Oleh : Syaikh Husain Mazhahiri
Allah SWT memerintahkan kepada mayoritas nabi—sebagaimana dijelaskan dalam Al-Quran al-Karim—untuk tidak meminta upah kepada manusia atas penyampaian risalah yang mereka sampaikan, dan bahwa upah mereka hanyalah dari Allah SWT:
Dan (dia berkata), “Hai kaumku, aku tidak meminta harta benda kepadamu (sebagai upah) bagi seruanku. Upahku hanyalah dari Allah SWT.” (QS. Hud : 29)
Katakanlah, “Upah apa pun yang aku minta kepadamu, maka itu untuk kamu. Upahku hanya dari Allah, dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Saba : 47)
Katakanlah, “Aku tidak meminta upah sedikit pun kepada kamu dalam menyampaikan risalah itu, melainkan (mengharapkan kepatuhan) orang-orang yang mau mengambil jalan kepada Tuhannya.” (QS. Al-Furqan : 57)
Adapun berkenaan dengan Rasulullah SAW, dalam masalah ini Allah SWT berfirman di dalam Kitab-Nya yang mulia, “Katakanlah, ‘aku tidak meminta kepadamu susuatu upah pun atas risalah yang aku sampaikan kecuali kecintaan kepada keluargaku.”
Kata al-qurba berarti orang yang dekat di dalam nasab. Orang mengatakan ‘hum dzawu qarabati’, artinya mereka orang yang mempunyai kekerabatan dengan saya. Adapun kalimat yang berbunyi ‘qarabah asy-syai’, artinya apa-apa yang mendekati atau menyamai nilainya. Oleh karena itu ayat yang terakhir berbeda dengan ayat-ayat sejenis sebelumnya, yang datang berkaitan dengan para nabi dan para rasul yang lain.
Dari ayat yang terakhir ini dapat dipahami bahwa mengikuti kerabat Rasullah SAW yang mulia dan berlepas diri dari musuh mereka, adalah masalah penting yang telah diwajibkan oleh Islam, dan telah dianggapnya sebagai bagian dari cabang agama. Rasulullah SAW telah menetapkan kepada kita siapa-siapa saja yang termasuk kerabatnya, dan beliau mengkhususkan hanya pada ‘itrah-nya. Beliau menggambarkan mereka sebagai satu benda yang berat dan berharga, yang sebanding dengan Al-Quran, sebagai benda berat dan berharga lainnya. Rasulullah SAW telah bersabda di dalam hadis tsaqalain, yaitu sebuah hadis yang mempunyai lima ratus sanad, dan terhitung sebagai sebuah fenomena sejarah yang tidak diragukan. Hadis itu berbunyi, “Sesungguhnya aku tinggalkan padamu dua benda yang sangat berharga (tsaqalain), yaitu Kitab Allah dan ‘itrah-ku Ahlul Baitku. Jika kalian berpegang teguh kepada keduanya maka kalian tidak akan sesat selama-lamanya, dan keduanya itu tidak akan pernah berpisah, hingga keduanya menjumpaiku di telaga.”
‘Itrah adalah keturunan, sanak kerabat, dan Ahlul Bait seorang laki-laki. Kita harus berpegang teguh kepada Kitab Allah yang mulia dan kepada ‘itrah Rasulullah SAW, supaya kita jauh dari kesesatan dan dekat kepada petunjuk. Barangsiapa yang ingin sampai pada kedudukan yang tinggi dan kebahagiaan abadi, maka dia harus meniti jalan yang telah ditetapkan oleh Al-Quran al-Karim dan tunduk serta patuh kepada ‘itrah Rasulullah SAW, karena mereka mengeahui apa yang terdapat di dalam Al-Quran, dan merupakan pintu untuk memahami Al-Quran. Selain dari kemungkinan ini manusia akan terjerumus ke dalam kesesatan.
Rasulullah SAW telah menjelaskan kepada kita kedudukan keluarga sucinya, melalui hadis-hadis yang mutawatir. Rasulullah SAW menyebut mereka sebagai jalan kebebasan, pintu keselamatan, dan cahaya petunjuk. Rasulullah SAW juga mewajibkan kita untuk mencintai dan menaati mereka.
Rasulullah SAW telah bersabda, “Sesungguhnya perumpamaan Ahlul Baitku di sisimu tidak ubahnya seperti bahtera Nabi Nuh. Barangsiapa yang memasukinya maka dia selamat dan barangsiapa yang menyalahinya maka dia karam.”
Pada hadis yang lain juga Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa memegang agamaku, berjalan di atas jalanku, dan mengikuti sunnahku, maka hendaklah ia mengutamakan para imam dari keluargaku atas semua umatmu. Karena, perumpamaan mereka pada umat ini adalah tidak ubahnya seperti pintu pengampunan Bani Israil.”
Dari Abi Dzarr, ia berkata, “Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda, ‘Jadikanlah Ahlul Baitku bagimu tidak ubahnya seperti kepala bagi tubuh, dan tidak ubahnya dua mata bagi kepala. Karena, sesungguhnya tubuh tidak akan bisa memperoleh petunjuk kecuali dengan kepala, dan begitu juga kepala tidak akan bisa memperoleh petunjuk kecuali dengan kedua mata.”
Satu hal tidak diragukan bahwa semua perbuatan mempunyai jalan tersendiri. Adapun jalan menuju kebahagiaan di dunia dan di akhirat adalah mereka, para keluarga Rasulullah SAW. Yang pertama dari mereka adalah Amirul Mukminin Ali Kw, hingga orang terakhir dari rangkaian silsilah para imam yang suci, yang mana mereka semua adalah para khalifah Rasulullah SAW yang terpercaya. Barangsiapa yang tidak melalui jalan ini, maka dia akan sesat dan menyimpang.
Perlu kami ingatkan di sini bahwa kecintaan kepada kerabat Rasulullah SAW, yang diistilahkan sebagai Ahlul Bait, manfaatnya kembali kepada orang yang melakukannya. Rasulullah SAW mengatakan bahwa kecintaan ini merupakan upah dari Allah SWT atas risalah yang disampaikannya. Allah SWT berfirman, “Katakanlah, ‘Aku tidak meminta kepadamu sesuatu upah pun atas seruanku kecuali kecintaan kepada keluargaku.” (QS. Asy-Syura : 23)
Kata al-mawaddahberarti kecintaan. Kecintaan yang disebutkan di dalam ayat ini bukanlah kecintaan biasa, melainkan kecintaan yang mendorong manusia kepada maqam kedekatan Ilahi (al-qurb al-Ilahi) dan mampu memasuki pintu kebahagiaan abadi.
Barangsiapa menginginkannya, hendaknya dia mendatangi kebahagiaan dari pintunya, dan janganlah seperti mereka yang mendatangi rumah dari belakangnya. Allah SWT berfirman di dalam Kitab-Nya, “Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya.” (QS. Al-Baqarah : 189)
Barangsiapa yang hendak memasuki kota ilmu maka hendaklah dia datang dari pintunya. Rasulullah SAW telah bersabda, “Saya adalah kota ilmu, dan Ali adalah pintunya.”
Jadi, dari keterangan-keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa barangsiapa menginginkan kebahagiaan maka dia harus melalui jalan para imam yang suci sepeninggal Rasulullah SAW, yang mana mereka adalah pintu ilmu, tali yang terjulur di antara langit dan bumi, dan jalan yang lurus yang mendorong manusia kepada kemenangan dan keselamatan.
Seorang ulama bercerita, Di dalam mimpi saya melihat diri saya ingin melalui jalan yang tidak digariskan oleh Rasulullah SAW—yaitu selain jalan keluarga nabi. Ketika itu saya melihat salah seorang malaikat membelenggu saya dengan rantai dan melemparkan saya ke dalam sumur Jahannam yang menyalah-nyalah, lalu saya pun bangun dalam keadaan kaget, dan cepat-cepat berlindung kepada Allah SWT dari setan yang terkutuk. Setelah itu saya merenung, lalu saya yakin bahwa tidak ada kehidupan tanpa berpegang teguh kepada Kitab Allah dan ‘itrah Rasulullah SAW. Saya tidak ingin mengatakan bahwa mimpi saya itu merupakan hujjah yang tidak bisa dibantah tentang keharusan berpegang teguh kepada Ahlul Bait, melainkan saya ingin mengatakan bahwa fitrah yang tersembunyi di dalam diri manusia akan bekerja manakala keadaan menuntut pada yang demikian itu. Kita banyak menyaksikan orang-orang yang ingin melangkahkan kakinya tanpa kecintaan kepada Ahlul Bait, lalu tidak ada yang mereka peroleh kecuali ketergelinciran ke dalam lembah kehinaan dan kemunduran. Terkadang mereka salah di dalam menafsirkan dan memahami Al-Quran, sehingga mereka pun tersesat di dalam menjelaskan hukum-hukumnya.
Tidak mengapa kiranya di sini saya menuturkan sebuah cerita yang akan memperjelas pembahasan yang sedang saya bahas.
Salah seorang ulama dari kalangan pengikut (tabi’in) Ahlul Bait bercerita, “Saya pernah melalui sebuah jalan, lalu saya melihat seseorang yang dikerumuni orang banyak. Tampak begitu jelas bahwa dia orang yang dihormati oleh orang-orang yang mengelilinginya. Mereka melontarkan pertanyaan kepada orang itu, dan orang itu pun menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan kepadanya. Ketika orang itu melihat saya, dia pun bangkit dari tempat duduknya dan kemudian pergi. Saya mengikutinya dengan maksud untuk berbicara dengannya. Saya lihat dia memasuki sebuah kios sayuran dan buah-buahan. Lalu dia pun mengajak pemilik kios itu berbicara, dan manakala pemilik kios itu lengah akan barang dagangannya, orang itu mencuri dua buah delima dan kemudian pergi. Setelah itu dia memasuki sebuah kedai roti, dan melakukan persis apa yang telah dilakukan sebelumnya. Dia mencuri dua potong roti dari kedai roti kemudian keluar. Setelah itu dia melihat seorang miskin, lalu dia bersedekah kepada orang miskin itu dengan dua buah delima hasil curian, dan kemudian bersedekah kepada seorang miskin yang lain dengan dua potong roti yang telah dicurinya dari kedai roti. Ketika itulah saya menegurnya, ‘Apa yang Anda lakukan wahai seorang yang zuhud?’
Mengapa Anda mencuri, sementara sebelumnya Anda telah mengumpulkan manusia untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan agama yang mereka lontarkan?
Dia balik bertanya kepada saya, ‘Siapa Anda ini?’
Saya menjawab, ‘Saya adalah salah seorang sahabat keluarga Nabi.’
Orang itu berkata, ‘Anda seorang sahabat keluarga Nabi SAW, sementara Anda tidak mengetahui Al-Quran?’
Saya bertanya, “Apa itu, wahai laki-laki?’
Orang itu berkata, Allah SWT telah berfirman di dalam Kitab-Nya, ‘Barangsiapa membawa amal yang baik maka baginya pahala sepuluh kali lipat amalnya; dan barangsiapa membawa perbuatan yang jahat maka dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya.’ (QS. Al-An’am : 160)
Sesungguhnya saya melakukan empat buah maksiat; dua darinya berasal dari mencuri dua buah delima dan dua darinya lagi berasal dari mencuri dua potong roti; lalu saya bersedekah dengan dua buah delima untuk mendapatkan dua puluh kebaikan, dan bersedekah dengan dua potong roti untuk mendapatkan dua puluh kebaikan lagi. Dengan begitu saya mendapati empat puluh kebaikan, dikurangi empat maksiat, maka yang tersisa bagi saya adalah tiga puluh enam kebaikan.’
Saya berkata kepadanya, ‘Anda tidak hanya tidak mendapatkan pahala kebaikan sama sekali, melainkan Anda juga telah melakukan delapan maksiat! Empat maksiat darinya dikarenakan Anda telah mencuri barang orang lain, dan empat maksiat lainnya dikarenakan Anda telah membelanjakan harta orang lain tanpa izin mereka.’”
Jika seorang manusia menyimpang dari jalan kebenaran, sementara dia seorang yang tidak mengetahui sunnah Rasulullah SAW dan tidak mengetahui penafsiran tentang apa yang terdapat di dalam Al-Quran, maka dia akan beramal sesuai keinginan dirinya yang tidak bersandar kepada logika. Barangsiapa tidak mengikuti Ahlul Bait Nabi SAW, dan tidak beramal sesuai dengan penafsiran yang mereka lakukan terhadap Al-Quran al-Karim, niscaya dia akan terjerumus ke dalam kesesatan, dan kebodohan ganda (al-jahl al-murakkab) akan berkuasa atas dirinya. Anda akan menyaksikan dia berbuat kesalahan dan bermaksiat kepada Allah SWT, sementara dia berkeyakinan bahwa dirinya memperoleh pahala.
Orang-orang seperti ini banyak kita temukan dalam kehidupan masyaarakat kita, bahkan di kalangan ulama sekali pun. Jika kita menolak untuk beramal di dalam konteks wilayah keluarga nabi, maka kita pun akan menjadi seperti orang zuhud yang bodoh di atas.
Salah seorang pemberi nasihat, bercerita dari atas mimbarnya, “Seorang laki-laki datang kepada saya, dan berkata sambil menjulurkan kedua kakinya, ‘Maaf tuan, saya lelah sekali pada tiga hari terakhir ini. Saya telah mengerahkan segenap tenaga dan pikiran saya di dalam mengadakan acara peringatan kesyahidan ‘Abbas—saudara sebapak Imam Husain. Selama tiga hari itu saya sibuk menyediakan makanan kepada mereka yang hadir pada acara peringatan tersebut. Karena begitu sibuknya, sampai-sampai saya tidak bisa lagi mencopot sepatu saya dari kedua belah kaki saya.’
Saya bertanya kepadanya, ‘Bagaimana kalau sekarang Anda berwudhu untuk mengerjakan shalat?’
Laki-laki itu menoleh kepada saya sambil berkata, ‘Jika ‘Abbas tidak bisa menolong saya dari maksiat ini, maka saya tidak akan lagi meyakininya sejak sekarang!’”
Sungguh, ini merupakan kebodohan. Laki-laki ini telah meninggalkan perintah yang wajib demi melakukan perbuatan sunnah. Banyak dari kita yang bersedia jatuh ke dalam lembah kemaksiatan hanya untuk melakukan perbuatan-perbuatan sunnah. Sungguh yang demikian ini jauh dari jalan yang telah diajarkan oleh Ahlul Bait. Jika kita berpegang teguh kepada jalan Rasulullah SAW, maka kita tidak akan sampai kepada keadaan yang memalukan ini.
Berkenaan dengan ayat Al-Quran yang berbunyi, “Tunjukkanlah kami kepada jalan yang lurus” (QS. Al-Fatihah : 6), terdapat kalangan mufasir yang mengartikan sebagai berikut, “Ya Allah, kekalkanlah taufik-Mu kepada kami sehingga kami terus bisa taat dan tunduk kepada-Mu. Adapun kata hidayah (petunjuk), ketetapan (tatsabbut), dan jalan (shirat), semuanya berarti jalan yang lurus; yaitu jalan kebenaran, jalan Ahlul Bait Nabi SAW. Jadi, singkatnya ayat ini berisi permohonan untuk tetap berada di jalan Ahlul Bait Nabi SAW, di dalam lingkungan ke-imamah-an mereka. Sebagian mufasir yang lain mengatakan, ‘Sesungguhnya yang dimaksud ‘jalan yang lurus’ ialah Ahlul Bait.”
Sesungguhnya perbuatan yang dilakukan di dalam lingkungan ke-imamah-an bukanlah perkara yang sepele. Karena, yang demikian itu membebaskan manusia dari kesewenang-wenangan berpikir, rasa ‘ujud dan kesenangan menarik perhatian orang; dan ini adalah sesuatu yang memerlukan perjuangan terus-menerus. Barangsiapa tidak mampu keluar sebagai pemenang di dalam peperangan ini, maka sungguh dia telah sesat dan menyimpang dari jalan yang lurus. Arti ‘jalan yang lurus’ yang terdapat di dalam ayat ini jauh lebih dalam dan halus daripada sehelai rambut., jauh lebih tajam daripada sehelai pedang, dan jauh lebih membakar daripada api.
Aban bin Taghlab adalah salah seorang mujtahid. Imam Ja’far bin Muhammad ash-Shadiq telah memberi izin kepadanya untuk memberi fatwa. Suatu hari dia datang ke hadapan Imam Ja’far ash-Shadiq dan berkata, “Wahai putra Rasulullah SAW, apa denda bagi orang yang memotong satu jari?”
Imam Ja’far ash-Shadiq menjawab, “Sepuluh ekor unta.”
Aban bertanya lagi, “Jika dua jari?”
Imam Ja’far ash-Shadiq menjawab, “Dua puluh ekor unta.”
Aban bertanya lebih lanjut, “Bagaimana jika tiga jari?”
Imam Ja’far ash-Shadiq menjawab, “Tiga puluh ekor unta.”
Aban bertanya lagi, “Jika empat jari?”
Imam Ja’far ash-Shadiq menjawab lagi, “Dendanya dua puluh ekor unta.”
Mendengar jawaban itu Aban sangat kaget dan berkata, “Hal yang sama pun telah dikatakan oleh orang-orang di Kufah dengan menukil darimu, dan ketika saya mengatakan, ‘Ini adalah hukum setan. Imam tidak mungkin mengatakan ini.’”
Mendengar kata-kata Aban, Imam Ja’far ash-Shadiq berkata, “Pelan-pelan wahai Aban, engkau jangan mendahului Ahlul Bait. Karena, jika sunnah dikiaskan, maka hancurlah agama.”(Bersambung……)