Khâtamiyyah Rasulullah SAW
Salah satu kelebihan dan kesempurnaan lain Nabi Islam SAW dibanding dengan nabi-nabi pendahulunya, beliau adalah khâtam al-anbiyâ, sebagaimana Al-Quran dalam hal ini memberitakan: “Muhammad itu bukanlah bapak dari seseorang di antara kamu, tetapi dia adalah utusan Allah dan penutup para nabi.” (QS. Al-Ahzab [33] : 40)
Kata khâtamiyyah merupakan derivasi dari kata khâtam dan berasal dari akar kata khatm yang bermakna akhir atau penutup. Ayatullah Jawadi Amuly berkata: Kata khâtam (dengan fatah huruf Ta) dan khâtim (dengan kasrah huruf Ta) menunjukkan bahwa pintu kenabian telah ditutup dan telah diberi cap stempel, karena itu tidak akan datang lagi nabi lain dengan syariat baru. Sebagaimana juga derivasi-derivasi kata khatm dalam Al-Quran –seperti nakhtamu, makhtûm, dan khitâm– memiliki pengertian seperti demikian ini; yakni menunjukkan makna akhir, mencapai akhir, diberi cap stempel, dan mendapatkan akhir. Berdasarkan ini, ulama irfan dalam mendefinisikan khâtam mengatakan, khâtam, yakni nabi khâtam adalah nabi yang melewati seluruh tingkatan-tingkatan kesempurnaan dan tidak ada lagi tersisa satu tingkatan pun yang tidak dilewatinya sehingga dengan perantaraan orang lain jalan itu akan terlewati, dan dia juga mengajarkan kepada manusia jalan dan cara melewatinya. Dalam definisi ini tidak hanya dijelaskan bahwa khâtamiyyah adalah tidak akan datang lagi nabi dan syariat sesudahnya, tetapi juga disebutkan sebab mengapa tidak akan datang lagi nabi pemilik syariat baru. Menurut Syahid Muthahari, jika yang akan diberitakan kepada manusia tidak tersisa lagi, tingkatan yang akan dilewati sudah terlewati semua, yakni seluruh tingkatan dalam bagian ini sudah mencapai final maka dengan sendirinya nubuwwah juga mencapai puncak dan akhirnya.
Oleh karena itu, khâtam al-anbiyâ yang merupakan salah satu dari laqab Nabi Islam SAW bermakna bahwa beliau adalah paling akhir dan sempurnanya nabi Tuhan dan dengan perantaraan beliau kenabian berakhir serta dengan perantaraan beliau risalah Ilahi mencapai puncak kesempurnaannya. Dengan demikian, Rasulullah SAW adalah nabi dan utusan Tuhan yang paling akhir dan paling sempurna dan setelah beliau tidak akan ada lagi seorang pun yang dipilih dan diangkat sebagai nabi dari sisi Tuhan.
Di samping itu, terdapat dalil-dalil yang jelas yang juga menunjukkan bahwa lembaran kenabian para nabi berakhir dan sempurna dengan perantaraan Rasulullah SAW. Dan maksud dari kepamungkasan kenabian ini adalah kepenutupan dan keberakhiran ditinjau secara zaman dan juga kepenutupan dan kesempurnaan ditinjau secara tingkatan dan qaus shu’udi. Oleh karena itu, sebagaimana Rasulullah SAW dalam qaus nuzul menjadi pangkal silsilah manusia-manusia sempurna –sesuai dengan hadis awwalu maa khalaqallahu nuurii– maka dalam qaus shu’ud juga beliau adalah puncak dan mahkota manusia-manusia sempurna; sebab beliau adalah khâtam al-anbiyâ.
Berasaskan uraian ini, dapat dipahami bahwa Rasulullah SAW tidak hanya mempunyai keutamaan dan kesempurnaan yang sama di antara para nabi dan memiliki keutamaan dan kesempurnaan khusus dari setiap nabi, tetapi beliau juga memiliki keutamaan dan kesempurnaan khusus yang tidak dimiliki satu pun oleh nabi-nabi sebelumnya. Selain dari itu juga dipahami bahwa tidak akan ada satu orang pun yang akan datang sesudahnya yang lebih utama dan lebih sempurna darinya: sebab beliau adalah paling sempurnanya manusia sempurna. Dan jika ada yang lebih utama dan lebih sempurna dari beliau, tentulah orang itu yang akan menduduki makam awwalu maa khalaqallahu nuuri dan khâtam al-anbiyâ, bukan Nabi Islam SAW.
Menetapkan matlab ini bisa dijabarkan dalam bentuk qiyâs istitsnâi (syllogisme hypothetique) berikut ini: Jika seseorang lebih utama dari nabi khâtam akan zuhur dan datang hingga hari kiamat, niscaya Nabi Islam bukanlah nabi khâtam; sebab jika Tuhan menciptakan manusia yang lebih utama dan lebih sempurna ilmu dan amalnya dari Nabi Islam, selamanya manusia yang lebih utama dan lebih sempurna tidak akan mengikuti manusia yang utama dan sempurna dan dia tidak akan menjadi umatnya. Sebab jika seseorang memiliki kesempurnaan yang lebih tinggi maka dia akan diikuti dan ditaati dan dia akan menuntun juga orang lain kepada maqamnya dan kesempurnaan lebih tinggi tersebut, dan dia mesti syâhid (saksi) seluruh penduduk alam dan teladan seluruh umat, bukannya Nabi Islam! Oleh karena itu, jika hingga hari kiamat seseorang yang lebih utama dan lebih sempurna dari Nabi Islam SAW akan datang dan zuhur maka Rasulullah SAW bukanlah khâtam al-anbiyâ. Dan karena beliau secara yakin dan pasti adalah khâtam para nabi as maka tidak akan datang dan zuhur orang yang lebih utama dan lebih sempurna dari beliau SAW.
Adapun hadits “awwalu maa khalaqallahu nurii”, hadis ini menjelaskan bahwa Rasulullah SAW tidak hanya paling sempurnanya manusia dari seluruh manusia, bahkan beliau SAW adalah paling sempurnanya makhluk dari seluruh makhluk ciptaan Tuhan atau paling sempurnanya maujud mumkin dari seluruh maujud-maujud mumkin. Sebab di dalam filsafat dibuktikan bahwa maujud yang paling awal shâdir (emanasi) dari wajibul wujud mestilah wujud yang paling dekat kesempurnaannya terhadap wajibul wujud. Dan karena beliau SAW secara qaus nuzuli adalah yang paling awal shâdir (emanasi) maka beliau SAW yang paling dekat kesempurnaannya kepada wajibul wujud. Matlab ini nantinya akan kita bahas secara terpisah.
Dengan keutamaan dan kesempurnaan yang dimiliki Rasulullah SAW yang melebihi seluruh manusia dan bahkan melebihi seluruh makhluk alam imkân maka beliau layak menjadi mazhar “laisa kamitslihi syai” dan mazhar “walam yakun lahu kufuwan ahad”nya Tuhan.
Setiap nama dari nama-nama Tuhan menuntut mazhar dan zuhur di antara manusia serta wujud-wujud lainnya. Karena wujud Rasulullah SAW adalah manusia sempurna dan bahkan paling sempurnanya manusia sempurna maka beliau SAW menjadi mazhar “laisa kamitslihi syai” nya Allah SWT.
Seluruh nabi merupakan ayat-ayat Ilahi dan pancaran “Allahu nûrussamâwâti wal ardh”, tetapi Nabi Islam SAW manifestasi nama Tuhan dan memperlihatkan wajah cerminan yang lebih sempurna dari “walam yakun lahu kufuwan ahad” (dan tidak ada sesuatu yang setara dengan Dia). Oleh karena itu, wujud Rasulullah SAW dari dimensi kedua mazhar ini dapat menjadi muhaimin dan khâtam atas seluruh nabi-nabi pendahulunya serta memiliki sirah makrifat dan ilmu yang tidak dimiliki oleh nabi-nabi sebelumnya dan seluruh manusia yang akan datang hingga hari kiamat.
Ubudiyyah Rasulullah SAW
Dalam mantiq wahyu Al-Quran kata ‘abd (hamba) adalah kata yang mempunyai keutamaan dan kebanggaan jika diidhafakan dengan kata Allah, nama-nama Allah lainnya, dan kata ganti Allah, seperti ayat: “Dan ingatlah hamba-hamba Kami Ibrahim, Ishaq, dan Ya’qub yang mempunyai kekuatan-kekuatan yang besar dan ilmu-ilmu (yang tinggi).” (QS. Shâd [38] : 45) Berbeda misalnya dalam penggunaan istilah sosial dan lainnya, seperti hamba thagut, hamba fulan, hamba harta, hamba syahwat, dan sebagainya. Semuanya mempunyai konotasi rendah atau jelek.
Dalam alam mikrokosmos, sebagian manusia berada di bawah kepengelolaan dan mazhar partikular Tuhan. Misalnya, sebagian hakikatnya merupakan ‘abdurrazzâq, ‘abdul bâsith, ‘abdul qâbidh, atau ‘abdul karîm. Akan tetapi hakikat Rasulullah SAW adalah ‘abduhu (hamba-Nya) dan Tuhan menjadi mudabbir dan murabbi individualnya (pengelola dan pengaturnya), sehingga dalam hal ini beliau memiliki paling akhir dan puncaknya maqam dan tingkatan ‘indallah (di sisi Allah).
Dalam maqam qaus shu’ud, tidak ada maqam yang lebih tinggi dari maqam marbubiyyah pribadi Rasulullah SAW, dan beliau berada di bawah kepengaturan paling tingginya ism (nama) dari asmâ’ul husna Tuhan, yakni ‘Huwa’ (Dia) yang tidak lain adalah huwiyyah (identitas) mutlak. Sebab beliau pemilik paling sempurnanya ‘ubudiyyah (kehambaan), maka Tuhan memberi kepadanya paling sempurnanya kalimah-Nya. Dan dalam maqam qaus nuzul, Rasulullah SAW dari sisi maqam itu juga diutus, dan dalam maqam ini huwiyyah mutlak merupakan pangkal penurunan dan pengutusan beliau SAW: “Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya dengan petunjuk (Al-Quran) dan agama yang benar untuk diunggulkan atas segala agama, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai.” (QS. At-Taubah [9] : 33)
Al-Quran, ketika menggunakan ungkapan ‘abd (hamba) yang dinisbahkan kepada nabi-nabi lainnya, senantiasa mengungkapkannya dengan menyebut nama mereka, seperti: “…dan ingatlah akan hamba Kami Dawud yang mempunyai kekuatan… .” (QS. Shad [38] : 17), “Dan ingatlah akan hamba Kami Ayyub ketika dia menyeru Tuhannya… .”(QS. Shad [38] : 41), “…maka mereka mendustakan hamba Kami (Nuh)… .” (Qs. Al-Qamar [54] : 9) Akan tetapi Rasulullah SAW disebut (oleh Al-Quran) tanpa diungkapkan namanya, yakni ‘abd (hamba) mutlak, yang mana ungkapan ini akan senantiasa mengarah kepada pribadi sempurna beliau SAW, seperti: “Mahasuci (Allah) yang telah memperjalankan hamba-Nya (Muhammad) pada malam hari dari Masjidilharam ke Masjidil Aqsa… .” (QS. Al-Isra’ [17) : 1), “Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan Kitab (Al-Quran) kepada hamba-Nya… .” (QS. Al-Kahfi [18] : 1), dan “Mahasuci Allah yang telah menurunkan Furqan (Al-Quran) kepada hamba-Nya (Muhammad), agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam.” (QS. Al-Furqan [25] : 1). Kendatipun kitab Taurat Nabi Musa as juga adalah Furqan: “Dan (ingatlah) ketika Kami memberikan kepada Musa Kitab dan Furqan, agar kamu memperoleh petunjuk.” (QS. Al-Baqarah [2] : 53), tetapi ketika ‘abd mutlak yang disebutkan maka yang terlintas dalam akal adalah ‘abd sempurna dan itu adalah Rasulullah SAW. Al-Quran mengatakan, Mahasuci Allah yang telah menurunkan Furqan atas hamba-Nya. Dan dalam pengungkapan kalimat ini tidak disebutkan nama Nabi SAW sebelum dan sesudah kata hamba-Nya sehingga bisa ditafsirkan bahwa nama Nabi Muhammad SAW mahdzuf (dihapus) dengan karinah. Dan Al-Quran tidak juga mengatakan, hamba Kami, yang memandang kepada katsrah (maqam kejamakan), tetapi mengatakan, hamba-Nya, yang memandang kepada maqam wahdah. Kalimat ini lebih tinggi dari ‘abd Allah (hamba Allah), sebab ubudiyyah ini mengisahkan tentang huwiyyah mutlak, di mana maqamnya lebih tinggi dari maqam uluhiyyah.
Teladan Manusia dan Para Pesalik
Mengambil teladan dan uswah dalam menapaki jalan hidup, dimana ia merupakan medan pengumpulan bekal untuk hari akhirat dan kehidupan abadi, sangatlah penting dan daruri bagi setiap manusia. Sebaik-baik uswah hidup, para nabi dan wali Tuhan. Dan paling utama serta sempurna di antara mereka adalah Nabi Islam SAW. Tuhan dalam Al-Quran memperkenalkan Rasulullah SAW sebagai teladan dan uswah manusia dengan firman-Nya: “Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan yang banyak mengingat Allah.” (QS. Al-Ahzab [33] : 21) Tentang kebesaran Nabi Islam SAW cukuplah kita lihat ayat Al-Quran di mana Tuhan berfirman: “Dan sungguh, Kami telah memberikan kepadamu tujuh ayat (al-Fatihah) yang (dibaca) berulang-ulang dan Al-Quran yang agung.” (QS. Al-Hijr [15] : 87) Sedangkan kitab ini (Al-Quran) jika diturunkan kepada gunung maka gunung akan hancur luluh: “Sekiranya Kami turunkan Al-Quran ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan takut kepada Allah.” (QS. Al-Hasyr [59] : 21) Yakni jika hakikat tersebut diturunkan kepada gunung maka gunung tersebut akan terpecah belah dan hancur luluh dikarenakan tidak mampu menanggungnya, tetapi Rasulullah SAW dengan baik mampu memikul dan menanggungnya.
Mereka yang tidak memberikan reaksi dalam berhadapan dengan Al-Quran dikarenakan hatinya tidak terpaut dengan wahyu Al-Quran; sebab jika dia orang mukmin yang terpikat hatinya kepada Al-Quran, niscaya ketika disebut nama Allah akan bergetar hatinya dan ketika Al-Quran dibacakan kepadanya maka bertambahlah keimanannya: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetar hatinya dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, bertambah (kuat) imannya dan hanya kepada Tuhan mereka bertawakkal.” (QS. Al-Anfal [8] : 2) Jika dengan mengingat nama Tuhan hati kita tidak bergetar dan berguncang, itu dikarenakan hati kita belum terpaut dan terpikat kepada-Nya. Sebab seseorang apabila mencintai sesuatu, apakah itu kedudukan, kemasyhuran, perempuan, atau lainnya, jika disebutkan kepadanya maka hatinya akan bergetar dan berguncang. Itu pun sebenarnya hanya cinta imitasi yang cepat pudar dengan berlalunya masa atau hilang dikarenakan sesuatu yang lain yang dianggap lebih tinggi nilai dan harganya dibanding dengan mereka. Tetapi adakah yang lebih tinggi dari Allah dan Rasul-Nya? Oleh karena itu, untuk mendapatkan cinta hakiki dan abadi, mestilah manusia hanya mencintai Allah SWT dan wali serta kekasih-Nya: “Katakanlah (Muhammad), “Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu.” (QS. Ali Imran [3] : 31) Mencintai Allah mestilah mengejawantah dalam bentuk tauhid dzat, sifat, dan perbuatan. Sedangkan mencintai Rasulullah SAW haruslah berbentuk mengikuti dan meneladani segala ajaran, sunnah, risalah, dan sirahnya. Dan orang yang memalingkan dirinya dari menaati Allah dan Rasul-Nya serta menyandingkan kecintaan kepada selain-Nya, niscaya dia tidak akan pernah menemukan kesempurnaan dan kebahagiaan hakiki serta tidak akan mendapatkan kecintaan dari Tuhan: “Katakanlah (Muhammad), “Taatilah Allah dan Rasul. Jika kamu berpaling, ketahuilah bahwa Allah tidak menyukai orang-orang kafir.” (QS. Ali Imran [3] : 32)
Oleh karena itu, jika nama Allah SWT (sang kekasih mutlak) disebut, hati kita tidak berguncang dan bergetar maka jelaslah hati kita ini belum terpaut dan terpikat kepada-Nya. Kita hanya mengingat dan menyebut-Nya dengan lafazh, belum mengingat dan menyebut-Nya dengan kalbu. Sebab kalbu yang mendapatkan jalan mengingat Allah, niscaya akan bergetar dalam berhadapan dengan mahbub mutlak. Kekhususan kalbu yang mengingat Tuhan, pertama disertai dengan keguncangan, kemudian uns, dan selanjutnya ketenangan yang dibarengi kelezatan. Dan setiap kali kapasitas kalbu bertambah maka ketertarikan kepada Al-Quran juga semakin bertambah, di mana ini akan diikuti dengan peningkatan ketahanan dan ketenangan dalam hamparan pancarannya. Oleh karena itu, kendatipun Al-Quran ini jika diturunkan kepada gunung maka gunung akan luluh lantak, akan tetapi Al-Quran yang telah diturunkan kepada kalbu Rasulullah SAW, secuil pun tidak memberikan kegalauan dan kegelisahan kepadanya, tetapi beliau tetap dalam keadaan tenang dan berseri: “Dan sungguh, (Al-Quran) ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan seluruh alam. Yang dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (malaikat Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar engkau termasuk orang yang memberi peringatan.” (QS. Asy-Syu’ara [26] : 192-194)
Dengan demikian, Tuhan menjadikan Rasulullah SAW sebagai uswah dan teladan hidup manusia dalam seluruh dimensi kehidupan dan berbentuk absolut. Dalam artian bahwa tidak mungkin suatu maujud atau seseorang berada selamanya dalam shirat mustaqim, jika sebagian dari perbuatan dan prilakunya tidak pantas untuk diikuti dan diteladani. Khususnya Rasulullah SAW yang hatta dari perbuatan dan prilaku masykuk (diragukan) juga suci dan bersih. Karena itu, beliau adalah paling layaknya manusia untuk dijadikan uswah dan teladan oleh para pesalik jalan hakikat tanpa sedikit pun kait dan syarat. Tentunya dalam hal-hal spesifik dan individual Rasulullah SAW keluar dari konteks bahasan kita, seperti beliau boleh memiliki empat istri dan bagi beliau shalat lail itu wajib baginya. Kesimpulannya, manusia untuk meraih kesempurnaan, keselamatan, dan kebahagiaan, mestilah menjadikan Rasulullah SAW sebagai uswah dan teladan hidupnya. Dan hakikat mengikuti Al-Quran serta agama Nabi Islam SAW adalah mengikuti paling sempurnanya ajaran, undang-undang, aturan hidup, dan agama Tuhan; sebab sebagaimana sebelumnya diisyaratkan, kitab dan nabi ini merupakan muhaimin dari seluruh kitab suci dan muhaimin semua nabi-nabi Tuhan. Dan bagi pesalik ke jalan hakikat, tidak ada jalan yang paling lempang dan lurus untuk bertemu dan berkasih-kasihan dengan mahbub mutlak, kecuali jalan syariat, tariqat, dan jalan hakikat yang diwariskan oleh Nabi Islam Muhammad SAW.[RS]