Perspektif

Dari Pensucian Diri, Terbitkan Akhlak Mulia dan Fitrah Kemanusiaan

Oleh : Mohammad Jawodiy Khomeini

Sejak fajar Syawal telah menyingsing, itu pertanda bahwa bulan Ramadhan telah berlalu dan meninggalkan kita lagi. Bulan yang menaburkan harapan hamba dari ampunan Tuhan. Bulan yang di dalamnya orang-orang saleh membersihkan hati dengan air mata taubat dan penyesalan. Bulan yang di dalamnya terdapat satu malam yang lebih utama dari seribu bulan. Oleh karena keagungan dan kemuliaannya itulah, maka umat Islam – khususnya para pecinta Tuhan – selalu merindukan kehadirannya.

Ramadhan memang adalah sebuah madrasah ruhaniah yang sangat lengkap dan sempurna. Belum ada satu pun proses pembinaan atau training yang pernah saya alami, sama komprehensif dan sempurnanya seperti Ramadhan. Dari mulai momentum waktunya yang begitu istimewa, bahan utama kajiannya berupa Al-Quran yang merupakan bacaan mulia dan sekaligus menjadi jamuan Ilahi serta motivator dan pembimbingnya yang memandu dalam keseluruhan rangkaian pendidikan yang dijalani yakni, Zat pemilik seluruh keagungan dan kemuliaan yaitu Allah SWT sendiri, dibantu oleh Khalifah-Nya, Sang Insan Kamil dan manusia paling suci Rasulullah SAW dan wali-wali Allah yang telah dipilih-Nya.

Mengapa Ramadhan begitu istimewa di hati manusia, terkhusus umat Islam? Karena pada bulan Ramadhan ada dimensi ruhaniah dan spiritual yang begitu kental dan sangat dibutuhkan oleh umat manusia. Manusia adalah makhluk jasmaniah dan ruhaniah sekaligus. Karena itu, dalam dirinya ada potensi untuk berhubungan dengan dunia material dan dunia spiritual. Manusia mampu menangkap hukum-hukum alam di balik gejala-gejala fisik yang diamatinya, tetapi ia juga mampu menyadap isyarat-isyarat gaib dari alam yang lebih luas lagi. Bila satu potensi dikembangkan luar biasa sedangkan potensi lain dimatikan, manusia menjadi makhluk yang tidak seimbang. Karena itu, tidak mengherankan bila pada sebuah Konferensi di Universitas Michigan, Dr. Benyamin E. Mays dengan lantang mengatakan, “Kita memiliki orang-orang terdidik yang jauh lebih banyak sepanjang sejarah. Kita juga memiliki lulusan-lulusan perguruan tinggi yang sudah banyak. Namun, kemanusiaan kita adalah kemanusiaan yang berpenyakit. Bukan pengetahuan yang kita butuhkan, karena itu sudah kita miliki, akan tetapi kemanusiaan sedang membutuhkan sesuatu yang bersifat spiritual.” Dengan ungkapan seperti itu mereka tersentak, karena tersadar bahwa selama ini perguruan tinggi telah mencetak manusia-manusia yang tidak utuh. Manusia yang bernalar tinggi tetapi berhati kering dan hampa, sarjana yang meraksasa dalam berbagai bidang ilmu dan teknologi tapi merayap dalam etik, intelek-intelek yang pongah dengan pengetahuan tetapi kebingungan menikmati kehidupan. Jean Jaquues Rousseau mengatakan, “Semakin banyak orang pandai, semakin sulit dicari orang jujur.” Ia menganggap semua penyakit kemanusiaan timbul karena manusia hanya mempertajam akalnya saja dan mengesampingkan panggilan hati nuraninya. Manusia yang hanya berpikir saja  adalah binatang yang bercacat. Ilmunya akan menggapai angkasa tetapi hatinya diperbudak kerakusan, iri hati, kebencian, kegersangan emosi dan sebagainya. Oleh sebab itu, manusia perlu kembali pada fitrahnya yang suci. Lantas, apa yang harus ditempuh untuk menghidupkan kembali fitrah tersebut? Jalan yang paling tepat tiada yang lain adalah melalui penyucian diri.

Penyucian Diri Sebagai Sebuah Jalan

Syaikh Ibrahim Amini dalam Risalah Tasawuf-nya menyebutkan bahwa tujuan terbesar para nabi as adalah membidik dan menyucikan jiwa manusia. Allah SWT telah berfirman dalam Al-Quran Al-Karim, “Sesungguhnya Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika  Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (QS. Ali Imran [3] : 164)

Para nabi datang untuk mengajarkan jalan penyucian diri kepada manusia, dan membantu serta membimbing mereka di dalam urusan  yang amat penting dan menentukan ini. Para nabi diutus untuk membersihkan jiwa manusia dari akhlak-akhlak yang buruk dan sifat-sifat kebinatangan serta sebaliknya menumbuhkan akhlak yang baik dan sifat-sifat yang utama. Para nabi datang dalam rangka membantu manusia untuk mengenal akhlak yang tercela sekaligus mengontrol dan mengendalikan kecenderungan-kecenderungan hawa nafsunya. Mereka pun menjauhkan manusia dari berbagai keburukan dan kemunkaran dengan cara memberikan peringatan dan ancaman. Namun di sisi lain, para nabi pun datang untuk menumbuhkan akhlak yang utama dan sifat-sifat yang terpuji pada diri manusia dengan cara memberikan petunjuk dan dorongan. Rasulullah SAW telah bersabda, “Kalian harus berpegang teguh kepada akhlak yang mulia. Karena dengan tujuan inilah aku telah diutus Allah SWT.”

Manusia memang tidak lebih dari satu hakikat, namun mempunyai berbagai dimensi wujud. Allah SWT berfirman di dalam Al-Quran, “Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan Yang memulai penciptaan manusia dari tanah. Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina (air mani). Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam  (tubuh)nya ruh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati (tetapi) sedikit sekali kamu bersyukur.” (QS. As-Sajadah [32] : 7-9) Dari ayat tersebut telah digambarkan bahwa manusia adalah sebuah hakikat, namun mempunyai beberapa peringkat wujud. Pada diri manusia, terdapat diri jasmani, diri tumbuhan, diri kebinatangan dan diri kemanusiaan. Nah, yang mempunyai nilai dan harga  hanyalah diri kemanusiaan. Sesuatu yang menjadikan manusia menjadi manusia dan menjadikannya lebih unggul dari seluruh hewan lainnya. Allah SWT telah menggambarkan penciptaan manusia dalam Al-Quran sebagai berikut, “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (yang berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadfikan saripati iotu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh(rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Mahasucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik.” (QS. Al-Mukminun [23] : 12-14).

Mahasuci Allah sebaik-baiknya pencipta. Dengan perantaraan ruh malakut inilah, Allah SWT telah menempatkan manusia kepada derajat yang sedemikian tinggi, sehingga turun perintah Allah SWT kepada para malaikat, “Maka apabila Kami telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan ke dalamnya ruh (ciptaan)Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.” (QS. Al-Hijr [15] : 29) Dengan kedudukan manusia seperti itu, maka jika manusia hendak membangun dirinya maka dia harus membangun dan mengembangkan diri kemanusiaannya, bukan diri kebinatangan atau diri jasmaninya. Dan tujuan para nabi telah membantu dan memperkuat manusia dalam membangun dan mengembangkan sisi kemanusiaan tersebut. Para nabi as berkata kepada manusia, “Janganlah kamu melupakan dirimu. Yaitu diri kemanusiaanmu. Karena jika kamu mengorbankan diri kemanusiaanmu demi kecenderungan-kecenderungan hewanimu, niscaya bahaya yang amat besar akan menimpamu.”

Berkaitan dengan pembinaan dan penyucian diri (jiwa) ini, Sayyid Kamal Haidari dalam At-Tarbiyyah ar-Ruhiyyah : Buhuts fi Jihad an-Nafs, mengulas sebuah surah yang amat relevan dalam hal ini yakni surah Asy-Syams [91] : “Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha penyayang, Demi matahari dan cahayanya di pagi hari, dan bulan apabila mengiringinya, dan siang apabila menampakkannya, dan malam apabila menutupinya, dan langit serta pembinaannya, dan bumi serta penghamparannya, dan jiwa serta penyempurnaannya, maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.”

Dari ayat-ayat yang penuh berkah tersebut terdapat sejumlah catatan penting yang menunjukkan seberapa besar perhatian Al-Quran terhadap akhlak yang baik dan mewanti-wanti akan akhlak yang buruk. Di antaranya adalah sebagai berikut :

Pertama, di antara keunikan Al-Quran adalah memberikan jawaban sumpah terhadap sejumlah besar sumpah. Di sini Al-Quran telah memberikan jawaban sumpah, yaitu firman Allah SWT‘Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu’ dengan enam atau tujuh sumpah. Inilah yang menjelaskan begitu besar perhatian  Al-Quran terhadap jawaban sumpah yang mengandung ajakan kepada manusia agar berpegang pada akhlak yang baik dan menjauhi akhlak yang buruk.

Kedua, dalam ayat ini Allah SWT bersumpah hingga mencakup semua alam materi – alam yang kita saksikan ini – dalam sumpah-Nya. Seakan-akan ayat ini ingin mengatakan bahwa semua alam nyata (syahadah) adalah diciptakan untuk manusia. Allah SWT berfirman, “Dan Dia menundukkan apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya untuk kalian (sebagai rahmat) dari-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yuang berpikir.” (QS. Al-Jatsiyah [45]: 13)

Ketiga, maksud jiwa (nafs) dalam ayat ini adalah jiwa manusia. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT: Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. Jadi yang dimaksud bukan jiwa secara keseluruhan, baik tetumbuhan, binatang, maupun manusia, melainkan hanya manusia. Karena dialah yang diberi tugas (mukallaf) yang perbuatannya bisa menghasilkan pahala dan hukuman.

Keempat, ayat 9 dan 10 dari surah Asy-Syams ini menegaskan sebuah hakikat penting, bahwa manusia dapat menumbuhkan dan menyempurnakan jiwanya melalui pencarian akhlak yang baik. Jika tidak begitu, tentu kedua ayat tersebut tidak akan menunjukkan keberuntungan bagi orang yang menyucikan jiwanya dan kerugian  bagi orang yang mengotorinya.

Kelima, Dari kedua ayat tersebut juga, menampakkan metodologi Al-Quran – yang berbeda dengan literatur dan buku-buku ilmu akhlak yang lain – dalam mengajak manusia pada perbuatan-perbuatan baik atau amal-amal saleh dan akhlak yang baik. Metode yang digunakan Al-Quran adalah penegasan dan fokusnya pada pelaku dan penyandang sifat, bukan pada perbuatan dan sifat. Oleh karena itu, ayat tersebut (9 dan 10) memuji pelaku penyucian jiwa, bukan penyucian jiwa itu sendiri, dan mencela orang yang mengotori jiwa, bukan pengotoran itu sendiri.

Keenam, Al-Quran ketika mengajak manusia pada akhlak yang baik, membekalinya dengan berbagai fasilitas yang memungkinkannya mencari akhlak tersebut. Allah SWT telah menyediakan bagi manusia apa yang dibutuhkannya dalam perjalanan ini. Dia membekali kita dengan hujjah batiniah, yaitu akal yang tersembunyi atau fitrah yang ada bersama manusia sejak awal penciptaannya. Kemudian melalui akal ini, Dia menjelaskan kepada kita apa perbuatan baik itu dan apa perbuatan buruk itu, sebagaimana Dia mengilhamkan di dalam fitrah kita, apa ketakwaan itu dan apa kedurhakaan itu. Selain itu, Allah juga membekali dengan hujjah lahiriah, yaitu para rasul, para nabi,para imam dan para ulama yang saleh.

Dari penjelasan di atas telah menunjukkan pentingnya penyucian jiwa atau diri ini, untuk mengantarkan manusia menuju pada fitrah kemanusiaannya.

Kembali Pada Fitrah Kemanusiaan

Manusia memiliki dua “diri”, diri hewani dan diri insan. Akan tetapi, nilai manusia ditentukan oleh diri insaninya, bukan oleh diri hewaninya. Manusia, meskipun dia seekor hewan dan harus memperhatikan keperluan-keperluan kehidupan hewaninya, namun dia tidak datang ke dunia ini untuk hidup sebagai hewan, melainkan  dia datang ke dunia ini justru untuk menggunakan kehidupan hewaninya bagi penyempurnaan kehidupan kemanusiaan.

Pada setiap dari dua sisi kehidupannya – hewani dan insan – manusia mempunyai berbagai kebutuhan, yang mana dasar-dasarnya telah tersedia pada dirinya. Manusia menginginkan kelangsungan hidupnya, dan untuk itu mau tidak mau dia juga harus terikat dengan keperluan-keperluan kehidupan – hewani – tersebut. Akan tetapi, manusia harus ingat, kehidupan hewani hanya merupakan mukadimah dan bukan tujuan, hanya cabang dan bukan pokok atau utama. Sebab itu, jika seseorang menganggap kehidupan hewani sebagai sesuatu yang pokok, dan bekerja siang dan malam untuk memenuhi keinginan-keinginan dan kecenderungan-kecenderungan hewaninya, serta menjadikan makan, minum, bersolek dan memperturutkan hawa nafsunya sebagai tujuan, maka berarti dia telah terjerumus ke dalam kesesatan. Sebab, dia telah mencampakkan ruh malakut dan akal kemanusiaannya. Individu semacam ini tidak dapat dihitung sebagai manusia, melainkan hewan yang berwajah manusia. Dia mempunyai akal, namun akalnya sudah dikucilkan sedemikian rupa sehingga tidak mampu lagi mengenal dan mengikuti nilai-nilai dan keutamaan-keutamaan kemanusiaan. Dia mempunyai mata dan telinga namun tidak dapat melihat dan mendengar kebenaran. Al-Quran menyebut individu semacam ini sebagai hewan, bahkan lebih sesat dari hewan. Karena, hewan tidak punya akal yang akibatnya  dia tidak dapat memahami sesuatu. Sementara individu ini mempunyai akal, namun dia tidak dapat memahami sesuatu. Sekaitan dengan hal ini, kita dapat merujuk dalam Al-Quran surah Al-Qashash [28] : 50 dan surah Al-A’raf [7] : 179.

Betapa meruginya orang yang mengorbankan diri malakut dan kesempurnaan kemanusiaannya demi keinginan-keinginan diri dan kehidupan hewaninya. Dia menukar diri kemanusiaannya dengan kelezatan-kelezatan hewani. Dalam Ghurar al-Hikam, Amirul mukminin Ali bin Abi Thalib kw berkata, “Orang yang tertipu adalah orang yang sibuk dengan urusan dunianya dan menyia-nyiakan bagian akhiratnya.” Senada dengan itu, dalam Nahjul Balaghah Imam Ali berkata , “Sungguh merupakan sebuah perniagaan yang amat merugikan ketika seseorang memandang dunia sebagai sesuatu yang berharga bagi dirinya, dan kemudian dia menukarnya dengan apa yang dimilikinya di sisi Allah SWT.”

Jika manusia merujuk kepada fitrahnya yang suci dan kesempurnaan dirinya, dan jauh dari hawa nafsunya, maka dia dengan baik akan mengenal nilai-nilai akhlak yang mulia dan juga nilai-nilai kebalikannya yang rendah. Semua manusia pada setiap zaman demikian keadaannya. Jika sebagian manusia tidak dapat memahami nilai-nilai seperti ini, itu tidak lain disebabkan hawa nafsunya telah memadamkan cahaya akalnya. Dan Al-Quran Al-Karim telah mengatakan bahwa pengenalan  dan pemahaman terhadap nilai-nilai utama dan nilai-nilai rendah merupakan sesuatu yang fitri bagi manusia. Para nabi as diutus untuk membangunkan fitrah manusia. Mereka datang membimbing dan membantu manusia dalam mengenal nilai-nilai keutamaan, dalam melaksanakan nilai-nilai tersebut untuk meniti tangga-tangga kesempurnaan, dan dalam mencapai kedudukan yang dekat dengan Allah SWT. Mereka diutus untuk mengarahkan manusia kepada kedudukan tinggi kemanusiaan dan pentingnya menjaga serta menghidupkan nilai-nilai tinggi kemanusiaan. Mereka datang untuk mengatakan kepada manusia bahwa Anda bukan seekor hewan, melainkan seorang manusia yang lebih mulia dari malaikat sekalipun. Urusan-urusan duniawi tidak sepadan dengan kedudukan malakut Anda. Anda jangan sampai jual diri Anda dengannya. Dalam Tuhaf al-Uqul, dikisahkan seseorang bertanya kepada Imam As-Sajjad, “Siapakah manusia yang paling mulia dan paling tinggi?” Imam As-Sajjad menjawab, “Manusia yang paling mulia dan paling tinggi adalah manusia yang tidak memandang dunia sebanding dengan kemuliaan dirinya.”

Kita telah tinggalkan bulan Ramadhan, bulan pensucian diri, bulan pensucian ruhani. Mulai saat ini kita semua memikul beban berat untuk mempertahankan kesucian yang telah kita raih. Selama sebulan, boleh jadi Tuhan menyaksikan kita bangun di waktu dini hari dan mendengarkan suara istighfar kita. Alangkah malangnya bila saat ini Tuhan melihat kita tidur lelap bahkan melewati waktu subuh seperti bangkai tak bergerak. Selama Ramadhan, bibir kita telah bergetar derngan doa, zikir dan kalimat suci Al-Quran. Celakalah kita bila kita gunakan bibir yang sama untuk menggunjing, memfitnah dan mencaci maki kaum mukminin. Selama sebulan kita melaparkan perut dari makanan dan minuman yang halal di siang hari, sekarang relakah kita memenuhi perut kita dengan makanan dan minuman yang haram? Setelah Ramadhan berlalu, kita semua akan diuji, apakah kita termasuk orang yang terus mensucikan diri atau tetap mencintai dan mendahulukan dunia. Dalam Ghurar al-Hikam, Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib telah mengingatkan  bahwa, “Makrifat yang paling utama adalah pengenalan seseorang terhadap dirinya.” Semoga kita termasuk orang-orang yang dapat mengenal diri kita. Wallahu a’lam bisshawab.

Komentari Artikel Ini

comments

https://pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js
%d blogger menyukai ini: