Perspektif

Menyingsing “Matahari Kehidupan” di Lazuardi Ibu Pertiwi

Oleh : Almin Jawad Moerteza

Sesaat ketika orang kesayangan itu lahir,

seluruh umat manusia pun lahir,

seluruh makhluk menjadi hidup dan damai”.

HARI makin terang. Siang sudah hampir. Mata hari mulai menyengat. Tapi lautan manusia seperti air bah yang tumpah ruah makin membanjiri sudut-sudut jalan. Mereka berjalan dengan langkah malu-malu. Terpatri di wajah mereka senyum kebahagiaan. Dari jauh tabuh rebana dan lantunan syair barzanji terdengar bertautan, menggaung, menggema memecahkan kebisingan zaman yang disesaki kegalauan dan hiruk-pikuk modernisasi. Ke mesjid mungil sederhana mereka menuju. Tak ada pembicaraan selain lantunan mengumamkan pujian cinta. Di sudut mesjid, duduk sekelompok orang bersama dalam lingkaran majlis yang dipenuhi aura sakral. Di situ berjejer lelaki dan wanita paruh baya dengan rebana ditangannya. Sekali-kali tangan itu mengalun lalu menyentuh rebana, menghasilkan rangkaian irama yang menghipnotis dan menggerakkan. Dengan kepolosan remaja belia bibir mereka melantunkan:

“Shalâtun minallâh wa alfa salâm

‘Alal Musthafâ Ahmad syarîfil maqâm

Ya Allah curahkan seribu salam

Bagi Mustafa Ahmad insan mulia

Salam oh salam seharum kesturi

Bagimu duhai kekasih yang mulia

Dalam gulita kami rindukanmu

Kaulah cahaya ditengah manusia

Demi Allah kau penuhi hatiku

Engkaulah tujuan cita-citaku

Muliakan aku dengan cinta sucimu

Berikan padaku tempat yang mulia

Akulah hambamu duhai tercinta

Di dekatmu cintaku dan bahagia

Jangan dukakan daku tanpa dikau

Sapalah daku walau dalam mimpi

Hidupku matiku dalam cintamu

Hinaku muliaku karena dikau

Dalam dekapmu damainya jiwaku

Engkaulah selalu damba rinduku

Apa arti hidup jika hatiku

Terpisah dari tambatan jiwaku

Cintanya resapi sanubariku

Tertutup tulang dan darah dagingku

Syair pujian itu bukan sekedar ekspresi cinta dan kerinduan yang mendalam. Apalagi sekedar sambutan pop yang digandrungi anak zaman. Salam itu mampu menghentakkan kegamangan hidup, mengubahnya menjadi mozaik pelangi penuh warna di atas kanvas langit biru ibu pertiwi. Sejenak memalingkan umat dari rundungan duka dan kemalangan. Lantunan itu semacam panggilan suci yang membangunkan umat dari tidur panjang dan lelap. Melantunkannya, dapat mengembalikkan bukan saja manusia tapi seluruh makhluk dari kematian kepada hidup yang penuh makna – meaning full life.

Bukankah kita tanpa kehadirannya– dengan meminjam istilah Muhammad Muttaqin Azikin – hanyalah anak yatim yang malang? Kita akan terlantar tanpa topangan kasih dari kehadirannya. Bahkan kita tak mungkin tercipta tanpanya. Dia adalah pena penciptaan Ilahi. Melaluinya terbentang cakrawala. Darinya segala makhluk dimaujudkan. Dengannya Allah taburkan tinta cinta pada wujud dan bentuk penciptaan. Dalam  sebuah hadis qudsi Allah berfirman, “Sekiranya bukan karena kecintaanku kepada engkau (wahai Muhammad), Aku tak akan menciptakan alam semesta beserta segala isinya”. Dengarlah bagaimana Islamolog Annemarie Schimel penulis Dan Muhammad Utusan Allah, mengungkapkan cintanya dengan mengutip gubahan puisi yang sangat menyentuh:

Wahai Cahaya di dalam Cahaya,

Ayat-ayat kitab suci telah memujimu –

bagaimana bisa sair mudahku melukiskan kemuliaanmu,

mengucapkan kata selain namamu adalah keliru,

melantunkan pujian artistik apa pun selain bagimu adalah malu, malu!

Tentu saja, Adam adalah teman istimewa Tuhan,

Musa adalah orang yang diajak berbicara oleh Tuhan,

Ibrahim adalah manifestasi kuasa Tuhan,

Isa bahkan ruh Tuhan – tetapi engkau

adalah sesuatu yang berbeda!

Sungguh,

Musa pingsan kala sifat-sifat itu menjelma –

dan kau tetap tersenyum kala lihat Zatnya Zat

Lalu,

apa yang harus kukatakan dalam memujimu

sebab Ilahi telah memujimu

dan tak meninggalkan apa pun untuk diucapkan.

Seperti Scimel, Thomas Carlyle, pencetus the great man theory dalam bukunya Heroes and Hero Worshipers (Para Pahlawan dan Pemuja Pahlawan) pada salah satu bagian dia menulis tentang Rasulullah, The Hero as The Prophet, Pahlawan sebagai Nabi. Pada bagian ini Carlyle dengan indah menyuguhkan sebuah puisi:

Bagi bangsa Arab kelahiran Muhammad adalah kelahiran

dari kegelapan kepada cahaya

Arabia untuk pertama kalinya hidup karena kehadirannya

Bangsa-bangsa gembala yang miskin yang terasing di sahara

sejak terciptanya dunia

Seorang nabi pahlawan dikirimkan kepada mereka

Dengan firman yang mereka percaya

Lihat bagaimana gembala-gembala yang tak dikenal menjadi penguasa dunia

Bangsa yang kecil tumbuh menjadi bangsa yang besar

Dan dalam satu abad sesudah itu,

Arabia memanjang sejak Granadha sampai New Delhi

Cemerlang dalam segala cahaya dan kebesaran

Arabia menyinari abad-abad yang panjang pada bagian besar dunia

Imam memang besar dan memberikan kehidupan

Sejarah satu bangsa menjadi tumbuh subur

Menaikkan jiwa besar,

segera setelah bangsa itu percaya kepada orang Arab ini

orang ini – Muhammad – dan satu abad saja

Bukankah ini sebuah percikan yang jatuh dari langit

kepada dunia padang pasir yang tidak dikenal dan kelabu

dan lihatlah, padang-padang pasir itu berubah

menjadi amunisi yang meledak

dan sinarnya naik ke langit, sejak Delhi hingga Granadha

Puisi Thomas Calyle di atas sering dikutip Bung Karno dalam beberapa kesempatan maulid dengan – seperti biasa – prafarase sendiri, “Kedatangan Muhammad ke negeri Arab sebagai sebuah percikan api dari langit yang jatuh di sahara dan mengubah debu-debu padang pasir menjadi ledakan dasyat yang mengguncang dunia, merah rona angkasa dari Delhi hingga Granada”. Konon – menurut Kang Jalal (sapaan akrab Jalaluddin Rakhmat), Bung Karno mengutipnya dari buku Thomas Carlyle dalam terjemahan Belanda, Helden en Helden Vereering. Berbeda dengan para materialis yang menganggap bahwa perubahan sosial ditentukan oleh perubahan teknologi dan distribusi barang dan jasa, berbeda dengan kaum idealis yang menyatakan bahwa gagasanlah yang menimbulkan perubahan sosial, dalam buku itu Carlyle dengan teori manusia besarnya menyakinkan bahwa pahlawanlah yang menjadi sumber dari segala perubahan.

Bagi kita, Rasulullah adalah ‘Matahari Kehidupan’. Matahari yang mencairkan hati yang beku, meluluhkan hati yang pongah, melelehkan kebekuan pikiran dan fanatisme. Dialah matahari yang telah dan akan menuntun segenap alam dari kegelapan kepada cahaya. Mengeluarkannya dari kesesatan kepada keadilan. Mengangkatnya dari lumpur kehinaan ke atas altar kemulian. Allah titahkan kepadanya cinta, “wa ma arsalnâka illa rahmatan lil âlamîn” dan tidaklah kami utus engkau (wahai Muhammad) kecuali tuk menyebarkan cinta di seluruh alam semesta ini (QS. Al-Anbiya’ [21]: 108). Darinya Allah curahkan hujan kasih kepada gembala dahaga di sahara. Dengan senyum – yang tidak pernah lepas – dari bibirnya ia runtuhkan egoisme tirani. Wewangian membersit dari pori-pori kulitnya membenarkan sabdanya. Memberi harapan kaum papa akan kebahagiaan tak berujung. Kelahirannya menghijaukan daun yang menguning karena layu. Menyeimbangkan konstalasi kosmik dalam tatanan orbitnya. Kehadirannya telah mengubah si lemah menjadi buldozer yang siap meluluh lantahkan setiap penguasa lalim. Dia bahkan telah menyihir milyaran umat manusia menjadi amunisi yang meruntuhkan benteng-benteng keangkuhan yang berdiri kokoh sepanjang sejarah peradaban manusia.

Kelak, oleh pengikutnya dia dikenang dalam setiap salat dan peribadatan mereka. Salat – dalam pandangan jemaatnya – menjadi batal tanpa rangkaian namanya. Bagaimana mungkin dihari lahirnya anda diam tak bergeming? Akankah anda melupakannya? Bukankah anda menisbahkan diri sebagai umatnya? Tidak. Anda diam, karena tak mampu merangkai kata. Kata yang hanya mampu mengungkap bagian sisi kecil dari kesempurnaanya. Untuk itu, anda meminjam lisan suci dari putranya, Imam Ali Zainal ‘Abidin. Dalam fana’ anda ucapkan;

Bagaimana mungkin kami melupakanmu

padahal tidak henti-hentinya engkau kenangan kami

Bagaimana mungkin kami melalaikanmu

padahal engkau selalu menyertai kami

Di belahan bumi lain tapi masih di negeri kita. Dalam detik-detik penyambutan, pemuda-pemuda dusun sibuk mendekor ruangan. Lainnya bergegas menghias diri. Ibu-ibu tak lagi mendengar rintihan pilu bayinya. Para ayah larut dalam keheningan bersiap lantunkan barzanji. Si miskin yang dirundung duka sejak lahir kini tersenyum bahagia. Tak ada lagi derita. Karena itulah salah satu nama Rasulullah adalah Tirayâkul aghyâr – obat segala penyakit, penghilang dahaga, penghapus segala derita dan penawar segala racun.

Kehadiran Nabi merupakan semacam obat ‘analgesik’ penghilang nyeri. Nyeri kehidupan yang selama ini menghujami ulu hati kehidupan kaum papa, melepuhkan kulit kesabarannya, melelehkan daging tubuh kepercayaannya hingga merapuhkan tulang-tulang keyakinannya. Maulid Nabi memalingkan si kaya dari zeitgeist (ruh zaman) posmodernisme, ruh yang disesaki budaya dan aktivitas mengejar duniawi. Aktivitas yang selama ini memporak-porandakan benteng agamanya. Budaya yang mencabik-cabik pertahanan keyakinannya. Keduanya – tanpa mempedulikan status – duduk berdampingan. Melebur dalam damai. Sampailah pada saat kelahiran Al-Mustafa, bersama-sama mereka berdiri ucapkan salam, “Assalâmu ‘alaika yâ Rasûlullâh. Assalâlamu ‘alaika yâ Habîballâh. Assalâmu ‘alaika yâ Nabiyar Rahmah. Assalâmu ‘alaika yâ Sayyidal Mursalîn. Assalâmu ‘alaika wa ‘ala Ahli Baitikath Thayyibîth Thâhirîn”. Kita ingin ambil bagian, bersama Annemarie kita gumamkan syair:

Ketika pena menulis nama Tuhan

ia juga menulis namamu,

Ketika bibir berucap menyebut nama Tuhan

ia juga menyertakan rangkaian namamu

Jika Allah sendiri adalah Ahmad tanpa huruf Mim

Maka engkau adalah Ahad dengan huruf Mim

Dari kerumunan massa terdengar seorang pemuda sesumbar. Apa gerangan yang mengharuskan kita mengucapkan salam kepada Rasulullah, manusia biasa? Tidakkah ritual penyambutan ini bentuk pengkultusan individu?

Kepada pemuda moderen itu Rumi berkata bijak:

Tebu dan  bambu serumpun

Tapi yang satu mengeluarkan gula manis tiada tara

Sedang yang lain kosong melompong

Tawon dan lebah makan dan minum dari sumber yang sama;

namun yang satu hanya menghasilkan sengatan yang tajam

sedang yang lain membuahkan madu yang lezat

Nabi dan kita memang  manusia

Tapi yang satu makan dan memancar cahaya ahad

Sedang yang lain makan dan yang keluar cahaya dengki dan hasad

Rumi melanjutkan;

Jangan karena di dalam kalam Ilahi tertoreh kalimat;

Qul, iInnamâ anâ basyarum mitslukum – katakan oleh kamu (wahai Muhammad)

Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu

Anda mengira bahwa antara kamu dengan Rasul ada kedekatan

Sungguh tidak,

Karena antara kamu dengan Nabi ada jarak ribuan tahun cahaya.

‘Kultus individu’ adalah kata yang tidak jelas yang hanya digunakan karena kehabisan argumentasi. Aku bahkan berani katakan –sekiranya Allah menyingkapkan pandangan kita – kita akan menyaksikan para malaikat membasahi bibir mereka dengan sebutan namanya,  gemintang menangis bahagia, bunga-bunga layu merekahkan kelopaknya, bebatuan bertasbih dan rerumputan menari-nari kegirangan menyambut kedatangan insan suci pilihan Tuhan, Ahad dengan huruf mim – Ahmad. Marilah kita sambut kehadiran junjungan kita dengan ungkapan cinta sekaligus mengingatkan pemuda itu: “Innallâha wa malâikatahû yushallûna ‘alannabi yâ ayyuhaladzîna âmanû shallû ‘alaihi wa sallimû taslîmâ” (Al-Ahzab: 56). Allâhumma shallî ‘ala Muhammad wa âli Muhammad.

Tapi bukankah Muhammad SAW telah meninggal dunia? Mungkinkah bagi kita mengucapkan salam kepada mereka yang meninggal dunia? Ayat berikut ditujukan kepada mereka yang enggan mengucapkan salam dan penghormatan kepada Nabi, Allah mengingatkan, “Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup disisi Tuhannya dengan mendapat rezki. …., dan mereka bergirang hati terhadap orang-orang yang masih tinggal di belakang yang belum menyusul mereka, bahwa tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati (QS. Al-Imran [3]: 169-170).

Bersama Schimel kita kidungkan lagi:

Betapa Allah SWT telah melingkupimu dalam Al-Quran

dengan nama-nama yang indah!

Kadang-kadang Dia menyapamu dengan Thoaha,

kadang-kadang dengan Yasîn

mengapa manusia, malaikat dan jin tak memujimu;

padahal Allah SWT sendiri telah memujimu

wallahu ‘alam bis shawwab

Komentari Artikel Ini

comments

https://pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js
%d blogger menyukai ini: