Oleh : Syaikh Husain Mazhahiri
Kita melihat sebagian orang menulis buku di dalam bidang tafsir Al-Quran. Namun, mereka hanya mengharapkan ketenaran, jauh dari ketundukan kepada jalan para Imam keluarga Nabi. Mereka menulis buku tafsir dengan tujuan memperoleh sesuatu, dan dengan tanpa merujuk kepada marji’ taklid atau kepada orang yang lebih tahu di dalam bidang ilmu yang sensitif ini, sehingga anda menyaksikan mereka menafsirkan Al-Quran dengan sesuatu yang sesuai dengan pendapat dan hawa nafsu mereka. Mereka mulai mengingkari hal-hal yang gaib di dalam penafsirannya, yang merupakan sesuatu yang menjauhkan manusia dari sifat-sifat tercela dan mendorong mereka kepada shalat malam. Misalnya mereka mengatakan, “Sesungguhnya yang dimaksud dengan iman kepada hal-hal yang gaib ialah peperangan gerilya, peperangan bawah tanah dan strategi bagaimana menipu musuh. Manusia harus melakukan peperangan yang seperti ini.” Kemudian mereka membagi peperangan kepada dua bagian: Peperangan terbuka dan peperangan gerilya. Mereka mengatakan bahwa keimanan yang gaib tidak keluar dari makna ini, dan Al-Quran telah memerintahkan kita untuk melakukan peperangan gerilya.
Kemudian mereka melakukan penafsiran kepada surah al-Fiil—yang merupakan salah satu mukjizat Al-Quran. Surah ini menceritakan tentang burung-burung yang membawa batu yang berasal dari tanah yang terbakar di paruh dan kedua kakinya, lalu melemparkan batu itu ke atas pasukan Abrahah, sehingga gajah dan pasukan yang menungganginya menjadi seperti daun yang dimakan ulat.
Surah al-Fiil turun setelah empat puluh tahun peristiwa tersebut terjadi. Ini merupakan sebaik-baiknya dalil yang menunjukkan bahwa peristiwa itu bukanlah khurafat, bahkan peristiwa itu merupakan bukti bagi tauhid, kenabian, dan kekuasaan Allah yang Maha Besar. Akan tetapi penafsir-penafsir ini menafsirkan surah ini dengan mengatakan, “Sesungguhnya seekor gajah telah menyerang ka’bah dengan tujuan untuk menghancurkannya, maka para penduduk kota mekah pun menyerang gajah tersebut tidak ubahnya seperti penyerangan seekor burung elang terhadap mangsanya, dan kemudian mereka pun membinasakan gajah itu.”
Mengapa timbul penafsiran ini, wahai saudara yang mulia?
Bagaimana mungkin kami bisa menerima penafsiran Anda ini?
Kami tidak bisa mengatakan apa-apa kecuali mengatakan bahwa ini adalah kesewenang-wenangan berpikir, bahkan lebih jauh merupakan pengingkaran terhadap penafsiran para keluarga Nabi SAW. Dan itu berarti pengingkaran terhadap hadis tsaqalain, yang menyatakan bahwa keluarga Muhammad SAW adalah padanan Kitab Allah, dan juga pembangkangan terhadap ayat mawaddah yang telah kami jelaskan.
Amirul Mukminan Ali Kw berkata, “Cukuplah seorang laki-laki dikatakan sombong manakala dia berpegang kepada segala bujuk rayu dirinya.”
Di dalam kehidupan, banyak sekali kita menemukan contoh-contoh seperti ini. Seandainya manusia berpikir sejenak saja di dalam kehidupannya dan merujuk kepada masa-masa lalunya, niscaya mereka akan mengetahui dan paham bahwa bersandar kepada kesewenang-wenangan berpikir tidaklah mendorong manusia kecuali kepada akibat-akibat yang tidak terpuji. Berbagai musibah dan bencana yang hingga sekarang sebagian orang masih merintih dan mengeluhkannya, itu semua tidak lain kecuali akibat dari penyandaran diri kepada kesewenang-wenangan berpikir yang dilakukan oleh sebagian orang.
Pemimpin revolusi Islam, dan sekaligus pendiri Republik Islam Iran mengatakan, “Ketika saya berada di kota Najaf Asyraf, datang sekelompok orang kepada saya, lalu mereka membacakan penggalan-penggalan kitab Nahjul Balaghah kepada saya, tanpa memahamimakna dari penggalan-penggalan Nahjul Balaghah tersebut. Ketika itu saya teringat sebuah kisah orang Yahudi yang masuk Islam di tangan seorang ulama. Setelah berjalan beberapa waktu, orang Yahudi itu seolah-olah telah menjadi pemilik risalah. Dia senatiasa hadir dikuburan Imam Ali, mengerjakan shalat malam, dan meninggalkan pekerjaannya semata-mata untuk mengikuti ulama ini dan ulama itu. Orang Yahudi yang baru masuk Islam itu memberi nasihat kepada muslimin. Melihat ini, ulama yang memasukkan orang Yahudi itu masuk Islam mengatakan, “Sungguh mengherankan orang muslim yang baru ini, memberi nasihat kepada muslimin, sementara sebelumnya ia seorang Yahudi.”
Pada suatu hari ulama itu memegang tangan orang Yahudi yang telah masuk Islam itu lalu mengatakan, “Bagaimana bisa engkau menjadi secepat ini sebagaimana yang aku lihat sekarang? Engkau memberi nasihat, memberi pelajaran, mengkritik, mencela, dan memuji, sementara engkau tidak berhak mendahului orang yang sebelum kamu!” Mendengar perkataan itu, orang Yahudi itu merasa yakin bahwa dia tidak bisa menipu dan mengelabui ulama tersebut, dan oleh karena itu dia pun lari dan tidak kembali lagi.
Seorang manusia yang ingin mendahului orang lain tanpa berpegang teguh kepada ke-imamah-an dan kepada Al-Quran al-Karim, maka bahaya yang ditimbulkannya jauh lebih banyak dibandingkan manfaatnya. Karena, kecintaan kepada Ahlul Bait menuntut seorang manusia untuk bergerak selangkah demi selangkah di jalan mereka, dan jika dia tidak tahu maka dia harus bertanya kepada orang yang ahli dan lebih mengetahui di jalan Ilahi ini.
Kita sering melihat seorang pergi ke kota Masyhad dengan tujuan untuk berziarah ke makam Imam Ali bin Musa ar-Ridha, akan tetapi mereka tidak mau turun dari bis untuk melakukan shalat wajib. Saya tidak bisa melupakan kejadian setahun yang lalu ketika saya bersama ayah saya pulang dari kota Masyhad. Ketika sampai di salah satu kota yang terletak di provinsi Muzandaran, waktu shalat sudah hampir habis, sementara tidak ada satu mesjid pun yang terbuka pintunya, sedangkan losmen tempat kami berhenti hanya punya satu kamar. Ayah saya—semoga rahmat Allah tercurah atasnya—adalah orang yang sangat menjaga waktu shalat, dan dia tidak mau makan malam kecuali setelah mendirikan shalatnya. Kami pun mengetuk pintu sebuah mesjid, namun jawaban yang datang dari dalam ialah bahwa kami harus shalat di luar mesjid, sementara ketika itu waktu shalat telah habis.
Di sana tidak terdapat air untuk wudhu, sementara kami hanya mempunyai sebotol air untuk persediaan minum kami. Kami pun menggunakan air itu untuk berwudhu. Setelah itu kami mengerjakan shalat di pinggir jalan. Bersama kami ikut juga seorang laki-laki dan seorang wanita yang sudah tua mengerjakan shalat. Ketika kami sedang shalat, tiba-tiba bis bergerak meninggalkan kami di tengah jalan.
Bis itu mengangkut kurang lebih empat puluh orang penumpang, sementara penumpang yang mengerjakan shalat hanya enam orang, padahal bis itu datang dari arah kota Masyhad, dan para penumpangnya baru saja berziarah ke makam Imam Ali bin Musa ar-Ridha.
Peristiwa lain yang juga ingin saya sampaikan di sini ialah, “Saya pernah pergi ke kota Masyhad bersama seorang pelajar lainnya. Ketika sudah dekat ke kota Mahmud abad, yaitu pertengahan perjalanan, supir membelokkan arah kendaraan ke jalan yang kami tidak ketahui ke mana arahnya. Tidak berapa lama kemudian kondektur mengatakan kepada kami bahwa sebagian besar penumpang ingin melihat pantai, dan mereka telah memberikan ongkos tambahan, di samping itu mereka juga telah memberikan ongkos tambahan bagi kami. Kebetulan saya dan teman saya itu belum pernah melihat laut, maka kami pun menerima tawaran itu.
Setelah berjalan satu jam, bis berhenti di salah satu jalan kota pantai, lalu kami pun turun untuk berjalan kaki. Kami bertanya kepada salah seorang polisi yang bertugas di sana—yang tampaknya seorang yang taat beragama—tentang di mana pantai. Sebagai ganti dari jawaban, dengan segera polisi itu malah bertanya kepada kami, “Apakah Tuan ingin pergi ke pantai?” Kami menjawab, “Benar, kami ingin ke pantai.” Lalu polisi itu memanggil seorang supir taksi dan mengatakan, “Antarkan tuan-tuan ini ke pantai.” Ketika sampai di tepi pantai, kami melihat pemandangan yang membuat kami malu. Di sana semua orang, baik laki-laki maupun perempuan bertelanjang. Yang tertutup hanyalah bagian aurat mereka saja. Dengan segera kami berkata kepada supir taksi, “Cepat kembali, dan jangan berhenti!” Maka kami pun kembali ke tempat semula di mana polisi itu berdiri. Polisi itu datang menghampiri kami lalu mengatakan, “Saya tidak berani mengatakan apa yang ada di sana. Saya lihat Anda ingin pergi ke pantai. Oleh karena itu saya tidak berani berkata.” Saya pun meninggalkan polisi itu dan mengucapkan terima kasih kepadanya.
Ketika itu udara sangat panas sekali, sehingga kami tidak kuat berdiri di jalan. Maka kami memilih untuk duduk di dalam bis sambil menunggu kedatangan para peziarah yang lain.
Setelah menunggu cukup lama, mereka, laki-laki dan perempuan, kembali ke bis dengan pakaian yang telah basah dengan air laut. Padahal, mereka baru saja berziarah ke makam Imam Ali bin Musa ar-Ridha.
Barangsiapa yang tidak berpegang kepada ayat Al-Quran yang berbunyi, “Katakanlah, ‘Aku tidak meminta kepadamu sesuatu pun atas seruanku kecuali kecintaan kepada keluargaku.’” (QS. Asy-Syura : 23), dan tidak beramal dengan apa yang telah ditetapkan oleh Ahlul Bait Nabi, maka dia berani menendang seluruh pahala dunia dengan kedua kakinya dengan melakukan sebuah maksiat.
Anda adalah para mukallid. Anda harus merujuk kepada para fukaha tentang hukum-hukum agama. Sebagai contoh, para fukaha mengatakan, “Jika Anda bergabung kepada sebuah shalat jamaah sementara imam dengan posisi dalam keadaan rukuk, lalu Anda mengucapkan Allahu Akbar, dan ketika Anda sedang menggabungkan diri dengan rukuknya imam, imam keburu mengangkat kepala dari rukuknya, maka janganlah Anda meneruskan shalat dengan bermakmum kepadanya, melainkan Anda harus menyelesaikan shalat Anda secara munfarid. Artinya, anda harus mengerjakan shalat sendirian dan tidak berjamaah.”
Sebagian orang berkata, “Mengapa saya harus mengerjakan shalat secara munfarid (sendirian), padaha ketika itu saya bisa membatalkan shalat saya terlebih dahulu, untuk kemudian bergabung dengan imam pada rakaat kedua, supaya saya dapat memperoleh pahala shalat berjamaah., yang mana tidak ada seorang pun yang dapat menghitung pahala shalat berjamaah yang dikerjakan oleh sepuluh orang selain dari Allah SWT.”
Islam mengataka, “Membatalkan shalat tidak dibolehkan.”
Benar, membatalkan shalat tidak termasuk dosa besar melainkan dosa kecil, akan tetapi Allah SWT tidak ridha seorang manusia mengerjakan sebuah maksiat hanya dengan tujuan mendapatkan semua pahala itu. Karena, Islam tidak ridha seorang manusia memperoleh semua pahala dan ganjaran dunia dengan cara mengerjakan sebuah maksiat.
Betapa indah kata-kata yang ditulis oleh seorang mahasiswa persiapan di dalam buku hariannya, “Hari yang kelam di dalam hidupku adalah di mana aku bangun dari tidurku sementara matahari telah terbit, sehingga shalat subuh yang aku kerjakan pun menjadi shalat qada.”
Mahasiswa ini tidak melakukan kejahatan, dan apa yang terjadi pada dirinya tidak dihitung sebagai sebuah maksiat darinya, akan tetapi masalahnya lebih dari dua itu. Karena seluruh keuntungan dunia tidak bisa menandingi satu shalat subuh yang dikerjakan oleh seseorang secara ada’an (tunai).
Pada suatu kesempatan saya telah menceritakan seorang laki-laki yang datang kepada Imam Ja’far ash-Shadiq untuk beristikharah mengenai perjalanannya. Imam Ja’far ash-Shadiq pun beristikharah untuknya. Kemudian Imam Ja’far ash-Shadiq berkata kepadanya, “Meninggalkan safar (perjalanan) lebih utama bagimu.” Akan tetapi, laki-laki itu tidak berpegang kepada apa yang dikatakan oleh Imam Ja’far ash-Shadiq. Ia pun pergi melakukan perjalanannya, dia datang untuk kedua kalinya kepada Imam Ja’far ash-Shadiq dan berkata, “Wahai putra Rasulullah, aku telah melakukan perjalanan, dan perjalanan yang telah aku lakukan sangat berhasil sekali. Allah SWT telah membukakan pintu keuntungan yang banyak sekali kepadaku.” Mendengar itu Imam Ja’far ash-Shadiq tersenyum, dan kemudian berkata, “Tidakkah engkau ingat bahwa pada hari anu engkau kembali ke rumahmu dalam keadaan lelah sekali, dan kemudian engkau tertidur lelap; keesokan harinya engkau bangun dalam keadaan matahari telah menampakkan dirinya, sehingga dengan begitu shalat subuhmu menjadi shalat qada?” Selanjutnya Imam Ja’far ash-Shadiq berkata, “Sesungguhnya shalat subuh yang engkau tinggalkan tidak dapat ditandingi oleh seluruh keuntungan yang diperolehmu di dalam perniagaanmu.”