Prinsip-Prinsip Universal di antara Para Nabi (2)
Ketidakterpisahan Manusia dengan Kenabian
Salah satu kelaziman konsep kenabian secara umum (nubuwwah ‘ammah) ialah tak satu pun dari manusia yang tanpa disertai dengan petunjuk-pentunjuk gaib. Tuhan tak akan mungkin membiarkan sebuah bangsa tanpa keberadaan seseorang pemberi petunjuk, oleh karena Tuhan adalah pengatur dan murabbi manusia. Apalagi manusia ibarat seorang musafir yang telah melewati alam sebelumnya dan akan berjalan menuju alam selanjutnya. Manusia tanpa adanya petunjuk wahyu, takkan tahu dari alam manakah ia datang dan ke alam mana ia akan menuju selanjutnya. Masyarakat manusia dengan segala kemajuan teknologi dan pengetahuan, tak memiliki informasi yang sempurna tentang sebagian besar dari karekteristik badan dan tubuhnya.
Alam semesta dipenuhi dengan rahasia-rahasia dimana manusia sendiri tak menemukan jalan keluar ketika menemukan fenomena-fenomena tersebut. Jadi aturan-aturan yang akan menjamin kebahagiaannya dan yang akan memberikan petunjuk padanya, seharusnya adalah aturan-aturan gaib. Maksudnya aturan-aturan yang berasal dari Tuhan yang menciptakan seluruh alam semesta dimana seluruh kunci-kunci rahasia alam semesta ada pada-Nya. Aturan-aturan gaib tersebut memperhatikan segala maslahat yang ada pada manusia, baik maslahat yang berkenaan dengan kepentingan individu, maupun maslahat yang berkenaan dengan kepentingan sosial, dan bahkan memperhatikan juga maslahat bagi alam tabiat dan lingkungan. Oleh karenanya, tak satu pun manusia tanpa disertai dengan keberadaan seorang nabi dan pemberi petunjuk. Dalam surah Fathir : 24, Allah SWT berfirman, “Dan tidak ada suatu umat pun melainkan telah ada padanya seorang pemberi peringatan.” Tidak mungkin ada sekelompok dari umat manusia yang hidup pada tempat tertentu namun Tuhan tidak mengirimkan petunjuk kepada mereka. Dalam surah Al-Bayyinah : 1, Allah SWT berfirman, “Orang-orang kafir dari golongan ahli kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan) bahwa mereka (tidak akan meninggalkan (agama mereka) sebelum bukti yang nyata datang kepada mereka.”
Tuhan tidak pernah memisahkan manusia dari kenabian secara umum (nubuwwah ‘ammah), baik itu manusia dalam golongan yang bertauhid maupun yang tidak bertauhid. Pada prinsipnya, kenabian tak pernah terpisahkan dari kemanusiaan. Tak akan mungkin dalam satu masa atau generasi, pada salah satu bagian dari bumi ini, terdapat satu kelompok manusia namun tak ada kenabian bagi mereka, sebagaimana tidak mungkin Tuhan menciptakan hewan dalam samudera lautan namun Tuhan tidak menciptakan air, atau Tuhan menciptakan manusia namun tidak menciptakan udara. Begitu juga tak mungkin menciptakan masyarakat manusia, namun tak menciptakan wahyu karena masyarakat tanpa wahyu tak kan memiliki kehidupan insaniyah.
Tak mungkin memisahkan manusia dengan kenabian, baik itu dalam pengertian kehadiran seorang nabi secara langsung dalam sebuah komunitas masyarakat tertentu, atau diwakili oleh wakilnya, atau kitab dan ajaran-ajarannya dalam konteks risalahnya. Oleh karenanya, dengan memperhatikan rububiyah Ilahi secara mutlak dan kebijaksanaan Ilahi, tak bisa diasumsikan terdapat komunitas masyarakat manusia tanpa disertai dengan kenabian. Kenabian tak mungkin dipisahkan dari manusia selama kitab Ilahi belum ada di tengah-tengah manusia secara nyata. Segala yang dipaparkan pada pembahasan sebelumnya, menjelaskan tentang konsep kenabian secara umum (nubuwwah ‘ammah) dimana akal dan wahyu membenarkan hal tersebut.
Apakah di Barat Hadir Seorang Nabi?
Mengapa seluruh nabi diturunkan di wilayah asia? Mengapa tak satu pun nabi yang hadir di Barat? Dalam menjawab pertanyaan ini kita bisa mengatakan, mungkin saja pada bagian tertentu pada tempat tersebut tak ada komunitas manusia, atau jika diasumsikan pada tempat tersebut ada komunitas manusia, kita tak memiliki dalil untuk mengatakan bahwa pada tempat tersebut Tuhan tidak mengirimkan seorang nabi karena dalam hadis telah dijelaskan jumlah nabi namun Quran hanya menyebutkan sebagian dari mereka saja sebagai nabi yang wajib diketahui. Allah SWT dalam surah Al-Ghafir (Al-Mukmin) : 78 berfirman, ‘. . . di antara mereka ada yang Kami ceritakan kepadamu dan di antara mereka ada (pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu.”
Sangat dimungkinkan jika di Barat diutus para nabi, namun Quran tidak mengisahkan mereka. Namun rahasia mengapa Quran tidak menyebutkan kisah mereka? Jawabnya karena kitab dan karya serta hasil tabligh mereka yang indah tak dikenal oleh belahan dunia lainnya seperti belahan dunia yang ada di Timur. Berdasarkan hal ini, kita tak bisa mengatakan kepada orang-orang Hijaz dan seluruh orang-orang yang ada di Timur Tengah, lihatlah karya-karya mereka dan ambillah pelajaran dari mereka. Jika tak ada nabi sebagai nabi ulul ‘azmi yang diutus di Barat, mungkin saja dikarenakan pada waktu itu, jumlah manusia pada masyarakat tersebut tidak begitu banyak. Jadi mungkin saja di Barat diutus para nabi namun rahasia mengapa kita tidak mengetahui mereka, dikarenakan masyarakat yang ada di wilayah timur tidak mendapatkan informasi historis mereka dan juga jarak antara belahan dunia pada wilayah barat dan timur yang tak bisa ditempuh dengan mudah pada saat itu.
Kesesuaian dan Keidentikan antara Imam dan Umat
Sebelumnya telah dijelaskan bahwa para nabi bukan dari golongan malaikat namun dari golongan manusia itu sendiri. Allah SWT dalam surah An-Nahl : 43 berfirman, “Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang-orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” Sebagian mengatakan bahwa seorang nabi mesti dari golongan malaikat, namun Allah SWT dalam surah Al-An’am : 9 berfirman, “Dan kalau Kami jadikan rasul itu (dari) malaikat, tentulah Kami jadikan ia berupa seorang laki-laki dan (jika Kami jadikan ia berupa laki-laki), Kami pun akan jadikan mereka tetap ragu sebagaimana kini mereka ragu.”
Meskipun dari golongan malaikat yang diutus untuk membawa risalah, tetap saja mesti dalam bentuk manusia sehingga manusia dapat melihatnya, bisa bercakap-cakap dengannya, dan menjadikannya sebagai suri tauladan. Karena antara nabi dan umat mesti ada keindentikan dan kesesuaian. Umat dan imam keduanya mesti dari golongan manusia sehingga seorang nabi dapat menyampaikan risalahnya dengan baik. Jika bukan dari golongan manusia, maka manusia tidak dapat melihatnya, tidak dapat mendengarnya, dan tentu tidak dapat dijadikan sebagai suri tauladan. Oleh karenanya Allah SWT berfirman, dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki.
Risalah berkenaan dengan aspek pelaksanaan dan seorang nabi mesti dapat bersentuhan langsung dengan masyarakat. Perempuan tidak memiliki kekuatan tubuh yang cukup sehingga dapat berinteraksi dengan seluruh komponen masyarakat. Demikian pula halnya seorang perempuan tidak bisa menjadi pemimpin masyarakat, baik itu dalam kondisi perang atau tidak, dan juga dengan persoalan-persoalan sosial lainnya. Seorang laki-lakilah yang mampu memikul tanggung jawab ini, namun persoalan ini sebagaimana yang telah diungkapkan sebelumnya, tidak berkaitan dengan maqam-maqam insaniah. Karena yang berkaitan dengan maqam insaniah adalah maqam wilayah Ilahi dimana maqam ini dapat diraih oleh siapa saja, baik itu pria maupun wanita. Aspek pelaksanaan ini hanya dikhususkan bagi kalangan laki-laki saja dimana aspek pelaksanaan ini berkaitan dengan aspek tubuh badan, psikologis, dan kondisi sosial masyarakat.