang Mahamulia dan Mahabijaksana.” (QS. Ibrahim [14] : 4).

Ayat ini tidak dalam rangka menerangkan bahwa Nabi Musa as berbicara dengan bahasa Ibrani, dan bahwa Nabi Muhammad SAW itu berbicara dengan bahasa Arab sebagai mana dipahami oleh umumnya umat Islam. Kenyataan ini yang tidak perlu lagi penjelasan, bahwa nabi yang diutus kepada bangsa Arab tidak akan berbicara dengan bahasa Mandarin atau Latin. ‘Bahasa Kaum’ yang dimaksudkan di sini yaitu bahasa lapisan (masyarakat) yang di dalamnya seorang nabi dilahirkan. Yakni bahasa yang dapat mengungkapkan kesulitan dan harapan mereka. Dan, ‘berbicara dengan bahasa mereka’ artinya menolak bahasa kalangan intelektual yang hidup dahulu itu ataupun pada hari ini, di mana mereka berbicara dengan bahasa elit yang tidak lagi dimengerti oleh mayoritas bangsa.

Poin yang bisa kita tarik dari uraian di atas ini ialah bahwa membahas para nabi Ibrahimik berarti membahas mayoritas manusia, sekuat adanya perbedaan yang mencolok antara kehadiran mereka dengan kehadiran selain mereka. Sementara yang belakangan ini mengerahkan kekuatan dalam menyebarluaskan keyakinan dan maksud mereka, para nabi itu mengandalkan basis rakyat umum dalam menghadapi kekuatan lawan. Tampak bagaimana Nabi Ibrahim as bangkit dengan tongkat di tangannya. Atau Nabi Musa as yang memasuki istana kebesaran Firaun dengan tongkatnya, sampai beliau berhasil menenggelamkannya bersama bala tentaranya di Nil, sama berhasilnya dalam membenamkan Qarun dan harta kekayaannya ke dalam tanah.

Dan yang terakhir ialah Nabi Muhammad SAW sebagai barisan mutakhir yang hidup yatim dan seadanya, namun beliau berhasil menyusun berbagai pasukan jihad. Sejarah mencatat, hampir setiap 50 hari terjadi peperangan yang jumlahnya mencapai 65 kali pertempuran dalam waktu tidak lebih dari 10 tahun. Itulah mukjizat para nabi. Sebuah mukjizat yang relevan dengan misi mereka masing-masing; membubarkan kekuatan sihir dengan tongkatnya, menumbangkan Firaun dari tahta kekuasaannya. Dan akhirnya, inilah keterangan Al-Quran yang amat penting, bahwa Islam dan Al-Quran bukanlah produk Muhammad SAW.

 

Muhammad sebagai Harapan Kaum Lemah

 

Sebuah kenyataan yang mau tidak mau kita akui bahwa ada satu agama sepanjang sejarah yang tidak kekurangan relevansinya dengan perkembangan zaman, kondisi dan lingkungan. Itulah Islam. Al-Quran telah menekankan keunggulan fenomenal ini dan menggambarkannya sebagai pandangan historis yang komprehensif dan mencakup seluruh gerakan perubahan yang akan selalu berbenturan dengan kesyirikan dan orang-orang kuat dunia dalam rangka membela para dhuafa. Al-Quran mengangkat semua benturan itu sebagai sebuah peperangan di sepanjang zaman dan di belahan bumi manapun.

Nabi kita Muhammad SAW adalah nabi terakhir agama ini. Melalui para nabi, agama ini mengajarkan kepada manusia butir-butir kebijakan, wahyu dan keadilan. Al-Quran menjelaskan bahwa mereka mengemban satu misi (risalah), yang obornya berpindah utuh dari satu nabi ke nabi yang lain, dari satu rasul ke rasul lainnya. Sampai saatnya datang guru penutup para nabi yang telah berjuang untuk membebaskan manusia dari perbudakan sambil mengajak mereka menyembah dan menghamba pada Tuhan yang satu. Dia sanggup merealisasikan konsep kemanusiaan yang komprehensif yang muncul dari kesatuan sejarah kemanusiaan di dalam gerakan perubahannya yang besar. Dia telah mempersembahkan persatuan kepada seluruh bangsa dan etnis dengan berbagai warna kulit, darah dan status atau kelas sosial yang berbeda-beda serta aneka cara pandang. Beliau telah berhasil memporakporandakan kesyirikan yang merupakan sumber berbagai perpecahan.

Sesungguhnya kalimat Tauhid dalam Islam merupakan slogan pembebasan. Sebelum Nabi kita Muhammad SAW menyampaikan kalimat ini kepada para filsuf, intelktual, orator, terpelajar dan orang-orang kaya, beliau telah menyampaikannya kepada para hamba sahaya, orang-orang mustadhafin yang hidup dalam penderitaan, penyiksaan, kelaparan di tengah lapisan bawah masyarakat Makkah. Sementara itu, para kalangan elit di sana senantiasa mencemooh beliau dengan mengatakan, bahwa para pengikut Muhammad tidak lain adalah orang rendahan. Padahal, cemoohan itulah yang menjadi syahadah (kesaksian) terbesar yang dapat mengharumkan nama Islam dan misi perubahannya.

Muhammad telah hadir dari orang-orang yang lemah untuk orang-orang yang lemah, pada saat para tokoh Budha di India dan Cina tampil sebagai golongan elit di tengah masyarakat mereka. Pada hari inilah nilai-nilai kemanusiaan berbaur bersama Islam. Nabi kita Muhammad SAW, sang Rasul Islam, telah menjadi harapan besar para hamba sahaya di saat mereka berpikiran bahwa perbudakan adalah takdir abadi, di saat mereka hanya tahu bahwa mereka selamanya akan berada di bawah eksploitasi politik, budaya, ideologi serta militer para penguasa. Muhammad adalah manusia harapan yang dinantikan oleh kaum jelata yang hidup untuk harus dikalahkan, tunduk dan selalu patuh mengabdi pada mereka. Muhammad SAW merupakan sosok perwujudan janji bagi kaum yang lemah, yang terlanjur menganggap bahwa Tuhan, sebagai musuh para penguasa, telah menakdirkan mereka sebagai budak dungu yang harus melayani kepentingan orang yang kuat. Adapun Muhammad bin Abdullah SAW telah mendeklarasikan bahwa semua manusia itu satu; satu jenis, satu keluarga dan makhluk Tuhan yang satu. Berdasarkan prinsip kesamaan inilah beliau membangun masyarakat baru yang berlandaskan pada ideologi yang kuat dan konsep pembangunan ekonomi serta sosial yang kokoh.

Oleh karena itu, bukanlah hal yang aneh jika masyarakat Madinah telah mengembalikan Bilal – seorang budak yang hina – pada posisi dan kedudukannya sebagai manusia yang mulia. Begitu pula Salim, budak Hudzaifah, tidaklah membuat orang Arab dan Yahudi kebingungan tatkala ia menjadi imam shalat mereka di Masjid Quba, padahal dia terkenal di kalangan bangsawan Quraisy sebagai budak yang sangat hina. Ketinggian derajat kemanusiaan dan kemuliaan Bilal sungguh telah diakui oleh para elit dan tokoh Arab, sebagaimana Salim yang paling hina di tengah mereka itu telah dikedepankan sebagai imam para pembesar itu dalam pelaksanaan ibadah dan sujud di hadapan Allah Yang Mahabesar.

Ini semua merupakan revolusi besar dalam meletakkan arti kemuliaan dan kepemimpinan di tengah masyarakat. Inilah garis haluan perjuangan dan misi Islam yang dijejaki sang cucu Al-Husain setelah kepergian sang kakek Muhammad SAW.

Komentari Artikel Ini

comments

https://pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js
%d blogger menyukai ini: