Oleh : Ayatullah Jawadi Amuli
Menghidupkan Amar Maruf Nahi Mungkar
Misi lain yang diperjuangkan al-Husain ialah menghidupkan kewajiban amar ma’ruf wa nahi munkar (menyeru kebajikan dan mencegah keburukan) serta memulihkan semangat dan tekad masyarakat dalam menegakkan kewajiban tersebut. Dalam surat Lukman, segera setelah menerangkan makna hikmah, Allah SWT mengenalkan Lukman sebagai manusia yang telah menerima hikmah dari-Nya. Allah SWT menandaskan manusia hakim (bijak) seperti inilah yang kemudian mewasiatkan pesan-pesan bijak kepada anaknya melalui ucapannya :
Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan maruf (yang baik) dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang munkar dan bersabarlah atas segala yang menimpa kamu sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan oleh Allah (QS. Lukman: 17)
Yang dimaksudkan maruf adalah sesuatu yang direstui oleh akal dan agama (Quran dan Hadis). Sebaliknya munkar, yaitu apa-apa yang ilegal dan tertolak menurut akal atau agama. Lukman berkata: “Tegakkanlah amar maruf nahi mungkar”. Lalu beliau menekankan bahwa dalam rangka kewajiban itu diperlukan tekad kolektif, karena kita akan menghadapi rintangan dan kesulitan, dan untuk itu kita harus selalu menanamkan kesabaran. Adapun maksud dari azmil umuur (perkara yang ditetapkan) ialah perkara yang harus dilapisi itikad yang kuat dan tekad yang bulat.
Jelas bahwa semua kerja dan usaha (sengaja) manusia didasari oleh kehendak. Tanpa kehendak itu, ia tidak mungkin melakukan usaha apapun, meski kita temukan pada sebagian usahanya ia mesti berpikir dan berdiskusi terlebih dahulu untuk kemudian mengambil kebulatan tekad. Dan, kalau usaha itu penting dan menyangkut nasib bersama, ia pun tidak mungkin terealisasikan tanpa ada kerjasama dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, bisa dipastikan usaha dan kerja ini memerlukan tekad kolektif dari segenap lapisan masyarakat.
Amar maruf nahi munkar bukanlah kewajiban khusus untuk kalangan pesantren, karena kewajiban khusus mereka adalah mengusahakan pembinaan dan pembersihan jiwa. Amar maruf nahi munkar bukanlah kewajiban utama lingkungan akademisi, sebab kewajiban khas mereka ialah mengusahakan peningkatan kualitas pengajaran dan pendidikan. Ia juga bukan tugas utama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, karena amanat besar yang harus mereka buktikan ialah bagaimana meningkatkan kualitas pendidikan generasi muda bangsa. Sesungguhnya amar maruf nahi munkar merupakan kewajiban sosial. Untuk itu, jelas diperlukan kebulatan tekad segenap komponen bangsa.
Amar dan nahi berarti kesanggupan dalam menyampaikan, bukan sekadar kepiawaian dalam beretorika dan menasehati. Bukan pula sebatas keterampilan dalam menulis sebuah artikel. Semua itu perkara yang sederhana dan sangat mudah. Amar dan nahi yaitu upaya menyampaikan perintah dan larangan praktis terhadap gejala ganjil dan tidak layak dalam sebuah lingkungan. Maka itu, sumber-sumber fikih meletakkan masalah amar maruf nahi munkar dalam bab jihad, yang didalamnya kewajiban berjihad tidak hanya atas kalangan pesantren, perguruan tinggi, ataupun departemen pendidikan dan kebudayaan. Sebab, tugas utama mereka sekali lagi berkaitan dengan ihwal peningkatan intelektualitas dan kultur masyarakat.
Seseorang yang tidak tahu bahwa ia telah melakukan dosa bukanlah objek amar maruf nahi munkar. Hanya saja, ia harus diberi “pencerahan” mengenai hukum-hukum syariat sehingga ia tahu bahwa perbuatannya itu tidak dibenarkan agama. Disinilah tanggung jawab utama para ulama, intelektual dan penyelenggara pendidikan dan kebudayaan.
Akan halnya seseorang yang tahu bahwa tindakannya itu sebuah dosa dan penyelewengan, namun ia tetap melakukannya dengan kesadaran dan kesengajaannya, orang seperti inilah yang layak ditindak sesuai amar maruf nahi munkar. Terhadapnya harus diambil tindakan yang tegas, yang tentunya perlu kesatuan tekad dari segenap unsur masyarakat. Di sinilah letaknya wajib kifayah, dimana semua anggota masyarakat sama-sama bertanggung jawab melaksanakannya.
Setiap unsur masyarakat, apakah ia ulama, intelektual, aparat pemerintah urusan pendidikan dan kebudayaan, maupun rakyat sipil, semua berkewajiban mengambil posisi dan peran sosial masing-masing. Namun, berkenaan dengan bidang-bidang penting dalam upaya menerapkan hukum Tuhan seperti : menegakkan hukum pidana, semestinya ditangani secara khusus oleh ahli hukum/ dewan hakim, dan harus diusahakan dengan kebulatan tekad bersama segenap lapisan masyarakat manakala muncul upaya-upaya perlawanan atas supremasi hukum.
Ada perbedaan esensial antara kewajiban amar maruf nahi munkar dan penegakan hukum pidana. Dalam konteks amar maruf, kita harus mengajak pelaku kepada kebaikan; dan dalam konteks nahi munkar, kita wajib melarang perilaku yang tidak sesuai dengan ajaran agama, kita harus menegur pelakunya dengan mengatakan: “Lakukanlah perbuatan baik ini!” atau “Tinggalkanlah pekerjaan buruk itu!”
Namun, dalam konteks penegakan hukum pidana, seorang terpidana akan dijatuhi hukuman dan dipertanyakan kepadanya: “Mengapa Anda lakukan tindakan jahat itu?” Penegakan hukum ini adalah tanggung jawab para aparat pengadilan syariat Islam.
Sementara amar maruf nahi munkar merupakan tugas setiap individu, bukan hanya tugas seorang hakim. Oleh karena itu, pertanyaan seperti : “Kenapa perbuatan munkar itu kau lakukan?” adalah bukan hanya tanggung jawab para aparat kehakiman, tetapi perintah untuk melakukan ataupun meninggalkan suatu perbuatan terkait dengan kewajiban amar maruf nahi munkar itu amat bergantung pada tekad seluruh komponen bangsa.
Rasulullah SAW pernah bersabda: “Tidak seorangpun di dalam masyarakat Islam ini dibenarkan lari dari tanggung jawab yang harus ia pikul”, sehingga dengan seenaknya ia mengatakan : “Apa urusannya denganku?”, atau hendak merusak tanggung jawab orang lain dengan mengatakan : “Apa urusannya denganmu?”, atau membela diri bahwa, “Bukankah aku bermaksiat dengan hartaku sendiri, dan aku sendiri yang kelak akan menanggung segala resiko buruk dan balasan siksa”.
Sesungguhnya Rasulullah SAW hendak menegaskan bahwa tanggung jawab kolektif itu ada karena manusia membawa sisi sosial. Dan, untuk menjelaskan ketetapan eksistensinya kepada masyarakat bukanlah merupakan perbuatan yang mudah, adapun sisi sosial yang terdapat pada setiap individu bisa dengan mudah ditetapkan. Karena manusia, selain memiliki sisi individual, juga merangkap sisi sosial. Dari sinilah dapat kita ketahui bahwa manusia selalu tergantung pada selainnya.