Pandangan Dunia

Prinsip-Prinsip Universal di antara Para Nabi (5)

Risalah (7) Vol. 3

Prinsip Kelima; Tarbiyah Alim Rabbani dan Murabbi Ilahi

Tugas para nabi bukan hanya berupaya agar manusia tidak mengikuti hawa nafsunya, namun juga mengajak untuk menyembah Tuhan. Para nabi berkata kepada kita, jadilah kalian manusia rabbani bagi masyarakat kalian dan pengajar bagi orang-orang yang tak mampu kami jangkau sehingga masyarakat tertolong dari kefakiran pemikiran. Dalam Quran (3 : 79) Allah SWT berfirman, “Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya al-Kitab, hikmah, dan kenabian, lalu ia berkata kepada manusia, “Hendaklah kamu menjadi hamba-hambaku, bukan hamba Allah.” Akan tetapi (sewajarnya ia berkata), “Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, sebagaimana kamu selalu mengajarkan al-Kitab dan mempelajarinya?”

Kerja para Nabi bukan hanya mendidik seorang murid, namun juga mendidik seorang pengajar (mu’allim). Mereka berkata kepada kita, capailah hingga ke jenjang yang lebih tinggi dalam meraih ilmu dan selanjutnya ajarkanlah kepada mereka. Jadilah murid sekaligus sebagai pengajar. Tirulah para Nabi baik dalam belajar maupun dalam mengajar. Perbedaan anda dengan nabi yaitu para nabi belajar kepada Tuhan tanpa perantara, dan anda belajar ilmu-ilmu Ilahiyah melalui perantara nabi. Namun persoalan mengenai kesucian tetap pada tempatnya.

Karekteristik Para Alim Rabbani

Alim rabbani adalah mereka yang mampu berfungsi sebagai pemimpin dan sebagai pemberi hidayah yang baik bagi masyarakat serta memiliki hubungan yang kuat dengan Ilahi.

Tuhan berkata, para nabi datang agar mereka berkata kepada murid-muridnya, jadilah kalian orang alim dan pengajar rabbani. Ajarkanlah ilmu-ilmu Ilahi kepada mereka yang tak mampu sampai kepada tempat-tempat pusat pengetahuan. Para nabi datang bukan hanya mendidik murid-murid dengan mengajarkan kitab dan hikmah, bahkan mereka juga datang guna mendidik para pengajar.

Untuk menjadi alim rabbani, manusia mesti berusaha keras mengikuti sirah pada nabi. Mereka yang menjadi murid-murid para nabi, jangan hanya berpikir agar dirinya selamat dari api neraka. Namun juga berusaha agar mampu memberi hidayah kepada orang lain.

Prinsip Keenam; Mendahulukan Ilahiyah daripada Aspek Materi

Tak satupun nabi yang berhak mendahulukan aspek materi daripada aspek Ilahiyah. Prinsip ini berkaitan dengan kenabian secara umum, bukan kenabian secara khusus. Dalam Quran (8 : 67) Allah SWT berfirman, “Tidak patut bagi seorang nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki harta benda duniawi (dengan menangkap tawanan yang banyak dan menerima harta tebusan untuk setiap kepala tawanan itu), sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”

Dalam kasus peperangan tertentu, ketika kaum muslimin menangkap tawanan, sebagian dari mereka mengusulkan bahwa daripada membunuh tawanan, lebih baik meminta tebusan berupa uang dari mereka sehingga kebutuhan materi kita dapat terpenuhi. Namun Tuhan berfirman, tak ada satu pun nabi yang diperkenankan untuk mendapatkan keuntungan materi dari para tawanan sebelum ditegakkannya sistem Ilahiah. Jangan sampai melalui hal tersebut justru akan menyebarkan polusi kemusyrikan di tengah-tengah masyarakat. Namun jika sistem Ilahiyah sudah tegak dan pada saat itu terjadi suatu peperangan dan menawan sebagian dari mereka, hal yang bisa dilakukan pada saat itu ialah apakah membebaskan mereka atau meminta fidyah atas kebebasannya. Dalam Quran (47 : 4) Allah SWT berfirman, “Sehingga apabila kamu telah mengalahkan mereka, maka tawanlah mereka dan sesudah itu kamu boleh membebaskan mereka atau menerima tebusan.” Oleh karena tindakan ini dilakukan setelah mensucikan masyarakat dari polusi kemusyrikan, maka tidak akan berbahaya.

Prinsip Ketujuh; Gerakan anti Kejahilan dan Taklid Buta

Sebagaimana dipahami bersama, inti dari ajaran para nabi ialah mengajarkan kitab dan hikmah serta memahamkan kepada umat mengenai ma’arif yang berkenaan dengannya. Hal pertama dan sangat penting sebelum melakukan hal tersebut ialah menghilangkan kejahilan dan taklid buta. Berdasarkan hal ini, para nabi berusaha meruntuhkan akar kejahilan dan akar taklid buta yang tumbuh subur di masyarakat terlebih dahulu, sehingga dalam proses selanjutnya mampu mendidik manusia-manusia yang unggul. Jika manusia tidak mampu sampai pada jenjang yang lebih tinggi, setidaknya ia mampu menjadi muqallid yang penuh dengan kesadaran. Menjadi seorang yang sebelum bertaklid meneliti terlebih dahulu, bukan sekedar muqallid.

Tak Boleh Taklid pada Nenek Moyang

Quran menjelaskan pada kita bahwa salah satu tradisi para nabi yakni berusaha keras agar  penyembah berhala kembali pada jalan yang benar. Dalam sebuah dialog dengan mereka, para penyembah berhala selalu mengatakan, berhala merupakan peninggalan dari nenek moyang kami sehingga kami mesti menjaganya. Nabi berkata kepada mereka, jika nenek moyang kalian melakukan suatu tindakan yang tidak masuk akal dan tanpa arahan hidayah, tak seharusnya kalian mengikuti cara nenek moyang kalian. Karena akal dan hidayahlah yang semestinya menjadi penuntun.

Para nabi senantiasa mengajak manusia kepada akal dan wahyu. Nabi selalu mengatakan kepada kita, seyogyanya setiap perkataan itu, apakah diverifikasi dengan akal atau diverifikasi dengan teks-teks suci.

Dalam Quran (2 : 170) Allah SWT berfirman, “Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Ikutilah apa yang telah diturunkan oleh Allah”, mereka menjawab, “(Tidak)! Tetapi, kami hanya mengikuti apa yang telah kami temukan dari (perbuatan-perbuatan) nenek moyang kami.” (Apakah mereka akan mengikuti juga) meskipun nenek moyang mereka itu tidak memahami suatu apa pun dan tidak mendapat petunjuk?” Oleh karena itu, tradisi yang mesti dipertahankan adalah tradisi yang masih sejalan dengan kebenaran, wahyu, dan akal. Tidak setiap warisan tradisi memiliki nilai kebenaran sehingga mengharuskan kita menjaga keberlangsungannya.

Dalam Quran (5 : 104) Allah SWT mencela orang-orang yang bertaklid kepada kebatilan, “Apabila dikatakan kepada mereka, “Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul.” Mereka menjawab, “Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati nenek moyang kami mengerjakannya.” Dan apakah mereka akan mengikuti juga nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk?”

Firman Tuhan tersebut menunjukkan bahwa dalam mengikuti persoalan-persoalan dan gagasan-gagasan teoritis, mesti mengikutinya dengan pondasi pengetahuan. Begitu pula dengan persoalan yang berkaitan dengan aspek praktek, mesti mengikutinya dalam naungan hidayah Ilahi. Sesuatu yang bertentangan dengan wahyu dan akal adalah sesuatu yang batil. Dan sunnah batil hanya akan mengantarkan manusia kepada azab.

Demikian halnya Quran (7 : 28) menjelaskan sisi negatif dari orang-orang yang bertaklid kepada kebatilan, “Dan apabila mereka melakukan perbuatan keji, mereka berkata, “Kami mendapati nenek moyang kami mengerjakan yang demikian itu, dan Allah menyuruh kami mengerjakannya.” Katakanlah, “Sesungguhnya Allah tidak menyuruh (mengerjakan) perbuatan yang keji. Mengapa kamu mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.”

Jika kita sandingkan kedua ayat tersebut, maka akan terlihat keambiguan perkataan mereka. Karena satu sisi mereka mengatakan bahwa tradisi nenek moyang mesti terjaga, kemudian di sisi lain mereka mengatakan, tuhanlah yang memerintahkan kami  menyembah berhala. Dasar dari kesalahan mereka disebabkan mereka tak memisahkan antara perkara takwini dengan perkara tasyri’i dan bahkan mencampuradukkan di antara keduanya.

Quran (31 : 21) menjelaskan, “Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Ikutilah apa yang diturunkan Allah.” Mereka menjawab, “(Tidak), kami (hanya) mengikuti apa yang kami dapati nenek moyang kami mengerjakannya.” Dan apakah mereka (masih akan mengikuti nenek moyang mereka) walaupun setan itu menyeru mereka ke dalam siksa api (neraka) yang menyala-nyala?

Perkataan yang tidak sesuai dengan wahyu dan akal ialah perkataan setan. Dan akhir dari perkataan setan ini hanya azab semata. Di tempat yang lain Quran (43 : 20-24) menjelaskan, “Dan mereka berkata, “Jika Allah Yang Maha Pemurah menghendaki, tentulah kami tidak menyembah mereka (malaikat).” Mereka tidak mempunyai pengetahuan sedikit pun tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga belaka. / Atau adakah Kami memberikan sebuah kitab kepada mereka sebelum Al-Quran lalu mereka berpegang dengan kitab itu? / Bahkan mereka berkata, “Sesungguhnya kami mendapati nenek moyang kami menganut suatu agama, dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak mereka.” / Dan demikianlah, Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang pemberi peringatan pun dalam suatu negeri, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata, “Sesungguhnya kami mendapati nenek moyang kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak mereka.” / (Rasul itu) berkata, “Apakah (kamu akan mengikutinya juga) sekalipun aku telah membawa untukmu (agama) yang lebih (nyata) memberi petunjuk daripada apa yang kamu dapati nenek moyangmu menganutnya?” Mereka menjawab, “Sesungguhnya kami mengingkari agama yang kamu diutus untuk menyampaikannya.”

Komentari Artikel Ini

comments

https://pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js
%d blogger menyukai ini: