Perspektif

Logika [guna] Memahami Al-Quran (3)

Oleh : Akmal Kamil

Para pembaca yang budiman, kali ini kita akan melanjutkan pembahasan bagian akhir dari rangkaian tulisan ini.

Salah satu kasus yang dihadapi, di mana seseorang dituntut untuk merujuk kepada ucapan Nabi SAW adalah saat menafsirkan secara rinci kandungan ayat yang bersifat global (mujmal) dan umum (‘am). Dalam Al-Quran terdapat permasalan-permasalahan yang diisyaratkan secara global dan umum, ayat-ayat semacam ini tidak menjelaskan maksud pembicara dengan mendetail, oleh karenanya ia membutuhkan penjelasan rinci dan mendalam. Contohnya tentang masalah shalat, walaupun terdapat beberapa ayat yang menyebutkan masalah tersebut, namun tidak satupun dari ayat-ayat tersebut yang menjelaskan bagaimana caranya shalat, berapa rakaat yang harus dilakukan, bagaimana cara mengulang (qhada) shalat dan lain sebagainya. Sama halnya dengan masalah kepemimpinan setelah Rasulullah SAW mungkin Anda pernah mendengar hadis di bawah ini, di mana seorang sahabat Imam Shadiq bertanya kepada beliau: Mengapa di dalam Al-Quran tidak disebutkan nama-nama 12 Imam Suci, mengapa tidak disebutkan setelah Rasulullah SAW merujuklah kepada Ali Kw dan taatilah ia? Imam Ja’far menjawab: Allah SWT di dalam Al-Quran berfirman “dirikanlah shalat” apakah Dia menjelaskan jumlah rakaat shalat Subuh? Orang tersebut menjawab: Tidak! Imam kembali bertanya: Lantas dari mana umat Islam dapat mengetahui tata cara shalat? (Ketahuilah) mereka mengetahuinya dengan bertanya kepada Rasulullah SAW. Kemudian Imam Ja’far melanjutkan: Di dalam Al-Quran Allah SWT berfirman “bayarlah zakat”, apakah Dia menjelaskan apa saja yang harus dizakati dan berapa ukurannya (nishab)? Sahabat tersebut menjawab: Tidak. Imam kembali bertanya: Lantas dari mana umat Islam mengetahui apa-apa saja yang harus dizakati dan berapa saja nishabnya? Kemudian Imam membaca ayat “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu” Maksud dari Uli al-Amri seperti lafaz Aqiimu as-Shalah (dirikanlah shalat), di mana umat harus menanyakannya kepada Rasulullah SAW, dan mereka pun telah menanyakannya kepada Rasul SAW dan beliau telah menyampaikan bahwa maksudnya adalah dua belas Imam Suci dari keturunan beliau.

Salah satu dari mereka yang bertanya adalah Jabir bin Abdullah al-Anshari di mana ia menanyakan siapa yang dimaksud dengan Ulil Amri dalam ayat tersebut yang kita diwajibkan untuk mentaati mereka? Rasulullah SAW pun menjawab bahwa mereka adalah dua belas Imam Suci. Dari sini dapat ditangkap bahwa guna memahami sebagian ayat kita dituntut untuk merujuk kepada Rasulullah SAW dan juga Ahlul Bait beliau, khususnya ayat-ayat yang mengandung makna global atau yang pengertiannya memerlukan penjelasan lebih mendalam.

Oleh karena itu dalam ilmu Ushul dibahas mengenai Takhshisul ‘Aam (pengkhususan sesuatu yang bersifat umum) dan Taqyidul Muthlaq (pembatasan sesuatu yang mutlak). Apakah Sunnah (ucapan, tindakan dan diamnya seorang Maksum) dapat menjadi speksifikasi (takshish) bagi ayat-ayat yang bersifat umum dan pembatasan bagi ayat-ayat yang mutlak? Saya pribadi pada beberapa kesempatan biasa membawakan contoh, dan saya berpikir contoh tersebut dapat memuaskan lawan bicara saya. Puluhan tahun lalu saya sempat berdialog dengan seseorang dari kelompok yang memiliki pemikiran yang menyimpang, ia berkata kepada saya: Apa yang ingin Anda katakan harus bersandar kepada ayat Al-Quran, jika tidak maka saya tidak akan menerima ucapan Anda. Saya menjawab: Saya akan melakukan yang Anda inginkan namun terlebih dahulu jawablah satu pertanyaan dari saya. Menurut ajaran Islam memakan daging anjing hukumnya halal atau haram? Orang tersebut menjawab: Haram. Kembali saya berkata: Coba bawakan dalilnya dari Al-Quran! Orang itu tidak bisa menjawab lantas berkata: Hal ini merupakan sesuatu yang jelas dan seluruh umat Islam mengetahuinya. Kemudia saya katakan: Sekarang saya akan membuktikan bahwa menurut Al-Quran daging anjing halal dimakan. Ia bertanya: Dengan dalil apa? Saya katakan Allah SWT berfirman “Katakanlah: Tiadalah Aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi – Karena Sesungguhnya semua itu kotor – atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa, sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, Maka Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha penyayang” Ayat ini menjelaskan bahwa selain empat jenis makanan, maka selebihnya adalah halal. Empat jenis makanan tersebut adalah bangkai, darah, daging babi dan hewan yang disembelih tanpa menyebut nama Allah. Dalam ayat ini daging anjing tidak termasuk yang diharamkan, oleh karena itu dengan bersandar kepada ayat ini memakan daging anjing hukumnya adalah halal.

Duduk permasalahan yang sebenarnya adalah bahwa Rasulullah SAW bertugas untuk menjelaskan ayat-ayat Al-Quran yang bermakna global atau masih samar, sebagaimana yang disebutkan dalam beberapa ayat di atas. Di mana semua ini merupakan bukti bahwa ucapan Rasulullah SAW adalah hujjah (bukti) yang dapat kita jadikan sandaran dan rujukan. Dari sini dapat diketahui bahwa salah satu kaidah dan metode untuk memahami Al-Quran adalah bersandar kepada Sabda Rasulullah SAW dan ucapan para Manusia Suci (Maksum), dan apa yang mereka sabdakan adalah hujjah untuk menafsirkan ayat-ayat Al-Quran yang bermakna global dan masih samar. Oleh karena itu segala pemahaman dan penafsiran sebuah ayat yang tidak berpijak kepada ucapan mereka, tidak dapat kita nisbatkan kepada Al-Quran atau kepada Allah SWT, karena tidak ada yang menjamin apakah pemahaman tersebut sempurna atau tidak dan sangat dimungkinkan terjadi kesalahan di dalamnya.

Bagian ketiga

Ada beberapa persoalan yang mencuat berkaitan dengan masalah ini, dan di sini kita akan menganalisa serta menjawabnya secara global. Persoalan tersebut sebagai berikut: Seperti yang kita ketahui bahwa sepanjang sejarah, di antara para penafsir Al-Quran terdapat banyak perselisihan bahkan terkadang pandangan satu dengan lainnya saling bertentangan. Seorang penafsir menyakini bahwa penafsiran ayat ini adalah A dan penafsir lainnya dengan tegas menolak penafsiran tersebut. Yang menjadi persoalan di sini yaitu saat kita merujuk kapada Al-Quran atau kitab-kitab tafsir yang ada, lantas kita menemukan pendapat-pendapat yang saling berselisih ini, apakah yang harus kita lakukan? Penafsiran yang bagaimanakah yang dapat atau harus kita terima? Secara ringkas jawabnya adalah; Pemahaman atau sebuah penafsiran ayat Al-Quran yang berpijak pada kaidah-kaidah yang ada, baik yang telah disebutkan di atas maupun kaidah-kaidah pasti lainnya, yang tolok ukurnya adalah saat kita menjelaskannya kepada seorang yang berakal sehat -dan tidak memiliki kepentingan tertentu- maka iapun akan menyimpulkan yang serupa. Pada kondisi seperti ini maka pemahaman kita akan ayat bersangkutan adalah hujjah dan dapat dijadikan pedoman. Namun dalam masalah-masalah yang masih samar yang masih diperselisihan, maka apa sikap kita adalah sebagimana saat kita menghadapi permasalahan yang belum jelas dalam bidang ilmu lainnya.

Seluruh pengetahuan manusia ada yang bersifat pasti (yaqini, definitif) dan ada yang bersifat asumsi. Pengetahuan yang bersifat pasti dapat dijadikan sandaran bagi setiap orang, namun pada pengetahuan yang tidak pasti, maka para ahli di bidang ilmu itulah yang berhak melontarkan pandangan atas permasalah tersebut. Bagi yang lainnya cukup merujuk kepada yang lebih menguasai permasalahan atau bidang ilmu tersebut dan mengambil pemahaman darinya, di mana hal ini pun (merujuk kepada yang lebih tahu) merupakan sebuah prinsip rasional. Jika permasalahan yang diperselisihkan merupakan aturan yang menuntut adanya praktek, maka sudah barang tentu kita harus menerima salah satu dari beberapa pandangan yang ada. Namun jika permasalahan yang diperselisihkan itu berkaitan dengan keyakinan yang tidak membutuhkan praktek nyata, maka seseorang tidak diharuskan untuk menyakini bahwa pendapat ini adalah benar dan pendapat yang satunya salah. Di sini ia dapat mengatakan: bahwa dugaan saya bahwa pandangan inilah yang benar, dan ia pun tidak dapat menisbatkan dugaan tersebut kepada Al-Quran. Sebagai contoh bentuk kehidupan di alam kubur (Barzakh) , bentuk pertanyaan yang akan dilontarkan di kubur dan lainnya sebagaimana yang disebutkan oleh para pakar teologi muslim. Pada kondisi seperti ini harus diperhatikan terlebih dahulu apakah kita harus memilih pandangan tertentu ataukah tidak? Di sini cukup bagi kita mempraktekan sabda Imam Shadiq “segala yang diucapkan oleh para Imam Maksum adalah kebenaran”. Jika ada seseorang yang mengkaji dalil-dalil baik rasional maupun tekstual guna memilih salah satu dari pendapat yang ada, maka hal ini diperbolehkan dalam Islam, selama ia tidak menisbatkannya kepada Al-Quran dengan mengatakan “pasti yang dimaksudkan Al-Quran adalah pendapat ini.”

Dalam kondisi seperti ini yang harus dikatakannya adalah “Saya menduga bahwa pendapat inilah yang benar, namun dikarenakan tidak ada dalil pasti yang menguatkannya, maka apa yang diucapkan para manusia suci itulah yang benar.”

Dengan demikian saat kita menghadapi sebuah permasalahan yang masih diperselisikan, kita akan tetap menghormati pendapat lainnya dan tidak menuduhnya sebagai seorang kafir, zindiq, musyrik dan tuduhan keji lainnya. Namun pada masalah-masalah yang pasti kita dapat menerapkan kaidah-kaidah yang ada, dan menurut pandangan rasional simpulan yang dicapai merupakan hujjah bagi kita, karena hal yang demikian akan menolak perbedaan persepsi dan pandangan. Sesuatu yang merupakan kejelasan akan difahami secara merata dan sama, kecuali bagi orang-orang yang memiliki tujuan dan kepentingan tertentu. Adapun yang berkaitan dengan permasalahan yang tidak pasti yang masih menjadi perselisihan, maka para pakar yang memiliki pengetahuan luas atas permasalahan tersebutlah yang berhak memberi pandangan mengenainya. Namun dengan kemungkinan adanya kesalahan dalam pandangan mereka, maka kita tidak dapat menisbatkannya kepada Allah SWT, karena tidak menutup kemungkinan ada maksud lainnya di balik makna yang mereka fahami dari ayat bersangkutan. Bagaimanapun juga, apa yang kita yakini adalah apa yang disabdakan oleh para Manusia Suci, dan itu merupakan hujjah bagi kita.

Komentari Artikel Ini

comments

https://pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js
%d blogger menyukai ini: