Sosok

Astronom Muslim Awal

Hampir semua sarjana muslim dari berbagai jenis disiplin ilmu menekuni telaah astronomi. Sarjana-sarjana yang dikenal sebagai filsuf dan teolog seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, Nashir al-Din al-Thusi. Ibnu Thufail, dan Ibn Rusyd menulis karya-karya astronomi yang berpengaruh terhadap perkembangan telaah astronomi. Pra sarjana matematika pun umumnya juga menguasai astronomi, bahkan memberikan sumbangan-sumbangan orisinil yang signifikan bagi kemajuan riset ilmiah astronomi, katakanlah seperti al-Khawarizmi, ‘Umar Khayyam, Abu al-Wafa’.

Kepakaran Umar Khayyam dalam astronomi, misalnya, dinyatakan oleh Thomas Welty dalam Human Expression: A History of The World (1985). Welty menyebutkan bahwa kalender Jalali ciptaan Khayyam lebih tepat daripada kalander Gregoria yang dipakai umumnya sampai sekarang di dunia internasional. Dia menghitung bahwa kesalahan (ketidakcermatan) perhitungan kalender Gregoria selama satu hari terjadi dalam kurun waktu 3300 tahun, sedangkan menurut kalender Jalali mencatat ketidakcermatan perhitungan satu hari terjadi dalam kurun waktu 5000 tahun.

Sementara itu, fisikawan seperti al-Biruni, Ibn al-Haitsam, Ibn Yunus dengan sendirinya juga amat menekuni telaah astronomi dan membuahkan penemuan-penemuan dan karya-karya ilmiah astronomi penting. Ibn al-Haitsam dalam karya ilmiahnya Ikhtisar Astronomi melukiskan gerak planet-planet dalam suatu model non-Ptolemeus yang, menurut Sayyed Hossein Nasr (1968), memberikan pengaruh besar kepada Dunia Kristen di Eropa hingga masa Kepler.

Sedangkan al-Biruni dikenal luas telah mengajukan untuk pertama kalinya dalam dunia astronomi tentang kemungkinan gerak Bumi mengelilingi Matahari—500 tahun sebelum teori heliosentris Copernicus—dan juga membahas kemungkinan rotasi Bumi mengelilingi sumbunya, 600 tahun sebelum Galileo Galile. Tokoh fisikawan eksperimentalis besar itu juga telah menyarankan dalam suratnya kepada Ibn Sina untuk memperhitungkan lebih mungkinnya gerak eliptis ketimbang gerak lingkaran planet, suatu fakta yang kemudian terbukti dalam enam abad kemudian.

Beberapa sarjana yang digolongkan sebagai astronom muslim yang patut dipelajari secara khusus adalah al-Farghani, al-Battani, Nashir al-Din al-Thusi, dan Ibn al-Syathir.

Astronom Muslim Awal

Sebelum Islam datang, telah terdapat berbagai tradisi keilmuan dan peradaban yang perkembangannya tengah mengalami kebuntuan, deadlock, dan sekarat. Sejalan dengan etos keilmuan Islam yang terbuka dan kosmopolitas, serta kemampuan khas epistemologi Islam yang memiliki daya sintesis-kreatif, para sarjana muslim menerima khazanah berbagai peradaban pra-Islam seraya secara kreatif mengembangkan dirinya dengan cara pandang dan paradigma yang baru, yang sesuai dengan pandangan dunia Tauhid.

Oleh karena itu, langkah yang dilakukan oleh sarjana muslim dalam sains astronomi adalah menerjemahkan karya-karya astronomi dari tradisi Ptolemeus (Yunani), Persia, Babilonia, Harran, dan India. Menurut Seyyed Hossain Nasr (1968), para astronom pertama Islam, yang berkembang pada pertengahan akhir dari abad ke-8 M/ke-2 H di Bagdad, mendasarkan karya astronomi mereka pada hakikatnya atas table astronomi Persia dan India. Misalnya, karya astronomi terpenting yang masih terdapat di Persia zaman pra-Islam ialah Zij-I Syahi atau Zij-I Syahriyari (Tabel Raja), dirancang sekitar tahun 555 M, semasa pemerintahan Raja Dinasti Sassaniyah, Anusyirawan yang adil.

Karya itu bagi astronomi Sassaniyah adalah bagaikan Siddhanta bagi bangsa India dan Almagestbagi bangsa Yunani. Ketiga karya tersebut merupakan input dan modal dasar bagi astronom muslim generasi pertama untuk mengembangkan sains astronomi. Siddhanta karya Brahmagupta diterjemahkan oleh astronom resmi pertama Dinasti ‘Abbasiyah, yaitu Muhammad al-Fazari (w. 777), pada 773. Lalu, al-Fazari sendiri berdasarkan Siddhanta menulis karya Zij (Tabel Astonomi). Dia juga tercatat sebagai astronom muslim pertama yang membuat astrolab, sebuah instrumen khas dalam astronomi Islam. Untuk itu, dia menulis buku yang berjudul Bekerja dengan Astrolab Bidang.

Almagest karya Ptolemeus diterjemahkan berulang kali, juga Tetrabiblos dan tabel-tabel astronomi Ptolemeus yang dikenal dengan nama Canoses procheiroi. Atas perintah Khalifah al-Ma’mun, banyak karya astronomi Yunani diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.

Menurut Nasr (1968). Ketiga karya dari tiga tradisi di muka, yaitu Zij-i Syahi (Persia), Siddhanta (India), Almagest (Yunani), berperan penting dalam pembentukan awal astronomi Islam. Pada pertengahan akhir abad  ke-9, perkembangan astronomi terus melaju dengan pesat. Setelah tahap penerjemahan, muncul tahap pemberian komentar. Al-Nairizi (nama latin: Anaritius) membuat komentar tentang Almagest dan menulis naskah terlengkap yang pernah ditulis dalam bahasa Arab mengenai astrolab bola. Tokoh sezamannya, Tsabit B. Qurrah (w. 911), juga berperan besar dalam astronomi; dia terutama masyhur dalam mempertahankan teori gerak getaran dari equinox. Untuk menjelaskan getaran itu, dia menambahkan bola kesembilan kepada delapan bola astronomi Ptolemeus. Dia juga mengestimasi jarak ke matahari dan menghitung panjang tahun matahari.

*Disadur dari Menggali Nalar Saintifik Peradaban Islam, Husain Heriyanto (2011)

Baca Juga AL-FARGHANI

Komentari Artikel Ini

comments

https://pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js
%d blogger menyukai ini: