Oleh : Syaikh Husain Mazhahiri
Sesungguhnya manusia—bahkan seluruh maujud yang ada—tengah berjalan menuju Pencipta. Allah SWT berfirman:
Sesungguhnya hanya kepada Tuhanmu lah kamu kembali. (QS. Al-Alaq’: 8)
Hai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, maka pasti kamu akan menemui-Nya. (QS. Al-Insyiqaq : 6)
Dan bahwasannya kepada Tuhanmu lah kesudahan segala sesuatu. (QS. An-Najm : 32)
Ingatlah, bahwa kepada Allah lah kembali semua urusan. (QS. Asy-Syura : 53)
Sesungguhnya ayat-ayat yang berbicara tentang masalah ini banyak sekali. Dari semua ayat itu dapat disimpulkan bahwa alam wujud ini senantiasa dalam keadaan bergerak, dan gerakan ini berakhir kepada Allah SWT. Kita telah membagi manusia ke dalam tiga golongan:
Golongan pertama adalah golongan yang meniti jalan para nabi dan para rasul, untuk kemudian meraka sampai ke surga yang kekal bersama para nabi, para washi, para orang saleh, dan para syuhada.
Dan barangsiapa menaati Allah dan para Rasul-Nya, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu nabi-nabi, para shiddiqin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. (QS. An-Nisa’: 69)
Mereka—yaitu golongan ini—berbeda-beda di dalam perjalanan menuju Allah. Orang yang digabungkan bersama para nabi berbeda dengan orang yang digabungkan dengan para washi; dan begitu juga orang yng digabungkan dengan para washi berbeda dengan orang yang digabungkan bersama orang-orang saleh, disebabkan adanya maqam dan tingkatan yang berbeda-beda di dalam hal ini.
Pada kesempatan yang lalu kami telah membicarakan jembatan shirat al-mustaqim, yang pada hari kiamat setiap manusia mau tidak mau harus melaluinya. Sebagian dari mereka dapat melewati jembatan itu dengan kecepatan seperti kecepatan kilat, untuk sampai ke surga al-Ma’wa. Sebagian lagi dari mereka dapat melewati jembatan itu, namun setelah beberapa bagian tubuhnya tersambar api neraka, baik itu tangannya, kakinya, atau anggota tubuhnya yang lain. Sedangkan yang lainnya jatuh ke dalam neraka pada permulaan jembatan atau pada pertengahan jembatan.
Jika kita hendak mengetahui hakikat urusan ini, maka kita harus melihat keadaan kita di dalam kehidupan dunia ini. Jika hubungan kita dengan Allah SWT kuat, dan di dalam perjalanan kita tidak terdapat dosa, kecuali dosa-dosa kecil, maka kita akan dapat melalui jembatan shirath al-mustaqim itu dengan selamat.
Akan tetapi, jika hubungan kita dengan Allah SWT di dalam dunia ini terputus-putus, dan lebih berfokus kepada hawa nafsu, maka jangan kita berharap ada seseorang yang akan meraih tangan kita menuju surga.
Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya di atas neraka Jahannam terdapat sebuah jembatan yang lebih halus daripada sehelai rambut dan lebih tajam dari sebilah pedang.”
Di dalam hadis yang lain Rasulullah SAW bersabda, “Orang yang teguh di atas jembatan shirath al-mustaqim di antara kamu adalah orang yang mencintai Ahlul Baitku (keluargaku).”
Kehidupan dunia adalah lahirnya, sedangkan kehidupan akhirat adalah hakikatnya. Apa yang kita ketahui di sini, di sana akan menjelma menjadi hakikat yang dapat diindera. Barangsiapa memiliki sifat-sifat tercela di dalam kehidupan dunia, maka di akhirat sifat-sifat tercela itu akan menjelma menjadi binatang buas yang mengoyak-ngoyak dagingnya. Sebaliknya, barangsiapa yang memiliki sifat-sifat baik di dunia, maka di akhirat sifat-sifat baiknya itu akan menjema menjadi teman yang baik, yang akan menemaninya selamanya.
Jiwa yang lurus akan kembali kembali kepada Tuhannya dalam keadaan ridha dan diridhai. Karena amal perbuatannya tidak mendorongnya kecuali kepada keridhaan.
Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya (QS.Al-Fajr :27-28)
Al-Quran Al-Karim telah membagi kelompok manusia yang menggapai keridhaan Allah ini kepada beberapa kelompok. Kelompok pertama adalah kelompok yang dinamakan oleh Al-Quran dengan sebutan ashabul yamin, “Dan golongan kanan, alangkah bahagianya golongan kanan itu”. (QS.Al-Waqi’ah : 28). Adapun kelompok yang kedua adalah kelompok yang oleh Al-Quran dinamakan dengan sebutan as-sabiqun (orang-orang yang paling dahulu), “Dan orang-orang yang paling dahulu beriman, mereka itulah orang-orang yang didekatkan (kepada Allah).” (QS.Al-Waqiah : 10-11). Mereka itulah orang-orang yang berlomba-lomba kepada kebajikan. Dengan begitu, mereka dapat lebih cepat sampai kepada keridhaan Allah dibandingkan kelompok ashabul yamin.
Adapun kelompok ketiga dan keempat, mereka itu adalah kelompok ashabusy syimal. Allah SWT berfirman, “Dan golongan kiri, siapakah golongan kiri itu.” (QS.Al-Waqiah : 41).
Kelompok ini mencakup semua orang yang tidak meniti jalan yang benar, dan mereka sama sekali tidak pernah mencarinya, lalu mereka pun diombang-ambingkan oleh kesesatan dan penyimpangan. Mereka ini terbagi kepada dua kelompok :
Pertama, mereka yang mengetahui jalan yang lurus, akan tetapi pembangkangan dan kekeraskepalaan mencegah mereka untuk mengikuti jalan yang lurus itu, dengan begitu, mereka pun meniti jalan yang sesat.
Kedua, mereka yang sama sekali tidak mendapat petunjuk ke jalan yang lurus, namun mereka bukanlah orang yang keras kepala. Disebabkan mereka tidak mendapat petunjuk ke jalan yang lurus, maka mereka pun menempuh jalan yang sesat, sehingga akhirnya mereka sampai kepada neraka jahannam, yang merupakan seburuk-buruknya tempat kembali.
Neraka mempunyai tingkatan-tingkatan, sebagaimana juga surga mempunyai tingkatan-tingkatan. Orang yang masuk ke dalam neraka, ditentukan baginya tingkat neraka yang dihuninya. Tingkatan pertama tidaklah seperti tingkatan kedua dan ketiga, dan tingkatan ketiga tidaklah seperti tingkatan ketujuh. Tingkatan ketujuh adalah tingkatan yang paling panas apinya dan paling keras siksaannya. Tidak ada yang lebih keras siksaannya dari tingkatan ketujuh, kecuali sumur neraka yang terdapat di dasarnya, yang menyimpan peti-peti. Setiap kali panas api neraka berkurang maka dibukalah peti-peti itu untuk menyalakan kembali api jahannam. Sungguh celaka orang yang mendapat bagian mendiami peti itu.
Orang-orang munafik—misalnya—tempat mereka adalah pada tingkatan yang paling bawah dari neraka, Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka.” (QS.An-Nisa : 145).
Itu tidak lain disebabkan pembangkangan mereka, dan disebabkan mereka mengetahui kebenaran namun mereka tidak mengikutinya. Mereka menampakkan sesuatu yang bertentangan dengan apa yang mereka sembunyikan. Mereka tidak melakukan apa yang mereka katakan, bahkan mereka selalu melakukan apa yang bertentangan dengan apa yang mereka katakan kepada orang. Sebagian dari mereka masuk ke dalam jahannam selama ribuan tahun, setelah itu mereka baru bisa sampai ke dasarnya atau ke tingkatannya yang paling bawah.
Terkadang, sebagian dari mereka dapat sampai lagi ke tepi Jahannam untuk kedua kalinya, namun tiba-tiba sebuah palu besar menimpa kepalanya, sehingga dia pun jatuh kembali ke dalam dasar jahannam. Riwayat-riwayat mengatakan, kejatuhan itu memakan waktu ribuan tahun untuk bisa melewati tingkatan-tingkatan yang ada di dalam neraka Jahannam.
Imam Ja’far ash-Shadiq berkata mengenai makna “shirat”, “Yaitu jalan untuk mengenal Allah. Jalan itu ada dua: Jalan di dunia dan jalan di akhirat.”
Adapun jalan di dunia ialah imam yang wajib ditaati. Barangsiapa yang mengenalnya di dunia, dan berpegang kepada petunjuknya, berarti dia telah melalui jalan yang merupakan jembatan jahannam di akhirat.
Manusia yang tidak mengenal imammnya, niscaya dia menyimpang dari jalan yang lurus, dan barangsiapa yang menyimpang dari jalan lurus maka dia akan dibangkitkan menjadi seorang Yahudi, Nasrani, fasik atau lalim.
Dengan begitu, kita telah membagi golongan ashabusy syimal kepada dua kelompok. Kita juga telah mengatakan, bahwa kelompok pertama dari mereka ialah mereka yang mengetahui jalan kebenaran, namun mereka tidak mengikutinya, disebabkan pembangkangan dan kekeraskepalaan mereka. Mereka itulah orang-orang yang dimurkai. Adapun kelompok kedua adalah mereka yang tidak mendapat petunjuk ke jalan yang benar, namun pada saat yang sama mereka mengikuti jalan yang lain. Mereka inilah orang-orang yang sesat.
Singkatnya, mereka ini tercakup dengan apa yang disebutkan di dalam ayat berikut, “Lalu ditimpakanlah kepada mereka nista dan kehinaan, serta mereka mendapat kemurkaan dari Allah.”(QS. Al-Baqarah : 59).
Ada juga kelompok ketiga. Yaitu mereka yang senantiasa ragu dan gelisah di dalam kehidupan dunia. Mereka berbuat dengan keraguan dan kesamaran. Mereka tidak akan meninggalkan kehidupan dunia ini sehingga hati mereka hancur dengan keresahan dan keraguan yang menguasai seluruh bagian jasad mereka. Allah SWT berfirman, “Bangunan-bangunan yang mereka dirikan itu senantiasa menjadi pangkal keraguan dalam hati mereka, kecuali hati mereka itu telah hancur.”(QS.At-Taubah : 110).
Keraguan ini dapat dihitung sebagai salah satu penyebab syirik. Allah SWT berfirman, “Barangsiapa mempersekutukan sesuatu dengan Allah, maka ia seolah-olah jatuh dari langit lalu disambar oleh burung, atau diterbangkan angin ke tempat yang jauh.”(QS.Al-Hajj : 31).
Jatuh dari langit, disambar oleh burung, dan jatuh di tempat yang jauh, semuanya mengisyaratkan lenyapnya kepribadian, yang terkadang menimpa seorang manusia, sehingga karena itu dia larut di dalam kecintaan kepada dunia dan keinginan untuk hidup kekal di dalamnya. Keadaan ini diikuti dengan sifat-sifat buruk lainnya, seperti sifat takabbur, hasud dan sifat-sifat buruk lainnya.
Adapun kehancuran hati bagi mereka, disebabkan keresahan yang timbul sebagai akibat dari ketamakan terhadap harta dan kekayaan. Keresahan inilah yang menjauhkan mereka dari ketenangan dan kelapangan.
Perlu disebutkan di sini, bahwa mereka yang senantiasa resah dan jauh dari ketenangan pikiran, akan senantiasa mendapat bencana dan kemalangan selama mereka berada di dalam kehidupan dunia ini. Allah SWT berfirman, “Dan orang-orang yang kafir senantiasa ditimpa bencana disebabkan perbuatan mereka sendiri.” (QS.Ar-Ra’d : 31).
Seandainya pun mereka ditimpa oleh bencana itu, maka pasti sepeninggal mereka anak-anak mereka akan ditimpa oleh bencana itu. Atau juga bencana itu akan menimpa keluarga mereka, istri mereka, atau juga akan timbul perselisihan keluarga yang sulit, sebagai akibat dari apa yang mereka telah perbuat.
Kegelisahan, keresahan, dan kesedihan ini adalah sebagai akibat dari perbuatan-perbuatan maksiat yang dilakukan. Adapun kegelisahan, keresahan, dan kesedihan yang akan mereka jumpai di akhirat jauh lebih besar dibandingkan yang mereka jumpai di dunia. Allah SWT berfirman :
Dan barangsiapa yang buta di dunia ini, niscaya di akhirat pun dia akan lebih buta pula dan lebih tersesat dari jalan yang benar.(QS.Al-Isra’: 72)
Dan barangsiapa berpaling dari mengingat-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta. (QS.Thaha : 124).
Berpaling dari mengingat Allah akan mendorong manusia kedalam penghidupan yang sempit. Yang dimaksud dengan penghidupan yang sempit di sini bukan hanya kehilangan istri yang cantik, harta yang banyak, atau jabatan sosial yang tinggi. Tidak, terkadang penghidupan yang sempit disertai dengan kepemilikan harta yang banyak dan jabatan sosial yang tinggi. Sikap rakus terhadap kedudukan itulah penghidupan yang sempit; sikap sombong dengan harta yang dimiliki itulah penghidupan yang sempit.
Kebutaan, kesesatan dan penyimpangan, semuanya timbul dari kelalaian dan sikap toleransi di dalam urusan-urusan agama. Imam Ja’far ash-Shadiq berkata “Berhati-hatilah engkau dari kelalaian. Karena, orang yang lalai adalah orang yang lalai terhadap dirinya. Dan berhati-hatilah engkau dari sikap meremehkan urusan Allah, karena orang yang meremehkan urusan Allah niscaya Allah akan menghinakannya pada hari kiamat.”
Sesungguhnya orang-orang yang tidak mengharapkan pertemuan dengan Kami, dan merasa puas dengan kehidupan dunia serta merasa tenteram dengan kehidupan itu dan orang-orang yang melalaikan ayat-ayat kami, mereka itu tempatnya ialah neraka, disebabkan apa yang selalu mereka kerjakan. (QS.Yunus : 7-8)
Seseorang yang lalai dari mengingat Allah, mau tidak mau dia sibuk dengan pekerjaan lain yang melalaikannya dari mengingat Allah. Sebagaimana anda ketahui bahwa semua pekerjaan yang tidak bermuara kepada mengingat Allah maka pekerjaan itu batil. Karena, Allah SWT tidak menciptakan manusia dan jin kecuali untuk beribadah kepada-Nya. Yaitu, melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Barangsiapa enggan beribadah maka dia sesat dan jatuh ke dalam lembah Jahannam.
Sikap sombong penyebabnya adalah kelalaian. Ketika seorang manusia lalai akan kadar dirinya maka dia akan bersikap sombong dan takabbur. Sifat rakus dasarnya adalah kelalaian. Seorang manusia yang sadar tidak akan bersikap rakus terhadap sesuatu pun; dia akan senantiasa mengingatkan dirinya tentang tidak kekalnya dunia dan segala kenikmatan yang ada di dalamnya, dengan dalil orang-orang terdahulu yang tidak mampu membawa sedikit pun hartanya bersamanya. Mereka meninggalkan harta, kekayaan, anak, istri dan semua yang merupakan kenikmatan baginya. Mereka pergi dari dunia ini dengan tidak kembali lagi. Mereka pergi dari dunia ini untuk menjumpai amal perbuatan yang telah mereka lakukan.
Oleh karena itu kita harus senantiasa mengingatkan nafsu ammarah ini kepada hari akhirat, pada setiap malam dan siang, sehingga akan mencegahnya untuk terjerumus ke dalam kelalaian. Barang siapa tidak lalai akan hal ini maka dia pasti berhasil menundukkan dan menguasai nafsu ammarah ini.
Kelalaian, terkadang mendorong seorang manusia kepada banyak bicara. Anda dapat menyaksikan bagaimana orang-orang yang lalai berpanjang lebar di dalam pembicaraan yang tidak mendorong mereka kecuali kepada mengumpat, memfitnah, mengadu domba, dan lain sebagainya. Jika mereka bukan orang yang lalai niscaya mereka akan diam sepanjang zaman, dan tidak akan berbicara kecuali sebatas yang dibutuhkan di dalam menata hidup mereka dan di dalam hubungan mereka dengan yang lain.
Betapa indahnya ungkapan yang digunakan oleh para ‘urafa di dalam menata hidup mereka, dan ungkapan ini termasuk salah satu kaidah ‘irfan, “Berhati-hatilah engkau dari masuk ke dalam kelezatan. Berhati-hatilah engkau, berhati-hatilah dari sikap banyak bicara. Engkau harus mengingat Allah, mengingat Allah, Mengingat Allah.