Manusia bukan makhluk ‘ala kadarnya’. Bukan pula ‘bersahaja’ atau ‘wajar-wajar saja’. Manusia serupa itu hanya ada di dongengan orang. ‘Manusia nyata’ tidak pernah mencari dan mencari sesuatu yang belum didapatnya. Begitulah rencana (‘isyq) fitrah manusia pada kesempurnaan, yang membaluti wujudnya sejak azali dan abadi. Segala rupa ajaran, falsafah, adat-istiadat, lembaga…takkan mampu menahan gelombang rencana tadi.
Satu dari sekian kersempurnaan adalah kekuasaan. Kapanpun dan dimanapun, manusia akan banting-tulang agar bisa berkuasa. Sebaliknya, mati-matian ia akan menghindari kelemahan dan kekalahan. Meskipun, sifat-sifat itu punya ragam yang berbeda-beda : jasmani, nafsani, dan rohani.
Sebagai agama fitrah, sudah selayaknya Islam menganjurkan para pemeluknya supaya memperoleh bagian dari kesempurnaan yang bernama kekuasaan itu. Dalam story of civilizations, Will Durant menegaskan bahwa tak satupun agama yang mendorong para pengikutnya kepada kekuatan dan kekuasaan, kecuali Islam. Banyak ayat Al-Quran yang menegaskan hal tersebut.
Namun demikian, kaca mata Islam berbeda dengan kaca mata orang semacam Friedrich Nietzche. Islam melihat kekuasaan semata-mata sebagai kesempurnaan yang nisbi (relative). Ibarat pisau, ia bermata dua: Bagus untuk menyembelih kambing milik sendiri, jelek untuk menyembelih kambing orang lain. Implikasinya, baik buruk kekuasaan itu harus dilihat dari sudut pandang tujuan dan cara penggunaannya. Bila mana untuk menegakkan keadilan, jelas baik adanya. Sebaliknya pun begitu. Dengan demikian, kekuasaan bukanlah nilai yang bebas, mandiri, jimbit (detached), dan terlepas dari nilai-nilai (kesempurnaan) yang lain.
Dititik inilah etika berperan. Etika berperan menjelaskan baik-buruk sesuatu. Perkara dari mana kriterianya, tidak akan kita bahas di sini. Tetapi intinya, kriteria baik-buruk dan etis-tidak sesuatu mesti tidak berputar-putar (circular reasoning) pada wujud manusia itu sendiri. Ia mesti datang dari realitas di atas manusia. Dalam novel The Brothers Karamazov, Fyodor Dostoevsky pernah menyatakan bahwa sekiranya tidak ada iman kepada Tuhan, niscaya semua perbuatan akan boleh dilakukan. Baginya, agama adalah satu-satunya timbangan yang menerangkan pada manusia perbuatan mana yang harus dilakukan dan mana yang harus dikerjakan.
Baik-buruk dari pola memperoleh dan menggunakan kekuasaan secara khusus dibicarakan oleh ilmu siyasah (pengaturan kekuasaan) atau politics (politik). Jelas. Politik di sini dalam batasannya yang asli. Kira-kira di masa pertama kali istilah itu diujarkan (zaman Yunani) tidak pernah ia terpisah dari etika. Ibarat dua sisi mata uang. Di akhir zaman ini, barulah politik jauh melenceng dari etika. Bisa diduga sebab-musababnya.
Dalam The Republic, Plato jelas-jelas mengaitkan politik (pengaturan kekuasaan) dengan etika. Begitu pula dengan muridnya Aristoteles. Boleh jadi, dari kedua pemikir terkemuka ini terbetik istilah ‘etika politik’. Etika politik merumuskan pentingnya mengelolah kekuasaan lewat sebuah pemerintahan (government). Sementara, pemerintahan perlu aturan (rules of conduct) – belakangan diistilahkan dengan konstitusi (consititution), kedaluatan (sovereignty), pengesahan (legitimacy), peradilan (jurisdiction), dan penegakan hukum (law enforcement) sebagai tonggak-tonggaknya.
Semua kelompok masyarakat – mulai dari keluarga sampai suku – pasti memiliki aturan untuk mengurus perkara anggota-anggotanya. Misalnya, ada keluarga yang menetapkan aturan agar setiap anggota sudah di rumah pada H minus dua menjelang lebaran. Aturan seperti ini bisa jadi agar keluarga tersebut tidak putus hubungan dan untuk memperkuat tali silaturahmi. Kemudian, diperlukan kedaulatan dan otoritas untuk menegakkan aturan di seluruh daerah kekuasaannya. Di sini kekuasaan lagi-lagi menemukan jatidirinya yang sempurna. Ada begitu banyak sumber kedaulatan. Antara lain : kekuatan fisik; kekuatan mistis (monarki); kepandaian; senjata; dan khalayak ramai (demokrasi). Juga hukum-hukum Ilahi.
Tanpa pengesahan atau legitimasi, kedaulatan tidak akan cukup. Legitimasi berkaitan dengan penerimaan khalayak terhadap ketetapan-ketetapan yang ada dalam suatu masyarakat. Dan itu bergantung pada pemasyarakatan atau sosialisasi. Bila sosialisasi dan pendidikan masyarakat berjalan lancar, Khalayak akan sepenuh hati menerima segala ketetapan sosial yang berlaku. Termasuk, terhadap simbol-simbol negara seperti bendera, lagu nasional, parlemen, dan sebagainya.
Setelah ada legitimasi, tidak boleh ada yang seenaknya melanggar aturan. Nah, dibuatlah yurisdiksi. Yurisdiksi memberi wewenang kepada aparat penegak hukum untuk menindak pelanggar. Sebab, kalau tidak ditindak, orang akan mempermainkan aturan. Kalau aturan jadi mainan, masyarakat juga yang akan berantakan. Segera setelah itu, sebuah pemerintahan akan membubarkan diri. Namun, ironisnya, yurisdiksi acap kali kebablasan. Di satu ekstrem, ia jadi totalitarian: menuntut ketundukan mutlak dari segenap warga masyarakat kepada penguasa, tanpa ada hak-hak individual. Di ekstrem lain, ia jadi anarkis: mencampakkan aturan. Di antara keduanya, ada jalan tengah: pluralisme yang meyakini pentingnya penegakan hukum, pengawasan (checks and balances), sekaligus juga ruang yang luas bagi hak-hak individual.
Dalam masyarakat modern, pemimpin biasanya dipih oleh rakyat. Sebutannya calon: calon presiden (capres), calon legialatif (caleg), calon gubernur (cagub) dan lain-lain. Untuk dapat dipilih, calon harus didukung dan dijagokan oleh kelompok terorganisasi yang lazim disebut partai politik (parpol). Mula-mula, ia akan mencari calon yang sesuai dengan keperluan dan kepentingannya. Kemudian, dicarilah dana kampanye. Tujuannya, agar calon dan program-programnya dapat diketahui oleh khalayak umum atau bakal pemilih. Bila calonnya terpilih, parpol akan ikut mengurusi negara dan pemerintahan. Bila tidak, ia melakukan pengawasan dan oposisi terhadap partai yang sedang berkuasa. Akan tetapi, sebelum semua itu, perlu diadakan pemilihan umum (pemilu). Rupa-rupa sistem pemilu ini. Bagaimanapun sistemnya harus dapat bersifat langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.
Kembali ke soal politik Islam. Tujuan politik Islam saya pikir jelas. Menegakkan keadilan! Kekuasaan ada supaya ada keadilan. Keadilan ada, supaya berkembang kemanusiaan. Kemanusiaan ada, supaya…Dan itulah mata rantai Islam. Oleh karena itu, Islam peduli sekali dengan cara, olah, pandu, dan metode berpolitik. Itu disebabkan karena tujuan menuntut cara yang benar. Tujuan yang benar mustahil dapat dicapai dengan cara-cara yang menyimpang. Jadi ada timbal balik yang positif antara tujuan dan cara. Ibnu Sina punya ungkapan menarik “Pertanyan yang benar (cara), sebagaian dari jawaban (tujuan).” Sekali lagi, Islam memandang kekuasaan sekedar sebagai anak tangga menuju yang lebih tinggi. Sebab itu, dituntut “olah-politik” yang lowung (reasonable), patut, dan sopan. Bukan ‘segala cara’ ala Niccolo Machiavelli dalam II Principe-nya itu.
Untuk ringkasnya, saya akan menerangkan olah politik ini melalui wacana-wacana Ali bin Abi Thalib, sebagaimana pernah dilakukan oleh Murtadha Muthahhari. Oleh kaum muslimin, Ali bin Abi Thalib dikenal luas sebagai penghulu kaum mukmin (amir al-mu’minin) dan khalifah, beliau juga diakui sebagai politisi-moralis yang tiada bertara, banyak wacana beliau yang menggambarkan ‘apa dan bagaimana politik islam’. termasuk tatkala berhadapan dengan musuhnya.
Satu di antaranya : “Jangan kalian beranggapan bahwa Muawiyah lebih tajam (pandangannya) dari pada aku. Tidak! Tidak begitu masalahnya! Dia suka meliciki dan menipu orang dalam berpolitik. Sementara aku tidak bisa melakukan hal demikian. Tujuan yang dimilikinya adalah tujuan jahat. Dan yang dipakainya cara yang jahat pula, walaupun dia harus menumpahkan darah, melanggar kehormatan dan kesucian, mengingkari janji, berdusta, menyebarkan desas-desus ke pelosok negeri, merampok, dan sebagainya. Yang penting baginya adalah sampai ke tujuan jahatnya. Untuk sampai ketujuan kotornya itu, (tidak segan) dia memilih cara yang kotor pula.
“Sedangkan aku bergerak atas dasar ajaran Islam yang luhur dan berperikemanusiaan. Tujuanku semata-mata untuk mengadakan perbaikan pada umat manusia dan menerangi segala bentuk kejahatan dan kebejatan. Maka, untuk sampai kepada tujuanku itu tidak mungkin aku menjalankan siasat dan politikku atas dasar kezaliman dan dusta. Sekiranya perbuatan licik, tipu muslihat, dan kemunafikan tidak dibenci oleh Tuhan, niscaya kalian akan menyaksikan betapa aku lihai melakukannya. Aku sama sekali tidak akan menggunakan cara-cara setan dalam melaksanakan perkerjaanku. Aku dan dia melangkah pada dua jalan yang berbeda, dengan tujuan yang berbeda. Jika tujuan berbeda, maka cara dan sarana yang digunakan pun tidak akan sama…”
Pernah juga, kepada salah seorang pejabat yang menyalahgunakan jabatannya, Imam Ali menulis surat sebagai berikut : “…Sungguh, sebelum ini Anda termasuk di antara orang-orang yang berpikiran sehat. Betapa kiranya Anda dapat meneguk minuman dan menelan makanan yang Anda tahu benar sebagai minuman dan makanan haram…! Betapa teganya Anda membeli sahaya dan menikahi wanita dengan harta anak yatim, kaum fakir miskin, orang-orang mukmin, serta para mujahid yang untuk mereka itulah Allah telah melimpahkan semua harta ini, dan dengan mereka pula ditundukkan-Nya negeri-negeri ini?!
“Bertakwalah kepada Allah dan kembalikan semua itu kepada mereka! Jika tidak, dan Allah memberiku kuasa atas Anda, niscaya akan kuhukum Anda dengan hukuman yang setegas-tegasnya demi memenuhi tanggung jawabku kepada Allah. Dan akan kuhantam Anda dengan pedangku yang tidak kuhantamkan pada seorang pun melainkan ia pasti masuk neraka! Demi Allah, seandainya salah seorang dari kedua putraku, Hasan dan Husein, melakukan apa yang Anda lakukan, tidak sedikit pun akan kuperingan perlakuanku terhadap mereka, dan tidak sejenak pun kubiarkan mereka selamat dari kejaranku sampai aku berhasil mengambil kembali segala yang bukan menjadi haknya dan menghapus kebatilan yang diakibatkan oleh perbuatan aniaya mereka. Aku bersumpah demi Allah, Tuhan semesta alam, sekali-kali aku takkan merasa senang sekiranya apa yang Anda ambil itu menjadi milikku, kemudian kuwariskan kepada keluarga sepeninggalku…”
Suatu kali, terdengar Oleh Imam Ali berita tentang Utsman bin Hunaif al-Anshari, walikota Basrah yang diangkatnya, menghadiri jamuan makan di rumah seorang hartawan kota. Bergegas Imam Ali menulis surat kepadanya sebagai berikut :”… Sungguh, aku tidak mengira bahwa Anda akan memenuhi undangan seperti itu. Makan di suatu tempat yang orang-orang miskinnya dilupakan, dan orang-orang kaya diundang… ketahuilah bahwa setiap makmum (pengikut) punya Imam (yang diikuti) yang dapat ia jadikan sebagai teladan dan penyuluh – dengan sinar ilmunya. Dan sesungguhnya Imam kalian telah merasa cukup dari dunia ini dengan dua pakaian buruknya dan dua kerat roti untuk makanannya. Sungguh kalian takkan sanggup berbuat seperti itu. Tetapi, bantulah aku dengan kebersihan jiwa, kesungguhan hati, kehormatan diri, dan kebenaran perilaku…
Sesaat menjelang pengangkatan Malik Asytar An-Nakha’iy menjadi Gubernur Mesir, Imam Ali memberikan sejumlah platform politik “pemerintahan Islam.” Berikut beberapa cuplikan dari pesan yang panjang itu : “… Ketahuilah hai Malik, bahwa sesungguhnya aku mengutusmu kesuatu daerah yang sebelumnya telah mengalami pergantian berbagai pemerintahan, yang adil maupun yang zalim. Dan bahwa rakyat di sana akan memandangmu sama seperti pandanganmu terhadap penguasa sebelummu, dan berbicara tentang dirimu seperti pembicaraanmu terhadap mereka…
Insafkanlah hatimu agar selalu memperlakukan semua rakyatmu dengan kasih sayang, cinta, dan kelembutan hati. Mereka sesungguhnya satu di antara dua : saudaramu dalam agama atau makhluk Tuhan seperti dirimu sendiri. Dan jangan menganggap dirimu sebagai seorang diktator yang harus ditaati segala perintahnya. Sebab, yang demikian itu penyebab kerusakan jiwa, melemahkan agama, dan hilangnya kekuasaan.
Awas! Jangan coba-coba berpacu dengan Allah dalam Keagungan-Nya, atau ingin menyerupai-Nya dalam kekuasaan-Nya. Sebab, Allah SWT akan merendahkan siapa saja yang mengagungkan dirinya dan menghinakan siapa saja yang membanggakannya. Jadikanlah kesukaanmu yang sangat pada segala sesuatu yang paling dekat dengan kebenaran, paling luas dalam keadilan, dan paling meliputi kepuasan rakyat banyak. Sebab, kemarahan rakyat banyak mampu mengalahkan kepuasan kaum elit. Adapun kemarahan kaum elit dapat diabaikan dengan adanya kepuasan rakyat banyak.
Sesungguhnya rakyat yang berasal dari elit ini adalah yang paling berat membebani wali negeri (pemimpin) dalam masa kemakmuran; paling sedikit bantuannya di masa kesulitan; paling membenci keadilan; paling sedikit tuntuntannya, namun paling sedikit rasa terima kasihnya bila diberi; paling lambat menerima alasan bila ditolak; dan paling sedikit kesabarannya bila berhadapan dengan berbagai bencana. Sesungguhnya rakyat kebanyakanlah yang menjadi tiang agama dan kekuatan kaum muslimin. Maka curahkanlah perhatianmu kepada mereka, dan arahkanlah kecenderunganmu kepada mereka.
Seburuk-buruk menterimu adalah mereka yang tadinya juga menjadi menteri orang-orang jahat yang telah berkuasa sebelummu, yang bersekutu dengan mereka dalam dosa dan pelanggaran. Maka jangan kaujadikan mereka sebagai kelompok pendampingmu. Sebab, mereka adalah pembantu-pembantu kaum durhaka dan saudara-saudara kaum yang berbuat aniaya. Dan pasti akan kaudapati orang-orang lain di antara rakyatmu yang memiliki kecerdasan dan kecekatan seperti mereka, tetapi tidak terlibat dalam kesalahan dan kecurangan sebelumnya. Yaitu orang-orang yang tidak pernah membantu seorang zalim dalam kezalimannya, ataupun seorang durhaka dalam kedurhakaannya. Mereka itulah yang lebih ringan bebannya bagimu, lebih baik bantuannya, lebih besar ketulusannya, dan lebih sulit dijinakkan oleh orang-orang selainmu.
Janganlah menyamakan kedudukan orang yang baik dengan yang jahat di sisimu. Sikap seperti itu akan melemahkan semangat orang yang baik untuk berbuat kebaikan dan akan mendorong orang jahat untuk meneruskan kejahatannya! Tetapkanlah bagi masing-masing orang apa yang mereka tetapkan bagi dirinya sendiri. Sering-seringlah berdiskusi dengan para ahli ilmu dan berbincang-bincang dengan orang-orang bijak dan piawai dalam segala hal yang dapat mendatangkan kejayaan negerimu dan menegakkan apa yang telah menyejahterahkan rakyat sebelum kedatanganmu.
Ketauhilah bahwa rakyat terdiri atas beberapa golongan dan tingkatan. Masing-masing saling melengkapi dan saling memerlukan. Di antaranya, tentang pejuang di jalan Allah, para juru tulis, baik yang berhubungan dengan rakyat biasa ataupun yang berhubungan dengan para pejabat, para penegak hukum, para pekerja di bidang kesejahteraan sosial, para petugas jizyah dan kharaj yang bertugas di kalangan ahl adz-dzimmah maupun kaum muslim, para pedagang, tukang dan karyawan. Juga mereka yang berada di tingkat terbawah, yang sangat membutuhkan bantuan dan tidak cukup penghasilannya. Mereka semua telah dirinci dan ditetapkan oleh Allah SWT bagiannya masing-masing dalam Kitab-Nya atau dalam Sunnah Nabi-Nya SAW., sebagai janji yang diamanatkan-Nya kepada kita.
Besarkanlah harapan-harapan rakyatmu, ucapkanlah selalu penghargaanmu terhadap mereka atas hasil-hasil yang telah dicapai oleh orang-orang yang berjasa bagi negara. Hal itu akan menguatkan semangat para pahlawan dan mendorong orang-orang yang ketinggalan, Insya Allah! Pelajarilah jasa setiap orang dan jangan mengalihkan penghargaanmu bagi mereka kepada orang lain. Jangan pula memberi mereka imbalan kurang dari yang patut diterimanya.
Perhatikan para pegawaimu; jangan mempercayakan sebuah jabatan sebelum mereka kau uji. Jangan mengangkat mereka karena ingin mengambil hati mereka ataupun demi kepentingan dirimu semata-mata. Sebab yang demikian itu adalah sumber kezaliman dan pengkhianatan. Berilah mereka itu kecukupan dalam pendapatannya, agar mereka mampu memperbaiki dirinya dan tidak terdorong untuk mengambil sesuatu yang berada di bawah kekuasaannya; juga demi menghilangkan dalih bila nantinya mereka melanggar perintahmu atau menyalahgunakan kepercayaanmu.
Periksalah kerja mereka dan kirimlah pengawas-pengawas dari orang-orang yang kau ketahui ketulusan dan kesetiaannya. Pengawasanmu secara rahasia dan terus menerus atas urusan-urusan mereka akan menjadi pendorong dalam tugas mereka menjaga amanat dan memperlakukan rakyat sebaik-baiknya. Waspadailah dalam memimpin pembantu-pembantumu. Bila seseorang di antara mereka telah menjulurkan tangannya dalam pengkhianatan dan terkumpul bukti-buktinya dengan pasti berdasarkan laporan-laporan dari pengawas, cukuplah yang demikian itu bagimu saksi. Jatuhilah hukuman atas dirinya, sitalah harta yang telah diambilnya, hinakanlah ia dengan menyebutnya ia sebagai pengkhianat, dan “kalungilah” ia dengan kehinaan tuduhan.
Ingatlah Allah dan ingatlah Allah selalu dalam perlakuanmu terhadap rakyatmu yang berada di tingkat bawah. Terutama mereka yang lemah tak berdaya, kaum fakir miskin dan mereka yang dipaksa oleh kebutuhan, orang-orang yang sengsara dan penderita cacat. Termasuk dalam kelompok ini, mereka yang meminta-minta dan yang selalu mengharapkan pemberian.
Setelah anda mengikuti dengan seksama ucapan-ucapan Imam Ali atas, jangan anda kemudian berkomentar dengan ungkapan: “itukan yang ideal-ideal saja!” Karena, bila semua itu memotivasi kita dalam berpolitik, maka kita akan jauh melesat dalam peradaban yang amat agung nan maju. Semoga. (Diadaptasi dari Pengantar Buku 5 Partai dalam Timbangan karya Musa Kazhim dan Alfian Hamzah)