Empirisme
Dalam pembahasan sebelumnya kami telah menjelaskan dua makna istilah empiris. Di antara pertanyaan yang dibahas sebelumnya yaitu ; ‘apakah seluruh proposisi dan tashdiq didapatkan melalui eksperimentasi? Apakah mungkin tashdiq didapatkan tanpa melalui eksperimentasi? ataukah eksperimentasi sama sekali tidak dapat menjangkau persoalan tersebut? Dalam kata lain apakah dalam mentashdiq sebuah proposisi – baik itu salah maupun benar – hanya bisa dilakukan dengan eksperimentasi semata atau bisa dilakukan melalui metode lainnya? Sebagian meyakini bahwa proses tashdiq hanya dapat dilakukan melalui indrawi dengan metode eksperimen dan tidak ada metode lain lagi dalam mendapatkan tashdiq. Mereka meyakini satu-satunya parameter dalam menentukan benar dan salah yaitu melalui metode eksperimen, misalnya ketika anda mengatakan ; besi jika dipanaskan akan memuai, atau contoh lainnya sinar yang menerangi ruangan dengan sudut tertentu akan memantulkan cahayanya dengan sudut yang serupa. Kedua contoh di atas hanya bisa dilacak benar dan salahnya dengan eksperimentasi indrawi. Namun jika anda meniscayakan proposisi-proposisi seperti ‘Tuhan ada’ atau ‘ma’ad, surga, neraka ada’ harus diuji dengan parameter eksperimentasi, maka pada hakikatnya anda tak ada bedanya dengan logika kaum Nabi Musa as : “Hai Musa, kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kami melihat Allah dengan terang .” ( Al-Baqarah : 55 ), pada hakikatnya kaum Nabi Musa as pun berlogika berdasarkan bangunan pemikiran eksperimentasi.
Untuk menganalisa kebenaran gagasan eksperimen di atas, ada beberapa pertanyaan yang ingin kami ajukan kepada kaum empiris :
1. Metode apakah yang digunakan oleh kaum empiris dalam menilai benar atau salah sebuah proposisi? Anda meyakini bahwa benar atau salahnya sebuah proposisi-proposisi hanya bisa didapatkan melalui indrawi dan eksperimentasi, termasuk proposisi-proposisi badihi primer sekalipun, bahkan anda juga tidak meyakini tashdiq-tashdiq yang tidak dapat dieksperimentasikan. Sekarang kami ingin bertanya kepada anda mengenai pernyataan tersebut bahwa ketika anda mentashdiq : ‘satu-satunya parameter benar dan salah dalam tashdiq adalah eksperimentasi’. Melalui parameter apakah pernyataan anda di atas dapat dibuktikan kebenarannya? Jika anda memaksakan bahwa hanya melalui eksperimentasi dapat dibuktikan kebenarannya, maka kesalahan anda sangat jelas. Hal ini dikarenakan sebuah prinsip atau teori tidak mungkin dibenarkan berdasarkan teori itu juga. Maksudnya jika dalam menjawab pernyataan ‘kenapa eksperimentasi menjadi tolak ukur’ adalah dijawab dengan : karena kami telah mengeksperimentasikannya, tentunya akan menimbulkan pertanyaan selanjutnya ; dengan dalil apa kebenaran eksperimentasi tersebut dibuktikan dalam menguji parameter eksperimentasi yang telah dibuktikan? Oleh karena itu pertanyaan di atas tidak mungkin diperolah jawabannya, terkecuali terdapat sebuah dalil non-eksperimentasi dalam membuktikan parameter tersebut, dan jika penilaian (tashdiq) seperti ‘eksperimentasi adalah parameter dalam menilai tashdiq-tashdiq’ tidak mungkin ditentukan benar dan salahnya melalui eksperimentasi akan tetapi anda membuka metode lain dalam membuktikan kebenarannya maka prinsip universal yang anda yakini tidak berlaku lagi. Bahkan anda telah memberikan pengecualian, kemudian jika pengecualian dalam konteks ini benar maka dengan dalil apa dalam konteks lainnya tidak memiliki nilai kebenaran?
2. Kita mengetahui bersama bahwa eksperimentasi dari konteks ruang dan waktu tentunya terbatas. Eksperimentasi dilakukan pada ruang dan waktu tertentu, akan tetapi kita dihadapkan pada tashdiq-tashdiq yang tidak lagi dibatasi oleh ruang dan waktu seperti proposisi-proposisi hakiki. Proposisi-proposisi hakiki adalah sebuah proposisi-proposisi dimana hukum yang berlaku dalam proposisi tersebut didapatkan melalui tabiat alamiah subjeknya, seperti proposisi ‘manusia mungkin terbakar oleh api’ dimana proposisi ini meliputi baik manusia yang masih ada maupun manusia yang telah tiada. Ketika kita mengatakan ‘setiap besi yang dipanaskan akan memuai’, proposisi tersebut tidak dibatasi oleh ruang dan waktu tertentu, bahkan proposisi tersebut berlaku pada seluruh ruang dan waktu. Sekarang pertanyaannya : ‘jika satu-satunya parameter dalam menentukan benar atau salahnya berbagai tashdiq adalah eksperimentasi’ maka tentunya kita tidak akan pernah mampu mentashdiq proposisi-proposisi seperti ini. Padahal kita banyak menemukan proposisi-prosisi seperti ini dan bahkan mengetahui apakah proposisi-proposisi tersebut benar atau salah. Oleh karena itu eksperimentasi bukanlah parameter yang tetap dalam menilai proposisi-proposisi.
3. Eksperimentasi sama sekali tidak berhak dalam menafikan sebuah objek di luar batasan wilayahnya. Karena terdapat beberapa tashdiq dimana subjek dan predikatnya tidak dapat dipersepsi dengan indrawi dan eksperimentasi, seperti konsep-konsep logika misalnya proposisi ; ‘spesis terdiri dari jenus dan difrensia’, atau konsep-konsep yang digunakan dalam sains akan tetapi konsep tersebut tidak dapat disaksikan oleh indrawi kita, seperti konsep materi (matter), energi, potensi gravitasi, dst. Apakah eksperimentasi memberikan penelitian terhadap proposisi-proposisi seperti diatas? Apakah para saintifis berhak menafikan proposisi-proposisi di atas melalui metode eksperimentasi? Ataukah mereka hanya berhak mengatakan ‘saya tidak tahu’ atau bahkan cukup dengan ‘diam’? Demikian pula bahwa eksperimentasi tidak mungkin mampu mentashdiq berbagai hal yang sifatnya mustahil, karena eksperimentasi hanya meliputi pada hal-hal yang terbatas dan bersifat partikular. Karena itu pula hal-hal yang berlawanan dengan eksperimentasi tidak akan pernah sirna, apalagi pada saat yang sama untuk membuktikan kemustahilan sebuah perkara dari satu sisi harus dibuktikan dan dari sisi lainnya harus dinafikan dengan pasti. Jika kita mengatakan ‘daur dan tasalsul’ mustahil artinya bahwa tidak mungkin daur dan tasalsul tersebut terjadi pada waktu apapun, pada tempat manapun, dan kondisi apapun. Prinsip seperti ini yang sangat pasti tidak mungkin didapatkan melalui eksperimentasi. Oleh karena itu jika melalui eksperimentasi kita menemukan sebab sebuah perkara tertentu maka sebab tersebut bukanlah sebab tunggal, tentunya masih terbuka kemungkinan adanya sebab lainnya. Sebagaimana jika kita saksikan pada awal manusia menemukan api, mereka meyakini bahwa satu-satunya yang menimbulkan panas adalah api, namun lambat laun setelah ditemukannya listrik manusia kemudian meyakini bahwa api bukanlah satu-satunya sumber panas. Kesimpulannya bahwa hanya potensi akal saja yang dapat mengeluarkan prinsip-prinsip seperti prinsip kemustahilan, daur, tasalsul, dan non-kontradiksi.
Pandangan Al-Quran Tentang Pengetahuan
Bagi mereka yang memahami Al-Quran walaupun hanya sedikit, mereka bisa menemukan bagaimana Quran begitu mementingkan persoalan pengetahuan. Al-Quran menjelaskan kepada kita bahwa Allah SWT sebagai Pengajar manusia. Sebagaimana yang tertera dalam surah Al-‘Alaq : 1 – 5, “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhan-mu Yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhan-mulah Yang Maha Pemurah, yang mengajar (manusia) dengan perantara kalam. Dia telah mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” Begitu juga yang ada dalam surah Ar-Rahman : 1-3, “(Tuhan) Yang Maha Pemurah, telah mengajarkan Al-Quran. Dia telah menciptakan manusia.”
Selain itu pula Quran menjelaskan para Nabiullah sebagai pengajar dan penyadar bagi umat manusia. Hal ini bisa kita saksikan dalam surah Jum’ah : 2, “Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang rasul dari golongan mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, menyucikan mereka, dan mengajarkan kepada mereka kitab (Al-Quran) dan hikmah.” Quran adalah sebuah kitab yang memposisikan manusia sebagai makhluk yang memiliki kebebasan memilih. Kesempurnaan dirinya bergantung pada perkataan dan tindakan yang dipilihnya. Di sisi lain sebagaimana yang kita ketahui bersama bahwa tidak mungkin terjadi pemilihan yang benar tanpa adanya pengetahuan. Jelas, hal tersebut mengindikasikan bahwa persoalan pengetahuan mendapat perhatian khusus di dalam Quran.
Orang-orang yang bahagia adalah orang-orang yang telah meraih kesempurnaan yang diinginkan dimana hal tersebut dibangun atas pengetahuan yang benar dan selanjutnya pengetahuan tersebut diamalkan dengan baik. Berdasarkan hal ini pula Quran mengisyaratkan instrumen dalam memperoleh pengetahuan sebagaimana yang ada dalam surah An-Nahl : 78, “Dan Allah mengeluarkanmu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati, agar kamu bersyukur.” Bisa dikatakan Quran adalah kitab pengetahuan yang diturunkan kepada manusia untuk memberikan petunjuk kepada manusia. Manusia lah yang harus berpikir dan menemukan petunjuk sehingga manusia berjalan di atas jalan kebenaran. Jika persepsi manusia tidak berjalan maka matanya tidak bisa menyaksikan cahaya hidayah. Jelas, selama manusia tidak menggunakan dengan baik potensi yang Tuhan berikan kepadanya maka tentunya harga dirinya lebih rendah dari binatang, sebagaimana dalam surah Al-A’raf : 179, “Mereka mempunyai hati, tetapi mereka tidak mempergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah), mereka mempunyai mata (tetapi) mereka tidak mempergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) mereka tidak mempergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” Kemudian dalam surah Al-Anfal : 22, “Sesungguhnya binatang (makhluk) yang seburuk-buruknya di sisi Allah ialah orang-orang yang bisu dan tuli yang tidak menggunakan akalnya.” Mereka adalah orang-orang yang tidak menggunakan dengan baik potensi persepsinya dalam meraih pengetahuan sehingga mereka tetap saja berada dalam kesesatan.
Secara keseluruhan Quran menggunakan 200 kali kata ilmu, hal ini berbeda dengan anggapan orang-orang yang meyakini bahwa metode Quran lebih banyak menggunakan metode eksperimentasi. Namun dalam banyak hal Quran banyak menggunakan metode akal dan metode hudhuri. Selain Quran berbicara kepada akal manusia untuk menjawab hal-hal argumentasi tapi Quran juga mementingkan persoalan hati. Tentunya Quran juga banyak mengisyarahkan fenomena-fenomena indrawi dan eksperimentasi seperti, awan, angin, hujan, kehidupan tumbuhan, dst. Akan tetapi maksud dari segalanya agar manusia memperhatikan Tauhid dan Ma’ad. Harus diingat pula bahwa walaupun manusia meyakini ilmu hudhuri, hushuli, indrawi, dan eksperimentasi akan tetapi Quran menganggapnya hanya bahagian kecil dari pengetahuan. Oleh karena itu wahyu diperkenalkan sebagai sebuah sumber pengetahuan yang terpisah. Akan tetapi dalam kesempatan ini kami tidak ingin menjelaskan wahyu secara detail. Dalam kesempatan ini kami hanya ingin menjelaskannya secara global bahwa wahyu menjelaskan hubungan khusus antara Tuhan dengan hamba-Nya yang terpilih, dimana berdasarkan dengan wahyu tersebut manusia dapat meraih kesempurnaanya yang tidak mungkin diraih dalam jalan lainnya. Berdasarkan hal ini kami ingin tekankan bahwa Quran sama sekali bukan kitab yang menganggap metode eksperimentasi sebagai satu-satunya metode pengetahuan.
Quran adalah kitab yang mengajarkan iman kepada hal yang gaib yang merupakan keniscayaan iman dan juga kitab yang mengajak manusia kepada Tauhid dan hari kebangkitan. Jika demikian maka tidak mungkin metode pengajaran Quran hanya berdasarkan atas metode eksperimentasi. Tapi harus diketahui pula bahwa pemikiran materialisme bukanlah pemikiran yang baru dan bisa kita saksikan pemikiran tersebut dalam sejarah-sejarah pemikiran dahulu. Misalnya kaum Nabi Musa as, setelah mereka berkali-kali melihat mukjizat Nabi Musa as akan tetapi sepulangnya dari Mesir mereka justru menyembah berhala karena mereka ingin menyembah Tuhan yang dapat dilihat. Sebagaimana yang dijelaskan dalam surah Al-Baqarah : 55, “Hai Musa, kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kami melihat Allah dengan terang.” Sekarang ini pemikiran di atas terulang kembali. Mereka mengatakan bahwa kami tidak dapat menerima Tuhan yang tidak bisa berada dibawah pisau bedah. Mereka ini adalah orang-orang yang telah meninggalkan akal dan pemikiran mereka sendiri, bahkan mereka telah mengingkari fitrah mereka sendiri. Mereka inilah yang digolongkan sebagai orang-orang yang nilainya lebih rendah dari binatang.