Berikut ini adalah lanjutan pembahasan argumentasi pertama mengenai Tauhid.
Oleh karena itu, baik wujud sebab dan juga wujud akibat, keduanya adalah wujud. Akan tetapi perbandingan yang pertama terhadap yang kedua adalah kaya dan sempurna, dan yang kedua adalah faqir dan tidak sempurna. Berdasarkan hal ini, kita akan menyimpulkan bahwa antara kefaqiran wujud dan kekurangan wujud, dan juga antara kayanya wujud dan kesempurnaan wujud, terdapat relasi kelaziman. Maksudnya, setiap wujud yang faqir dan bergantung, tentunya tidak sempurna, dan juga di sisi lain, jika wujud itu kaya dan independen, tentunya sempurna. Kemudian, kefaqiran dan kebergantungan, merupakan ciri-ciri wujud akibat, sebagaimana yang telah kami paparkan pada pembahasan sebelumnya. Oleh karena itu, kita dapat mengatakan bahwa antara kefaqiran, kekurangan, dan akibat terdapat kelaziman yang jelas, sehingga dimana saja ada kefaqiran dan kekurangan, maka pasti ada akibat.
Setelah memahami dengan baik apa yang telah kami paparkan, kami ingin mengatakan; jika kita mengasumsikan terdapat lebih dari satu wajibul wujud, maka akan melazimkan ‘dualitas’ di antaranya sehingga yang satu lebih unggul dari yang lainnya. Sebab jika tidak demikian, maka penggambaran akan dualitas adalah penggambaran yang tidak benar.
Keunggulan dua wajib yang diasumsikan, bisa digambarkan dalam dua bentuk; pertama, salah satu dari keduanya adalah kesempurnaan mutlak dan yang lainnya tidak sempurna jika dibandingkan dengan yang pertama. Kedua, salah satu dari keduanya merupakan bagian dari kesempurnaan dimana apa yang dimiliki yang lain dia tidak memilikinya. Pada bentuk yang pertama, jelas bahwa yang menempati posisi wajibul wujud secara hakiki adalah kesempurnaan mutlak, sedangkan yang lainnya adalah faqir, tidak sempurna, dan akibat (sebagaimana yang kami katakan bahwa terdapat kelaziman satu sama lain di antara ketiganya) sehingga mustahil menempati posisi wajibul wujud. Oleh karena itu, hanya ada satu wajibul wujud, dan hal ini bertentangan dengan asumsi pertama mengenai dua wajib.
Adapun bentuk yang kedua, bahwa kesalahan asumsi tersebut lebih jelas karena konsekuensi dari asumsi ini adalah kekurangan, kefaqiran, dan akibat sehingga keduanya tidak mungkin menempati posisi wajib. Karena itu tidak betul asumsi wajibul wujud pada bentuk kedua ini.
Kritik; mungkin ada yang mengatakan seperti ini, mengapa kita harus membatasi asumsi perbedaan antara dua wajib tersebut hanya pada kedua bentuk di atas, bahkan mungkin saja diasumsikan seperti ini, kedua wajibul wujud tersebut – dalam segala aspek – sempurna, kaya, dan independen. Namun perbedaan antara yang satu dengan yang lainnya disebabkan oleh faktor non-eksistensi. Dalam kata lain, kita berasumsi bahwa kedua wajibul wujud tersebut sama-sama memiliki seluruh kesempurnaan-kesempurnaan wujud, namun salah satu dari keduanya atau kedua-duanya memiliki sebuah faktor non-eksistensi yang tak dimiliki oleh yang lainnya. Oleh karena itu, asumsi dualitas terhadap kedua wajib tersebut akan melazimkan kekurangan wujud atas salah satu dari keduanya dan atau keduanya.
Jawab; jika memperhatikan pada pendahuluan pertama argumentasi ini bahwa yang menjadi wadah akan realitas eksternal adalah wujud [ishâlat al-wujud], dan sesuatu selain dari wujud di alam eksternal pada hakikatnya hanya iktibar saja [tidak hakiki], maka akan terlihat dengan jelas bahwa kritikan di atas tidak tepat. Jika kita menerima bahwa selain wujud tidak memiliki realitas hakiki, maka kita tidak dapat menilai aspek perbedaan dua wajibul wujud tersebut dengan sebuah faktor non-eksistensi.
Pokok penting; hal yang perlu ditekankan pada pembahasan ini bahwa, berdasarkan pada pembahasan di atas maka akan disimpulkan bahwa wujud wajib dari sisi derajat kesempurnaan adalah tak terbatas dan tak terhingga. Maksudnya, setiap kesempurnaan wujud yang diasumsikan pasti dimiliki oleh wajibul wujud, sebab jika tidak demikian maka dirinya adalah wujud yang tak sempurna, dan kelaziman dari wujud tak sempurna dan faqir adalah akibat, sehingga bertentangan dengan asumsi ‘kewajibul wujudan’. Oleh karena itu, tidak dapat diasumsikan adanya batasan wujud tertentu bagi wajibul wujud, maksudnya apa saja kesempurnaan-kesempurnaan yang diasumsikan pada mumkin wujud, pasti ada pada wujud wajib.
Kita dapat memanfaatkan pembahasan di atas berkenaan dengan persoalan tauhid, yaitu karena wujud wajib adalah wujud yang tak terhingga, maka tidak mungkin untuk mengasumsikan adanya wujud yang lain selain wujud tersebut dimana dirinya juga sebagaiwajibul wujud yang ‘tak terhingga’. Karena kelaziman akan terjadinya dualitas adalah adanya batasan sebagai pemisah dimana hal ini bertentangan dengan ketidakterbatasan zat wujud wajib. Oleh karena itu, jika diasumsikan wujud wajibul wujud dan ketidakterbatasan, maka jangan lagi diasumsikan adanya wujud wajib kedua dan ketidakterbatasan yang lain.
Contoh; agar pembahasan di atas nampak lebih jelas dan dipahami dengan baik, sebagai contoh, perhatikan sebuah benda yang mengisi seluruh ruang pada sebuah ruangan. Dengan asumsi ini, tidak mungkin diasumsikan adanya benda lain yang mengisi pada ruang yang sama, karena asumsi benda kedua bertentangan dengan benda pertama yang telah mengisi seluruh ruang pada ruangan tersebut.
Argumentasi Kedua (burhan tamânu‘ / argument from mutual hindering)
Dalam menjelaskan argumentasi kedua ini, kami akan menjelaskan dua mukaddimah terlebih dahulu:
Pertama; wajibul wujud secara esensi (bizzât) adalah wajibul wujud dalam seluruh aspek kesempurnaan. Maksud dari perkataan ini, jika terdapat sebuah keberadaan yang secara esensiwajibul wujud, maka dalam setiap aspek dan kondisi lainnya yang diasumsikan padanya, juga niscaya adalah wajib, dan secara esensi berasal darinya serta tidak diperoleh pada tempat yang lain.
Misalnya jika sifat-sifat dan karekteristik-karekteristik seperti ilmu, kudrah, hidup, dan sifat yang lainnya ada pada Tuhan, maka seluruh sifat-sifat ini juga niscaya wajib bagi zat Tuhan. Dalam kata lain, sebagaimana Tuhan itu secara esensi adalah wajibul wujud, maka secara esensi juga wajibul ilmu, wajibul qudrah, dan wajibul hayat [ilmunya niscaya wajib, kudrahnya niscaya wajib, dan hidupnya niscaya wajib].
Dalam argumentasi kedua ini, kami akan lebih banyak menjelaskan sifat ‘wajibul faydh’(emanasinya niscaya wajib) zat wajibul wujud. Konsekuensi akan sifat ini, bahwa segala sesuatu yang layak untuk mewujud dan mumkin untuk menerima wujud, maka wajibul wujuddengan emanasi mutlaknya meniscayakan memberikan wujud padanya karena hal ini adalah kelaziman dari ‘wajibul faydh-nya’ Tuhan, dan jika diasumsikan terdapat mumkin wujuddimana mumkin wujud tersebut siap untuk menerima wujud, namun wajibul wujud tidak memberikan wujud padanya, maka hal ini akan melazimkan kemustahilan dan bertentangan dengan ‘wajibul faydh-nya’ Tuhan.
Kedua; akibat adalah kebergantungan itu sendiri kepada sebab, dan akibat tidak memiliki ke-independen-an sama sekali di dalam dirinya. Jika sebab sempurna ada, maka akibat juga niscaya ada. Jika diasumsikan sebab sempurnanya akan sesuatu itu telah ada akan tetapi akibat tidak ada, maka tentunya asumsi ini mustahil terjadi dan secara akal ditolak. Kami akan menjelaskan hal ini lebih jauh lagi pada pembahasan kausalitas dengan tema ta‘âshur.
Diterjermahkan dari Buku : “Ămuzesy-e ‘Aqâ‘id” Tim Penulis : Mohsen Gharaveyân, Mohammad Reza Ghulâmî, Sayed Mohammad Husain Mirbâqerî).