Perspektif

Misi Kenabian, Membebaskan Manusia (1)

Hal yang terbaik dihadiahkan para Nabi as kepada umat manusia adalah penyebaran kebebasan dan kemerdekaan, yakni kebebasan dari sistem-sistem destruktif yang merusak jiwa-jiwa individual dan tatanan sosial maknawi. Al-Qur’an mengungkapkan tentang pemberian kebebasan dengan bahasanya: “(Yaitu) orang-orang yang mengikuti Rasul, Nabi yang ummi (tidak bisa baca tulis) yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada pada mereka, yang menyuruh mereka berbuat yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, dan yang menghalalkan segala yang baik bagi mereka dan mengharamkan segala yang buruk bagi mereka, dan membebaskan beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Adapun orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya, mereka itulah orang-orang beruntung.”[1]

Bisa saja dikatakan bahwa kebebasan dalam pengertian politik dan sosial merupakan suatu komprehensi modern; namun pada dasarnya prinsip kebebasan itu sendiri memiliki latar belakang sejarah dan peradaban yang sangat panjang. Pendahulu-pendahulu kita, ketika mereka berbicara tentang kebebasan, kebanyakan yang dituju mereka adalah kebebasan internal dan batin serta kebebasan dari sifat-sifat yang hina dan rendah. Terma-terma kebebasan internal dan batin ini banyak kita jumpai dalam karya-karya akhlak dan irfani.

Kebanyakan karya memperhatikan kebebasan ruh dan maknawi serta kesucian dan kebersihan jiwa dari sifat-sifat rendah dan hina; apakah kebebasan itu dalam jihad ausath (pertengahan), dimana kebebasan yang ingin digapai dalam jihad ini adalah kebebasan dari dosa dan kemerdekaan jiwa dari hal-hal mubah yang bisa mengotorinya, ataukah kebebasan dalam jihad akbar dan peperangan paling besar, dimana kebebasan yang ingin didapatkan dalam jihad ini adalah kebebasan dari setiap keterikatan dan ketergantungankepada halal dan mubah, dan kebabasan dari setiap determinasi; kendatipun itu adalah mazhar sebagian dari asmaul husnâ.

Dalam jihad akbar ini, upaya seorang mujahid pemberani adalah melepaskan diri dari simpul dan jeratan hasil serta memburu syuhud, dan menyeberang dari sungai komprehensi akal berhijrah menuju lautan misdak yang sebenarnya.

Adapun bentuk kedua dari kebebasan -yakni kebebasan dan kemerdekaan politik- adalah suatu istilah yang terdapat dalam bahasa dan kesusastraan semua pemerintahan-pemerintahan autarki, perbudakan, penjajahan, kolonisasi, dan lainnya. Pengenalan terhadap bentuk kebebasan ini dan pengetahuan terhadap nisbahnya dengan keadilan, merupakan suatu kerja yang harus direalisasikan dalam atmosfir kekuasaan akal dan wahyu (syariat).

 

Syariat, Garis Demarkasi Kebebasan

          Dalam menentukan batas dan wilayah kebebasan, terdapat beragam pandangan yang didasari oleh pandangan dunia dan ideologi. Namun yang pasti tak seorang pun di dunia ini yang mendeklarasikan kebebasan mutlak tanpa batas dan tanpa ikatan; akan tetapi penentuan batas, syarat, dan ikatan kebebasan ini yang senantiasa menjadi bagian dari wacana dan diskursus para filosof politik.

Sebagian dari mereka berkeyakinan terhadap kebebasan yang berkeadilan; yakni hanya keadilan yang memiliki kelayakan dan kemampuan membatasi kebebasan; sebab tidak satupun konsepsi dan esensi yang dapat berhadapan dengan kebebasan selain sebuah konsepsi yang lebih penting, lebih besar, lebih luas, den lebih meliputi dari makna kebebasan. Oleh karena itu, gabungan antara nilai dan idealitas tidak lain adalah kebebasan yang berkeadilan, dimana penafsiran tentangnya berada dalam pancaran dan penataan syariat.

Keadilan, yakni menjaga totalitas hak-hak dan nilai-nilai, dimana kebebasan merupakan salah satu di antara mereka. Oleh karena itu, susunan tersebut (hak dan nilai), adalah keseluruhan yang berimbang yang memenuhi seluruh hak dan nilai dan di antaranya adalah kebebasan itu sendiri.

Dengan demikian, hak kebebasan tidak boleh mempersempit dan menyudutkan hak-hak yang lain, sebagaimana keadilan itu sendiri bukanlah suatu nilai yang independen yang menghalangi hak kebebasan; akan tetapi keadilan adalah suatu sifat yang memiliki totalitas kesetimbangan (equilibrium), dan sudah jelas kesetimbangan seluruh hak dan nilai ini baru dapat teraktual ketika kehidupan seluruhnya  terjaga, bukan sebagian dari mereka, dan menjamin keberlangsungan seluruhnya, bukan meliburkan sebagian dari mereka.

Berdasarkan ini, maka sistem akhlak yang adil dan bebas merupakan sistem yang dinasehatkan dan dianjurkan oleh para Nabi as dan juga seluruh Filosof Ilahi dan Reformer konstruktif.

Dalam menyanggah teori kebebasan berkeadilan ini harus dikatakan bahwa keadilan yang diperhadapkan dengan kebebasan yang membatasi kebebasan tersebut adalah suatu konsepsi yang datang dari tempat lain dan mesti dimaknakan dan ditafsirkan. Jika kebebasan juga dibebaskan dan dilepaskan -sesuai keinginannya dan keuntungannya- dalam memaknakan keadilan dan memberi artian untuknya; dalam bentuk ini maka apa saja yang menguntungkannya akan dihitungnya adil dan apa saja yang merugikannya akan dipandangnya buruk dan zalim.

Jika kita menerima kebebasan itu memiliki batasan dan itu adalah keadilan kebudayaan, maka penerimaan ini adalah salah; bahkan pembicaraan ini baru di tengah jalan dan mesti untuk mencapai akhir jalan kembali kepada awalnya, dan dari situ perjalanan yang akan dilewati akan diketahui secara sempurna. Ibaratnya seperti seorang yang kehausan, ia membuka kran air untuk menghilangkan dahaganya dan menyangka bahwa kran air itu akan melenyapkan hausnya, ia tidak mengetahui bahwasanya ia harus melewati proses dan perjalanan ini dan sampai kepada sumber air yang jernih dan segar.

Keadilan dan kebebasan -ibaratnya kran dan pipa air- berada dipertengahan jalan dan selamanya tidak akan dapat membatasi dan menentukan garis demarkasi. Karena itu, mesti batas kebebasan diketahui dalam ruang lingkup takwîni, dan juga batas kebebasan hanya diperoleh dalam wilayah tasyrî’i, sehingga dapat diketahui esensi kedua bentuk kebebasan tersebut serta batasan mereka dimana.

Kebebasan dalam sistem takwini, berada di seputar undang-undang illiyah (sebab-akibat); yakni manusia dalam sistem takwini adalah bebas, namun manusia tidak akan dapat merealisasikannya lebih tinggi dari undang-undang illiyah. Tanpa memperhatikan aturan yang berkuasa atas “sebab dan akibat”, adalah mustahil suatu pekerjaan sampai pada akhirnya. Tidak satupun akibat tercipta tanpa sebab dan tak satupun akibat tanpa sebab, khususnya bagi mumkinul wujud. Karena itu, mustahil sistem sebab dan akibat dapat dihilangkan dan suatu akibat tercipta dari ketakberaturan dan kebetulan.

Sistem tasyri’i juga demikian halnya; yakni struktur tasyri’i membatasi kebebasan; sebab hanya tasyri’i yang mampu menjelaskan batasan kebebasan, bukan keadilan. Keadilan -apakah itu dihitung sebagai suatu sifat dari sifat-sifat manusia atau suatu akhlak dari akhlak manusia atau sifat dari keseluruhan yang setimbang- berada di bawah bundelan syariat, sementara syariat ditetapkan dan ditentukan oleh syâri’ muqaddas dan Zat aqdas ahadiyyah Allah SWT.

          Oleh karena itu, batas kebebasan dan keadilan, dan juga batas hak dan tanggung jawab, ditentukan dan ditetapkan oleh Tuhan. Hanya dalam konteks seperti ini memungkinkan manusia bergerak dalam pusaran batas kebebasan dan keadilan dan juga batas hak-hak serta sifat-sifat lainnya.

Tuhan telah memberikan hak bagi setiap pemilik hak, firman-Nya: “…yang telah memberikan bentuk kejadian kepada segala sesuatu, kemudian memberinya petunjuk.”[2] Oleh karena itu, jika kita katakan bahwa keadilan menentukan batas kebebasan maka dapat dipertanyakan, pertama, apa keadilan dan kezaliman itu? Kedua, siapa yang mesti menetapkan ruang lingkup keadilan? Jika keadilan adalah sesuatu yang ambigu, bagaimana dia dapat menjelaskan batas kebebasan?! Jadi mesti dikatakan: Hanya Causa Prima yang menciptakan Alam dan Adam yang mampu menentukan dan menjelaskan batas Alam dan Adam dalam takwîn (genesis) dan tasyrî’ (canonization); sebagaimana dapat kita baca dalam amalan-amalan bulan Rajab: “pemberi batas segala yang terbatas, syâhid segala yang masyhud, dan pengada segala yang maujud[3]; yakni Tuhan yang memberi batasan atas segala sesuatu, karena itu penjelasan tentang batas kebebasan dan keadilan serta penyampaiannya juga semuanya berada di tangan-Nya.

Amirul Mukminin Ali Kw dalam maqam menafsirkan kebebasan berkata: Apa yang diperintahkan kepadamu dengannya lebih luas dari apa yang dicegah dan dilarang kamu darinya, dan apa yang dihalalkan bagimu lebih banyak dari apa yang diharamkan kamu atasnya; maka tinggalkanlah sesuatu yang sedikit untuk meraih sesuatu yang banyak dan jauhilah yang sempit dan sulit untuk mendapatkan yang luas dan mudah.[4]

Oleh karena itu, batas dan ruang lingkup kebebasan berada di tangan pemilik syariat; sebab halal dan haram berada di tangan-Nya dan perkara ini berpindah kepada masyarakat dengan perantara para faqih dan tidak semua orang dapat mencapai ruang suci ini tanpa memiliki syarat-syarat yang lazim terlebih dahulu. (Bersambung…..)

Komentari Artikel Ini

comments

https://pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js
%d blogger menyukai ini: