Perspektif

Menjadi Pecinta Imam Husain (2)

Oleh : Mohammad Jawodiy Khomeini

Unsur Penting Bagi Pecinta

Setelah kita mengenal secara sekilas tentang siapa Imam Husain dan bagaimana makna kecintaan serta pengaruhnya, maka selanjutnya apa yang mesti dilakukan atau dimiliki oleh setiap diri yang mengaku atau ingin menjadi pecinta Imam Husain?

Setidaknya ada beberapa hal dan unsur yang mendasar yang saya kutipkan dari Ali Umar Al-Habsyi dalam “Keistimewaan dan Tanggung Jawab Pengikut Ali kw” yang perlu dimiliki oleh setiap orang yang ingin bergabung dalam  kafilah suci keluarga Rasulullah SAW terkhusus kepada Imam Husain, antara lain:

  • Pemahaman Utuh dan Kesadaran akan Wilayah

Unsur paling mendasar yang mesti dimiliki adalah pemahaman yang utuh serta kesadaran penuh akan wilayah atau otoritas para manusia-manusia suci, termasuk di dalamnya Imam Husain. Dengan dasar itulah hubungan antara pecinta dan yang dicintai akan dibangun dan ditentukan.

  • Menerima Kebenarannya

Pembenaran adalah sesuatu yang tidak mungkin terpisah dari penerimaan kita akan wilayah maksumin. Oleh karena hubungan kita dengan manusia suci akan menjadi rusak bila terdapat unsur keraguan didalamnya.

Dalam doa Ziarah Jami’ah kita diajarkan untuk berikrar: “Aku persaksikan Allah, dan aku persaksikan (pula) kalian (wahai para Imam) bahwa aku beriman dengan kalian dan dengan apa yang kalian imani, ingkar kepada musuh kalian dan apa yang kalian ingkari. Aku mengenal dengan baik urusan kalian, dan mengakui kesesatan sesiapa yang menyalahi kalian. Aku beriman kepada rahasia kalian dan apa yang kalian tampakkan, dengan yang hadir dari kalian dan yang gaib.” Dan masih dalam doa yang sama kita juga dituntun: “Berbahagialah orang yang berwilayah kepada kalian, dan binasalah orang yang memusuhi kalian, kecewalah orang yang menentang kalian, sesatlah orang yang berpisah/meninggalkan kalian. Dan sukseslah orang yang berpegang teguh dengan kalian, amanlah orang yang berlindung kepada kalian, selamatlah orang yang membenarkan kalian dan terbimbinglah orang yang berbenteng dengan kalian.”

  • Berlepas Diri (Bara’ah)

Bara’ah atau berlepas diri adalah dimensi lain dari mengikuti kebenaran. Ketika disampaikan kepada Imam Ja’far Shadiq bahwa ada seorang mencintai dan berwilayah kepada kalian Ahlul Bait, hanya saja ia lemah dalam berlepas diri dari musuh-musuh kalian. Maka beliau bersabda :“Jauhilah! Bohonglah orang yang mengaku mencintai kami tetapi ia tidak berlepas diri dari musuh-musuh kami.”

Dalam Doa Ziarah Asyura konsep bara’ah terhadap musuh-musuh Allah ini dipertegas :

“Semoga Allah melaknat umat yang telah membantai kalian, semoga Allah melaknat orang-orang yang menyiapkan jalan untuk memerangi kalian. Aku berlepas diri kepada Allah dan kepada kalian dari mereka dan dari pendukung-pendukung, pengikut dan pembela mereka.”

Pada doa tersebut, sikap murka dan berlepas diri tidak hanya terhadap musuh-musuh Allah SWT, akan tetapi juga dari para pembela, pendukung dan pengikut mereka serta siapapun yang merestui tindakan murka mereka. Sebagaimana kita bertaqarrub kepada Allah dengan berwilayah kepada wali-wali Allah, demikian juga kita bertaqarrub kepada Allah dengan memusuhi musuh-musuh Allah SWT dan para pendukungnya.

  • Menjadikan Teladan

Di antara unsur penting dalam berwilayah adalah meneladani Ahlul Bait Rasulullah dan menjadikan mereka sebagai panutan kita dalam segala urusan agama. Para Imam Suci keluarga Rasul telah mengikatkan keimanan dengan amal dan menegaskan bahwa kesempurnaan iman tak akan tercapai kecuali melalui amal kebajikan.

Imam Ali kw bersabda : “Aku bersama Rasulullah SAW, dan bersamaku itrahku dan kedua cucu (Rasulullah SAW), maka siapa menghendaki kami, hendaklah ia mengambil ucapan kami dan beramal dengan amal kami.” Karena itu, klita diajarkan agar berdoa, “Semoga Allah menjadikan hamba tergolong orang yang berjalan di atas jejak kalian, menempuh jalan kalian dan mengikuti petunjuk kalian.”

  • Ketaatan dan Pasrah

Inti dari hubungan kepada pemegang kebenaran adalah ketaatan dan tunduk pasrah. Ketaatan menjadi utama apabila dialamatkan secara benar dan ia adalah kesesatan jika dialamatkan secara salah. Ketaatan hanya kepada Allah SWT, kepada Rasul-Nya dan kepada Ahlul Bait Rasul adalah bernilai tinggi. Sementara taat pada thaghuth (sesembahan selain Allah) adalah terkecam dan inti kesesatan.

Dalam surah Az-Zumar ayat 17 telah menjelaskan dua sisi nilai ketaatan di atas. “Dan orang-orang yang menjauhi thaghuth (yaitu) tidak menyembahnya dan kembali kepada Allah, bagi mereka berita gembira ….” (QS. Az-Zumar [39]:17)

Para Imam Suci keluarga Rasul adalah hujjah-hujjah Allah atas penghuni bumi, oleh karenanya ketaatan kepada mereka adalah wajib. Kita beriman dengan puncak keimanan bahwa ketaatan hanya untuk Allah semata, tidak untuk selain-Nya. Sementara ketaatan kepada Rasul dan keluarganya adalah kepanjangan dari ketaatan kepada Allah SWT.

Demikian juga dengan sikap pasrah, yaitu ketundukan total tanpa sedikitpun dicampuri protes atau penolakan adalah wujud konkrit dari ketaatan itu sendiri. Dalam Ziarah Jami’ah disebutkan “Dan kalbuku hanya pasrah total kepada kalian, dan pendapatku mengikuti kalian.”“Aku berdamai dengan siapa yang berdamai dengan kalian dan berperang dengan siapa yang berperang dengan kalian. Bergabung dengan siapa yang berwilayah kepada kalian dan memusuhi yang memusuhi kalian.”

  • Kecintaan dan Mawaddah

Kecintaan dan mawaddah adalah tonggak hubungan kepada Ahlul Bait Rasul. Ayat-ayat Al-Quran telah turun untuk menegaskan prinsip ini. Allah SWT befirman: “Katakanlah: “Aku tidak meminta kepadamu sesuatu upah pun atas seruanku kecuali kasih sayang kepada Al-Qurba”. Dan siapa yang mengerjakan kebaikan akan Kami tambahkan baginya kebaikan pada kebaikannya itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun Maha Mensyukuri.” (QS. Asy-Syura [42]:23)

Ketaatan dan kecintaan adalah jiwa dan inti dari kepengikutan sejati. Imam Ja’far Shadiq pernah ditanya tentang cinta, apakah ia bagian dari agama? Maka beliau bersabda : “Dan bukanlah agama itu melainkan kecintaan! Andai seseorang mencintai batu pastilah Allah kumpulkan ia bersamanya.”

Kecintaan adalah konsekuensi tauhid sejati. Barangsiapa mencintai Allah pasti ia mencintai Rasul-Nya, dan barangsiapa mencintai Rasul-Nya pasti ia mencintai Ahlul Bait Rasul-Nya. Barangsiapa mencintai Rasul dan Ahlul Baitnya maka pastilah ia mencintai Allah SWT.

Dari uraian-uraian sebelumnya kita dapat memahami bahwa setelah memiliki beberapa unsur dan kriteria di atas, barulah kita dapat menggabungkan diri menjadi pecinta Imam Husain. Tanpa hal tersebut, rasanya mustahil untuk bisa dikatakan pecinta. Karena seorang pecinta akan mengalami efek atau pengaruh dari apa yang dicintainya. Paling tidak ada dua hal yang dapat diperhatikan, antara lain:

Pertama, perilaku, pikiran, perasaan dan tindakannya akan sangat dipengaruhi oleh apa dan siapa yang dicintainya. Cintailah Imam Husain, maka ia akan menjadi pusat perhatian Anda. Kapan saja Imam Husain diperbincangkan orang, Anda akan bersemangat untuk menyimaknya. Anda senang mempelajari sejarah dan perjuangannya. Anda akan menggabungkan diri dengan para pecinta Imam Husain. Kebahagiaan terbersit ketika menyaksikan orang memuliakan beliau. Namun, duka cita muncul saat mengingat tragedi dan penderitaan yang menimpa beliau.

Kedua, jika kita mencintai seseorang, maka kita akan berusaha untuk berperilaku seperti orang itu. Lihatlah, para anak muda meniru idolanya. Bila kita mencintai Imam Husain, maka semestinya kita akan berusaha meniru beliau atau menyerupainya. Sangat sulit untuk menjalankan tuntunan dari beliau tanpa ada kecintaan kepadanya. Meneladani perilaku Imam Husain tidak dapat diajarkan dengan mempelajarinya. Kita harus memasukkan cinta Imam Husain dalam hati kita. Begitu cinta sudah tertanam dalam hati, dengan mudah kita akan meneladani Imam Husain dalam setiap gerakan dan tindakan kita.

Pada gilirannya, cinta melenyapkan seluruh batas pemisah dan menghancurkan seluruh sifat mementingkan diri sendiri. Cinta adalah sesuatu yang dapat mengubah setan menjadi malaikat. Sungguh, cinta adalah eliksir yang sangat mengagumkan. Mawlana Rumi berkata:“Tidak ada eliksir yang dapat menandingi eliksir cinta.”

Tengoklah sekali lagi, apa yang terjadi disebabkan kecintaan. Bagaimana Sayyidah Zahra telah menyediakan kain kafan bagi Salman al-Farisi sejak jauh-jauh hari. Ketika Amirul Mukminin Ali kw mendatangi jenazah Salman di Mada’in, tubuh Salman telah dingin. Amirul Mukminin masuk untuk memandikan jenazahnya, tiba-tiba Salman bangun sejenak lalu duduk dan berkata,“Salam sejahtera atasmu wahai Amirul Mukminin,” kemudian tubuhnya jatuh kembali. Bagaimana ini terjadi? Semua disebabkan oleh cinta. Sebuah ungkapan berbunyi: “Karena cinta, orang mati hidup kembali. Karena cinta, raja menjadi hamba sahaya.”

Tragedi Karbala, telah memperlihatkan dengan nyata jalinan ikatan suci kecintaan antara Imam Husain dengan para pengikutnya. Bagaimana keluarga dan kerabatnya serta sahabat-sahabat setianya mempersembahkan pengorbanan secara sempurna untuk membela Sang Imam (Pemimpin) Al-Husain, demi mereguk syahadah dan ridha Allah SWT. Semoga dengan mengenang kembali peristiwa yang menimpa Imam Husain, keluarga dan sahabatnya, akan mengantarkan kita untuk menjadi pecinta-pecinta sejati.

 

Ya Husain, inilah kami, sekian abad dari masamu,

dalam tubuh ringkih yang penuh dosa,

dengan lidah kelu yang tercemari dusta,

dengan mata dan telinga, kaki dan tangan yang kami gunakan dalam nista.

Kami beranikan menyerumu meskipun besar rasa malu kami.

Kami kuatkan menyapamu betapapun kotor diri kami.

Duhai cucu Nabi, entah bagaimana……

dalam hati ini selalu ada kerinduan kepadamu.

Kami tidak tahu dari mana datangnya,

Tuhan senantiasa menggerakkan hati kami untuk mengenangmu.

Seolah ada ruang yang tersisa, di kedalaman sanubari, setelah seluruh maksiat dan dosa.

Seolah masih ada cahaya, yang menanti di akhir perjalanan, setelah seluruh salah dan nista.

Salam bagimu Duhai Imam Husain Penghulu Syuhada

Salam bagimu Duhai Aba abdillah

Salam bagimu Duhai Ali putra Husain

Salam bagimu Duhai Abbas Panglima Husain

Salam bagimu Duhai Putra-Putri dan Keluarga Husain

Salam bagimu Duhai Sahabat-sahabat Husain

Aku bersaksi bahwa engkau semua telah berjuang menegakkan Kebenaran Ilahiah

hingga saat terakhir maut menjemputmu.

Sesungguhnya aku membela siapa pun yang membelamu,

Dan menyatakan perang pada siapa pun yang memerangimu

Komentari Artikel Ini

comments

https://pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js
%d blogger menyukai ini: