Buletinmitsal.com – Diriwayatkan bahwa sebelum meninggal, seorang pendeta Yahudi berpesan kepada muridnya agar mencari orang yang bergelar ‘pintunya ilmu’ (sesuai dengan hadis Nabi Muhammad SAW: Anaa madiinah al-‘ilmii wa ‘Alii baabuhaa, Aku adalah kota ilmu dan ‘Ali adalah pintunya). Apabila bertemu, sang murid disuruh menanyakan satu soal (yang dalam ilmu aritmatika sekarang disebut dengan KPK atau Kelipatan Persekutuan Terkecil) yang sampai saat itu belum terjawab, yakni, “bilangan manakah yang habis dibagi satu sampai sepuluh?” Sang guru berpesan, bahwa apabila orang tersebut mampu menjawab pertanyaan itu, maka dialah ‘pintunya ilmu’, dan apabila orang tersebut tidak mampu menjawab, maka sang murid harus meninggalkan orang tersebut dan terus mencari hingga orang yang mendapat gelar tersebut ditemukan.
Hingga suatu hari, sang murid mendengar bahwa orang yang bergelar ‘pintunya ilmu’ adalah Imam Ali Kw, meski pada saat itu, sang guru telah meninggal dunia. Maka diajukanlah pertanyaan tersebut. Dan Imam Ali menjawab dengan sangat mudah. Beliau berkata kepada pendeta Yahudi itu, “Kalikanlah jumlah harimu dalam sebulan dengan jumlah bulanmu dalam setahun, dan dengan jumlah harimu dalam seminggu.”
Lalu, orang Yahudi itu pun menghitungnya. Jumlah hari dalam sebulan yang berjumlah 30 dikali dengan jumlah bulan dalam setahun yang berjumlah 12, kemudian dikali lagi dengan jumlah hari dalam seminggu yang berjumlah 7. Dari hasil perkalian ini diperoleh bilangan 2520. Dan ternyata bilangan tersebut adalah bilangan terkecil yang akan habis bila dibagi dengan angka satu sampai sepuluh. Pemuda itu pun terkejut hingga akhirnya memeluk Islam dan menjadi pengikut setia Imam Ali sampai akhir hayatnya.
Dalam riwayat lain dikisahkan tentang persoalan warisan. Dikisahkan bahwa ada tiga orang datang menemui Imam Ali dengan membawa persoalan warisan yang sulit. Mereka memiliki 17 ekor unta yang hendak dibagikan untuk tiga orang dengan pembagian masing-masing 1/2, 1/3, dan 1/9 tanpa menyembelih atau menguangkan unta-unta itu. Jika menggunakan perhitungan langsung, tentu syarat tersebut tidak bisa terpenuhi lantaran ketiga orang tersebut masing-masing mendapat 8 ½, 5 2/3, dan 1 8/9 ekor unta. Seketika, Imam Ali menyarankan untuk menambah seekor unta miliknya. Unta akhirnya berjumlah 18 ekor, sehingga ketiga orang tersebut mendapatkan angka yang bulat, yakni 9, 6, dan 2 ekor unta. Total unta yang dibagikan ialah 17 ekor sehingga Imam Ali pun mengambil kembali ‘pinjaman’ seekor untanya. Cara kreatif dan taktis yang diperkenalkan oleh Imam Ali mampu memecahkan persoalan warisan itu dengan cepat dan mudah.
Sayyidina Ali dikenal sebagai sahabat Rasulullah yang cerdas, terpercaya, alim, berwawasan luas dan jauh ke depan, wara’, zuhud, pemberani dan pemilik pedang Zulfiqar, guru dari para guru fikih, sastra, kalam, dan sufi. Beliau yang disebut sebagai pintu dari kota ilmu dikenal pula sebagai ahli matematika yang dinukil dari berbagai kisah tanya jawab. Karena kealimannya yang tersohor, para sahabat dan tabi’in kerap menanyakan berbagai persoalan kepada Imam Ali. Tak terkecuali mereka yang dengki, meski hanya sekedar mengetes keceradasan Imam Ali. Dalam banyak riwayat dikisahkan, bahwa banyak orang Yahudi yang akhirnya memutuskan beriman kepada Islam setelah mendengar jawaban sang Imam, termasuk dalam bidang matematika.
Dari kisah-kisah di atas, yang menarik dari setiap persoalan yang dipecahkan oleh Imam Ali bukanlah terletak pada hasilnya, namun pada proses dan metode yang tidak biasanya. Beliau tidak menempuh cara sebagaimana para ilmuwan atau professor dalam menjawab soal dengan menggunakan rumusan. Imam Ali menjawab persoalan itu dengan sangat mudah, dengan menggunakan bahasa sehari-hari yang tentu saja mudah dipahami. Dari sini, timbul pertanyaan, mengapa persoalan matematika yang cenderung teknis dapat diselesaikan oleh Imam Ali dengan sangat mudah, yaitu dengan konsep ruang dan waktu yang digunakan dalam bahasa sehari-hari. Bisa jadi jawabannya adalah bahwa seluruh fenomena alam raya yang terbentang luas ini mempunyai rumusan-rumusan matematis yang serasi sehingga keharmonisan alam semesta dapat dikatakan sebagai padanan rumusan matematis yang simetris. Mengapa? Karena seluruh alam raya ini baik yang bersifat fisik maupun abstrak (seperti matematika) merupakan manifestasi dari keesaan Tuhan. Oleh karena seluruh jenis atau peringkat alam itu semuanya berasal dari Yang Satu, tentu antara alam itu saling berhubungan dan terintegrasi. Dan penguasaan ini, tentu saja hanya dimiliki oleh orang-orang yang seakan-akan telah mengetahui ‘rahasia isi alam semesta ini’, memiliki ‘kunci-kunci berbagai lemari pengetahuan’, sebagaimana yang ditunjukkan oleh Imam Ali , sang ‘pintu kota ilmu’.