Salah satu pesan dalam perjalanan pelaksanaan ibadah haji adalah meneladani cintanya Ibrahim as kepada Allah SWT. Bagaimana beliau mencari keyakinannya akan adanya Tuhan. Dengan beraninya Ibrahim as menantang Raja Namrud dengan logikanya menjelaskan bahwa Tuhan itu satu. Dengan menghancurkan patung-patung. “Apakah kamu yang melakukan perbuatan itu terhadap tuhan-tuhan kami hai Ibrahim?” Ibrahim as menjawab “Tidak, bukan aku. Melainkan berhala besar ini yang telah melakukannya, maka bertanyalah kamu kepadanya jika berhala-berhala itu dapat bicara.” Dengan mukjizat yang Allah berikan ketika akan dibakar Allah berfirman, “Hai api menjadi dinginlah, dan menjadi keselamatanlah bagi Ibrahim.” (QS. Al-Anbiyah : 69) Ibrahim seorang rasul yang patut diteladani.
` “Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya, ketika mereka berkata kepada kaum mereka, Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari kekafiranmu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja.” (QS. Al-Muntahana : 4)
Perjalanan hidup Nabi Ibrahim as dijadikan syariat untuk umat Islam dalam melaksanakan ibadah haji. Melaksanakan ibadah haji mengenang kembali, menapak tilasih perjalanan Nabi Ibrahim as. Dalam perjalanan Nabi Ibrahim as tercermin bagaimana kecintaannya kepada Allah SWT yang dilakukannya untuk meninggalkan istrinya Siti Hajar dan putranya Ismail as ditengah gurun pasir yang tandus. Begitu putranya Ismail as berusia remaja, Nabi Ibrahim as, lewat mimpi diperintahkan untuk menyembelih putranya.Darah suri teladan Ibrahim as telah mengalir pada Ismail as, ketika ditawarkan perintah Allas SWT, Ismail as menjawab, “Hai ayahku, kerjakanlah apa yang telah diperintahkan kepadamu, Insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” (QS. Ash-Shaffat : 102)
Dengan kecintaannya kepada Allah beliau rela mengorbankan putranya Ismail as. Atas kecintaannya yang dibuktikan dengan melaksanakan perintah Allah menyembelih putranya.Tampak nyata bagaimana kepatuhan Ibrahim as dalam melaksanakan perintah Allah SWT.
Mengukur Kecintaan Kepada Allah
Ahmad bin Hambal membagi cinta menjadi 3 bagian. Pertama, cinta karena pemberian. Seorang istri apabila suaminya selalu memberikan nafkah bulanan lebih dari cukup, maka akan senang dan akan berkata, “aku mencitaimu.” Tetapi apabila bulanannya telat apalagi berkurang “tidak ada kata cinta diucapkan.”
` Jika melaksanakan ibadah haji karena cinta kepada Allah, tetapi ada keingingan hendak mendapat gelar haji di depan nama, atau dengan panggilan Pak Haji, cintanya kepada Allah masih materi. Ketika tidak mendapatkan kata haji di depan nama atau tidak dipanggil Pak Haji, maka hilanglah cintanya kepada Allah.
Cinta seperti ini cinta materialistik, karena ada pemberian. Bila suatu saat Allah mengambil kekayaannya, Allah hilangkan kecerdasannya, Allah cabut kesehatannya, jabatan tingginya diturunkan, maka dia akan berkeluh kesah seolah-olah Allah tidak mencintainya.
Nabi Ibrahim as ketika putranya Ismali as diambil oleh Allah dengan cara disembelih beliau rela melakukannya, demi cintanya kepada Allah.
Kedua, cinta karena kehebatan. Seorang yang melaksanakan ibadah haji karena ingin memperoleh keluarbiasaan yang Allah tampakkan, untuk diceritakan kepada orang lain. Sehingga orang lain menyanjungnya dengan kabar yang ia bawa “bahwa Allah benar-benar Maha kuasa.” Ketika Allah tidak menampakkan kekuasaan-Nya, dia tidak akan cinta lagi kepada Allah.
Ketika Siti Hajar belum juga hamil, sementara Ibrahim as sudah tua, beliau bersabar dan yakin akan Maha kuasa-Nya. Ketika Sarah belum juga hamil sementara usia Ibrahim as sudah tua, kecintaan Nabi Ibrahim as kepada Allah tidak luntur, beliau tetap sabar.
Ketiga, cinta hakiki adalah cinta yang tidak bisa diterangkan sebab dan apa alasannya. Inilah cintanya Nabi Ibrahim as. Kecintaan yang diwujudkan dalam pengabdian total untuk Allah. Cinta yang didefinisikan kesediaan untuk memberi tanpa meminta. Tidak karena surga atau takut neraka.
Semakin tinggi permintaan dari Sang Kekasih maka dia akan semakin senang menjalankannya. Nabi Ibrahim as ketika diminta untuk meninggalkan istrinya, kemudian menyembelih anaknya, beliau laksanakan permintaan Allah tersebut dengan baik.
Ketika seorang pemuda diminta dibuatkan satu makalah (Oleh sang kekasih/pacar), maka dia akan senang melaksanakannya, karena kecintaan pada kekasihnya dan berkata “jangankan satu makalah, seratus makalah pun akan aku kerjakan.”
Ketika kita mencintai Allah, dan diperintahkan shalat lima kali, maka kita harus berkata, “jangankan lima kali, seratus kali pun akan aku kerjakan.”
Kecintaan ditunjukkan dengan tanda-tanda. Pertama, ingin memberikan yang terbaik kepada Allah. Dalam melaksanakan haji kita harus berkorban harta dan bahkan ada yang sampai menjual sawah dan tanah, kenapa? Karena cintanya kepada Allah maka dia ingin memberikan yang terbaik (dari kepunyaannya). Dalam memotong hewan kurban tidak boleh yang cacat, ingin sehat dan gemuk, diambilnya sebagian dan sebagian besar diberikan kepada orang-orang miskin. Kenapa hal ini dilakukan? Karena cintanya kepada Allah. “Dan ketahuilah bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah cobaan.” (QS. Al-Anfal : 28).
Tanda cinta kedua, ingin bertemu dengan-Nya di mana saja dan kapan saja sehingga hilanglah rasa takut (dari dalam dirinya). Meninggalkan keluarga yang dicintai dan sanak saudara, melepaskan jabatan, melupakan harta kekayaan yang ditumpuk digudang dan disimpan di bank. Karena ingin berjumpa dengan Allah SWT sampai maut menjemput pun rela dan ikhlas, apalagi dalam melaksanakan ibadah haji – tidak kembali ke kampung halaman – itulah yang diharapkan.
Tanda cinta ketiga, selalu ingat. Dalam haji, dia akan selalu berzikir mengingat Allah dengan bacaan talbiyah : labbaik allahumma labbaik … labbaika laa syarika laka labbaik. Innal hamda wanni’mata laka walmulka laa syarika laka labbaik….
Tidak hanya waktu berhaji saja, kapanpun dan di mana pun dia harus selalu ingat kepada Allah.
Dan mencintai segala sesuatu ciptaan Allah. Semua ciptaan Allah dicintainya, dijaganya, memakmurkan rumah Allah (masjid), Al-Quran tidak dijadikan hiasan, “Jika ingin Allah berbicara kepada kita bacalah Al-Quran,” Sehingga Allah memberikan hikmah padanya.
Dalam perjalanan kehidupan Ibrahim as, dapat diketahui bagaimana kecintaan beliau kepada Allah SWT mulai kerinduannya menemukan siapa Tuhan yang mesti disembahnya, pengorbanannya, ketaatannya, sampai beliau wafat.
Haji adalah cermin kecintaan seorang makhluk kepada Sang Khaliq. Bisakah kita buktikan cinta kita kepada Allah dengan memberikan sebagian harta kita kepada orang-orang miskin. Tuluskah kita memberikan bantuan kepada orang lain tanpa embel-embel. Relakah kita memotong gaji atau simpanan uang kita di bank untuk kepentingan sosial, membangun rumah Allah “Masjid”.
Tidak inginkah kita berjumpa dengan Allah, dengan kesiapan menghadapi kematian. Siapkah jika kematian menjemput kita atau kita menjemput kematian “Jihad”, mengorbankan jiwa raga demi Islam.
Apakah bibir kita selalu berzikir menyebut-nyebut nama-Nya.Berapa banyak jumlah ayat Al-Quran yang telah kita baca dalam sehari. Sejauh mana kita menjaga milik Allah. Menjaga lingkungan dari kerusakan. Menyanyangi makhluk-makhluk ciptaan Allah.
Dengan kecintaan kepada Allah dan meneladani kecintaan Nabi Ibrahim as kita wujudkan dalam keseharian. Nabi Ibrahim as berdoa, “Ya Tuhanku, jadikanlan negeri ini aman sentosa, dan berikanlah rezeki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman di antara mereka kepada Allah dan hari kemudian.”
Seberapa jauhkah kecintaan kita kepada Allah, kita bisa ukur dengan mencontoh kecintaan Ibrahim as kepada Allah dengan mengambil hikmah dan hakikat dari sejarah Nabi Ibrahim as.
Mencintai Orang-Orang Miskin
Memotong hewan kurban adalah hakikat dari ketaatan pada perintah Allah, yang dicontohkan Nabi Ibrahim as dengan menyembelih Ismail as putranya, dengan sifat akhlaki : kedermawanan, untuk menghilangkan kekikiran, mengikis habis sifat keserakahan, menumbuhkan sifat kasih-sayang pada kaum fuqara, membantu kaum yang lemah dan mencintai orang-orang miskin.
“Makanlah (domba itu) dan berikanlah kepada orang-orang yang meminta-minta dan yang membutuhkan.” (QS. Al-Hajj : 36)
“Makanlah (domba itu) dan berikan pula kepada orang-orang miskin yang malang.” (QS. Al-Hajj : 28)
Segala sesuatu ada kuncinya, dan kunci surga ialah mencintai orang-orang miskin. Rasulullah SAW bersabda, “Kelak di hari akhirat, ketika penduduk neraka ditanya penghuni surga, mengapa mereka masuk neraka, mereka menjawab, “Dahulu kami tidak melakukan shalat dan tidak memberi makan orang miskin.”
Sufyan berkata, “Ali bin Husain hendak pergi menunaikan haji. Saudara perempuannya, Sukainah bin Husain, mempersiapkan bekal untuknya senilai seribu dirham. Ketika beliau berada di tengah-tengah daerah bebatuan yang panas, Sukainah mengirimkan bekal itu kepada beliau, namun beliau malah membagikannya kepada orang-orang miskin. “(Kasyful Ghummah, jus.2, hal.290)
Lautan samudra yang luas,
Hamparan tanah yang terbentang,
Gunung tinggi menjulang,
Hutan belantara dan semak belukar,
Lembah curam menganga,
Pulau dan negeri yang menjadi jauh jaraknya,
Demi cinta pada-Mu,
Demi rinduku pada—MU,
Hamba datang menyambut seruan Ibrahim,
Labbaik Allahumma Labbaik..
(Sumber : Majalah Syiar-Iman Wahyudin)