Perspektif

Misi Kenabian, Membebaskan Manusia (2)

Kebebasan adalah hak setiap manusia, dan setiap manusia memiliki hak bebas, tetapi manusia dalam hak ini adalah bertanggung jawab dan loyal, bukan pemilik semata kebebasan. Hak ini ibaratnya penguasaan terhadap harta milik dan pengelolaan terhadapnya.

Untuk menjelaskan masalah ini perlu diutarakan beberapa hal lazim yang berkaitan dengan pemilikan harta, di antaranya:

1.     Sesuatu yang disebut harta, seperti rumah, kebun, mobil, karpet, televisi, kulkas, binatang ternak, dan sebagainya.

2.     Pemilikan manusia atas mereka dikarenakan produksi, pembelian, penyimpanan, warisan, dan semacam itu. Berdasarkan ini manusia mendapatkan penguasaan atasnya. Sabda maksumin : Manusia berkuasa atas harta-harta mereka.

3.     Apakah kekuasaan atas harta adalah hak atau taklif? Jika kekuasaan atas harta adalah hak maka manusia dapat saja merusak harta miliknya, hatta menghancurkan rumahnya atau membakarnya; yakni apa saja yang dia ingin lakukan terhadapnya dia bisa saja lakukan dan tidak ada sama sekali penghalang, aral, dan problem yang muncul dari orang lain dan tak seorang pun yang akan mencegahnya, serta perbuatannya pun tidak terhitung isrâf (pemborosan) dan mubadzir, dan yang paling akhir bahwa perbuatannya itu tidak termasuk perbuatan yang diharamkan Tuhan.

Adapun jika kekuasaan atas harta adalah taklif dan tanggung jawab, yakni bukan hak, maka dia harus konsisten untuk tidak isrâf dan mubadzir terhadap harta miliknya serta jangan sampai terjadi perbuatan haram atasnya.Jadi, dalam menghadapi kepemilikan harta dan hak penggunaan dengannya, jangan sampai kita melakukan maksiat karenanya; yakni kita mesti amîn (dapat dipercaya, setia) terhadap harta, bukan pemilik dan pengguna yang sewenang-wenang atasnya.

Oleh karena itu, Tuhan adalah penentu batas dan hudud serta penetap syarat kebebasan, dan kebebasan juga merupakan suatu hak yang diletakkan Tuhan pada ikhtiar manusia, maka itu manusia adalah penjaganya; dengan cara itulah kebebasan, reputasi, prestasi, dan harga diri terjaga. Jika seseorang berupaya dan berusaha dalam pelaksanaannya meraih reputasi atau jika sebuah negara dikarenakan kerja keras dan mujahadah memperoleh prestise di dunia maka dia mendapatkan hak besar, yakni semua warganya wajib menjaganya. Manusia yang bermartabat tidak punya hak menumpahkan identitas dan mengobral kepribadiannya di mana saja; sebagaimana kemerdekaan dan harga diri sebuah negara juga mesti seperti ini; sebab menghilangkan harga diri sebuah bangsa dan masyarakat merupakan suatu maksiat besar dan tentu saja balasan perbuatan ini adalah azab dan siksa akhirat.

Imam Shadiq berkata: Tuhan memberikan izzah dan kemuliaan kepada orang mukmin dan menyerahkan perkara-perkaranya kepada dirinya. Tuhan tidak menginginkan dalam penyerahan pekerjaan-pekerjaan kepadanya itu membuatnya terhina dan menumpahkan harga dirinya; sebagaimana Tuhan berfirman:…izzah itu hanyalah bagi Allah , Rasul-Nya, dan bagi orang-orang mukmin…”. Oleh karena itu, orang-orang mukmin bermartabat dan punya harga diri serta mereka tidaklah rendah dan hina, karena itu orang-orang mukmin memiliki tanggung jawab untuk menjaga harga dirinya.

Abu Basir salah seorang sahabat besar Imam Shadiq berkata: Saya katakan kepada Imam Shadiq  bahwa orang-orang bepergian musafir dengan sekelompok orang kaya, ketika mereka terjebak dalam pengeluaran maka dia tidak sanggup mengeluarkan seperti apa yang dikeluarkan oleh mereka (kelompok orang kaya) dan dia hanya punya sedikit biaya dan ongkos. Imam Shadiq berkata: Saya tidak suka dia membuat dirinya hina dan menumpahkan air muka dan harga dirinya. Dia mesti bepergian seperjalanan dengan orang yang kemampuannya dari segi harta (dalam belanja dan biaya) seperti dirinya.              

          Pelaksana dan pejabat negara juga tidak punya hak untuk membuat hina masyarkat dan bangsanya dan menumpahkan harga diri negaranya atau menjual dirinya kepada bangsa asing. Dia mesti menjaga kemerdekaan dan kebebasan (diri, masyarakat, bangsa, dan negerinya); sebagaimana yang dipesankan Amirul Mukminin hadhrat Imam Ali Kw kepada putranya hadhrat Imam Hasan al-Mujtaba sekembalinya dari perang Shiffîn: Muliakanlah dirimu dan cegahlah dirimu dari setiap kehinaan dan kerendahan, meskipun dia (kehinaan) akan menyampaikan kamu kepada berbagai kenikmatan (duniawi); sebab apa yang berhadapan dengan air muka yang kamu tumpahkan, tidak akan kamu dapatkan gantinya, dan janganlah menjadi hamba dan budak yang lain; sebab Tuhan menciptakan kamu sebagai orang yang merdeka.

Oleh karena itu, sebagaimana asas eksistensi kita berasal dari Tuhan, kesempurnaan-kesempurnaan yang menyertai dan mengikutinya seperti kemerdekaan, kebebasan, keadilan, dan hak-hak lainnya, semuanya juga bersumber dari Tuhan dan mesti kita menggunakannya di jalan benar serta menjaganya.

Untuk lebih jelasnya apa yang telah diuaraikan tersebut di atas, beberapa poin berikut ini perlu diperhatikan:

1.     Manusia mempunyai hak-hak individual, sosial, politik, budaya, ekonomi, dan hak-hak lainnya seperti itu;

2.     Hak-hak tersebut merupakan hibah Ilahi yang diberikan kepada manusia;

3.     Manusia berhak atas hak-hak tersebut, namun dalam berhadapan dengan pemilik asli mereka, manusia harus amîn dan setia terhadapnya serta berusaha menjaganya; manusia dinisbahkan dengannya tidak boleh berlaku sebagai pemilik yang berbuat sewenang-wenang hatta sampai mengobralnya;

4.     Sebagaimana manusia berkuasa terhadap harta miliknya, akan tetapi dengan kekuasaannya itu dia tidak punya hak bertindak sewenang-wenang terhadapnya, demikian pula dinisbahkan dengan hak-hak yang sudah disebutkan -seperti kebebasan dan kemerdekaan- dia adalah pemilik hak, tetapi dalam berhadapan hak ini, dia mempunyai tugas dan taklif; yakni dia bertanggung jawab memelihara nikmat ini dan dengan harmoni dan adil mengambil manfaat darinya tanpa meliburkannya, dan dia dinisbahkan dengannya bukanlah sebagai raja penguasa.

 

Oleh karena itu, penjelasan konsep dan teori pembatasan ruang lingkup kebebasan hanya di tangan Tuhan -yang termanifestasi dalam bentuk syariat-  dapat dijelaskan berasaskan undang-undang dan hukum kausalitas; bahwasanya seluruh nilai-nilai -seperti kebebasan, keadilan, dan hak-hak lainnya- mesti berakhir pada eksistensi pemilik dan pemberi yang kaya sejati. Imam Sajjad berkata: Orang butuh menginginkan sesuatu kepada seorang butuh adalah perbuatan yang bodoh. Oleh karena itu, dari satu sisi setiap orang butuh harus mengetahui bahwa dia adalah orang butuh dan mesti berpikir untuk menghilangkan kebutuhannya, dan di sisi lain, merujuk kepada orang seperti dirinya (yakni orang yang butuh juga) adalah perbuatan yang tidak logis. Berdasarkan pemikiran ini maka untuk menghilangkan kebutuhan (setiap orang atau maujud butuh) mesti meminta bantuan dan bermohon kepada yang kaya sejati, dan nilai kebebasan serta nilai keadilan dan nilai hak-hak lainnya dan juga batasan-batasan mereka mesti dicari darinya, dan jika hak-hak yang bernilai ini sampai di tangan kita maka kita jangan mengobralnya begitu saja dan kita jangan serahkan di tangan orang yang tidak layak menerimanya serta kita jangan sampai menganggap seseorang sebagai pemiliknya; akan tetapi semua harus bertanggung jawab dan setia dalam berhadapan dengannya.

 

Memenjarakan Agama

Amirul Mukminin Ali Kw berkata kepada Malik Asytar: Agama ini tadinya tertawan dan terpenjara di tangan para pembuat keburukan, dan mereka berbuat atasnya sesuai dengan keinginan hawa nafsunya dan mereka menjadikannya sebagai wasilah untuk mendapatkan dunia.

Revolusi Islam mengambil bentuknya lewat tangan mulia Nabi SAW dan masyarakat terbebaskan dari kait dan perangkap penyembahan berhala dan tsanawiyyat jahiliah. Nabi SAW memerintahkan berhala-berhala di seputar Ka’bah dihancurkan dan mensucikan Masjidil Haram serta Ka’bah dari polusi mereka serta menguburkan semuanya di sisi pintu Bani Syaibah, dan Nabi SAW memerintahkan supaya orang-orang yang haji masuk Masjidil Haram lewat pintu ini sehingga permasalahan berhala dan peradaban berhala selamanya berada di bawah kaki para muwahhid.

Dalam hal ini, terdapat segolongan orang memandang bahwa seluruh problema dan dilema kemasyarakatan serta keagamaan mereka disebabkan oleh kebudayaan penyembahan berhala, kekafiran, dan syirik ini, karena itu mereka menjadi muwahhid. Akan tetapi segolongan lainnya tidak mengambil manfaat secara benar dari kebebasan ini dan tinggal dalam keadaan penuh keragu-raguan, dan juga terdapat golongan ketiga yaitu golongan thugyân (pemberontak), yang dikarenakan endapan-endapan jahiliah masih bercokol dalam jiwa mereka dan bayang-bayang kejahilan masih mengkristal dalam hati mereka maka mereka hanya masuk Islam secara zahir, sebagaimana yang dikatakan Amirul Mukminin Ali as tentang mereka: Mereka tidak masuk agama Islam, akan tetapi mereka berpura-pura memeluk agama Islam. Kelompok ini pada hakikatnya bukanlah kaum muslimin, tetapi mereka secara zahir menampakkan bahwa mereka adalah bagian dari orang-orang Islam, mereka ini menunggu kesempatan kapan dapat menghabisi agama dan menyerahkan kemenangan itu di tangan para tagut, setan, dan iblis. Mereka hendak mematahkan ajaran agama dari dalam dan mengikat tangan serta kaki syariat dan merantai syariat serta menjadikannya sebagai tawanan, dan pada akhirnya melakukan balas dendam terhadap agama benar ini; sebagaimana Yazid bin Muawiyah bin Abu Sofyan katakan: Tidak ada agama dan wahyu datang dan tidak ada Al-Quran diturunkan (ini adalah bentuk puncak pengingkaran terhadap kedatangan dan bi’tsah Nabi SAW beserta agama Islam dan Al-Quran).

Bani Umayyah dan Bani Marwan berkhayal bahwa sesudah mereka mengikat dan merantai agama maka agama akan lenyap selamanya, dan sesuai dengan anggapan mereka bahwa agama adalah suatu permainan, sesudah itu tidak akan mungkin hidup lagi; akan tetapi hadhrat Imam Sajjad dan hadhrat Zainab  dalam menyertai pemimpin para syuhada (hadhrat Imam Husain) dan dengan kepemimpinan beliau, mereka menghidupkan agama dan melepaskan ikatan dan rantai yang membelenggu tangan dan kaki agama serta memukulkannya pada pintu rumah tirani Bani Umayyah dan Bani Marwan serta mempermalukan mereka dalam catatan sejarah umat manusia untuk selamanya.

Ketika Imam Sajjad  ditanya didepan pintu gerbang Syam (syiria) tentang siapa yang menang dalam peperangan di Karbala, beliau  berkata: Jika kamu ingin mengetahui siapa pemenangnya  maka ketika masuk waktu shalat,  adzan dan iqamahlah!; yakni bacalah adzan dan iqamah sehingga diketahui bahwa kalimat “Aku bersaksi  bahwasanya Muhammad SAW itu adalah utusan Allah” merebak dan menyebar secara agung dan mulia di alam kemanusiaan dan kebudayaan serta peradabannya meliputi seluruh umat manusia.

Oleh karena itu, kelompok thugyân menggunakan pemberian kebebasannya dan kemerdekaan yang ada dalam Islam secara menyimpang dan menjadikan agama dan hukum-hukumnya sebagai tawanan serta merantai sunnat dan syariat. Dalam kondisi ini sudah jelas bahwa shalat, puasa, dan haji  tidak mempunyai kekuatan dalam amr bil-makrûf dan nahî minal munkar;  sebab pengaruh positif yang diprediksikan untuk hukum-hukum Ilahi tertuju pada keberadaan obyektifnya, bukan hanya sebagai konsepsi subyektif; apatah lagi dengan hanya keberadaan lafazh dan tulisannya.[RS]

Komentari Artikel Ini

comments

https://pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js
%d blogger menyukai ini: