Oleh : Almin Jawad Moerteza
“Meski air wudhuku cuma sebatas tinta, akan kusampaikan kepadamu ihwal orang-orang beriman yang berwudhu dengan darah mereka sendiri. Sudahkah kau sampaikan isi dunia ini pada mereka yang belum lagi lahir? Bagaimana caranya? Analogi apa yang pantas diuraikan?
Alkisah, sekolompok kelelawar merencanakan pembunuhan. Mereka hendak menghabisi seekor Bunglon yang dianggap menyebarkan “ajaran sesat”. “Kesesatan” yang dapat melemahkan kekuasaan mereka. Setelah menyusun strategi dengan matang, kelelawar-kelelawar itu menyerbu kediaman si Bunglon. Beramai-ramai mereka menyerangnya. Memukulinya hingga pingsan. Ia dihinakan dan dicemoohkan. Bunglon yang tanpa kawan tak berdaya. Akhirnya, Ia diseret dan disekap. Malam itu, Bunglon yang malang jadi tawanan.
Setelah senja menyapa bumi, para kelelawar berkumpul. Mereka bingung, gerangan siksaan apa yang sebaiknya diberikan kepada Bunglon. Bunglon memang harus dibunuh. Tapi bagaimana? Setelah berpikir keras, akhirnya para kelelawar itu memutuskan bahwa siksaan paling menyakitkan baginya adalah menghadapkannya pada matahari. Bagi kelelawar, tidak ada siksaan yang menyayat pedih selain berada dekat dengan matahari. Bunglon itu, sudah pasti, tidak mengharapkan yang lebih baik lagi. ‘Siksaan’ semacam itu persis seperti yang diinginkannya, sebagaimana yang dikatakan oleh Husayn Manshur, “Bunuhlah aku, kawan-kawanku, sebab dengan terbunuhnya diriku, aku akan hidup. Hidupku dalam kematianku, dan kematianku ada dalam hidupku”.
Saat matahari membentangkan cahayanya memenuhi sudut bumi, kelelawar-kelelawar itu menyeret Bunglon dari penjara yang menyiksa ke tengah tanah lapang agar merasakan sayatan perih cahaya matahari, siksaan yang sesungguhnya merupakan jalan keselamatan baginya.
Cerita di atas dikisahkan oleh Syaik Al-Isyraq Suhrawardi dalam bukunya Hikayat-Hikayat Mistis. Seperti gelar yang dinisbahkan kepadanya, Syaikh Al-Isyraq, Pembimbing kepada Cahaya, kepada kita ia alirkan energi asyura menulusuri setiap lorong-lorong gelap keimanan kita. Meneranginya dengan serpihan hikmah spiritual yang membentang dari debu tanah karbala hingga ujung langit. Dia tidak saja menyirami kita dengan sinar ruhaniah para syuhada yang gugur, tapi ia juga memperteguh keimanan kita dengan mencelupkan makna pengorbanan Imam Husein dalam relung terdalam batin kita.
Dengan anekdot itu, Suhrawardi seperti memberi pesan bahwa kebenaran yang terkandung dalam asyura harus diceritakan kepada generasi kita dan generasi sesudah kita. Jika asyura masih saja dikubur di dasar bumi, maka kita harus menggalinya dan membawanya ke permukaan. Kita boleh saja mati, tapi asyura tidak boleh mati. Cukup sudah kebohongan direproduksi, saatnya bagi kita untuk mengulang-ngulang kebenaran. Dan kebenaran itu adalah asyura.
Kepada Anda, saya tidak akan merinci peristiwa yang dilupakan orang ini. Orang berusaha melupakan karena bila peristiwa ini dikenang, semangat untuk menegakkan keadilan akan bangkit sepanjang sejarah. Para penguasa di mana pun dan dengan wajah apa pun mereka muncul, mereka tetaplah Firaun yang selalu saja berkepentingan agar semangat ini tidak pernah tumbuh. Oleh sebab itu, membungkam siapa saja yang akan menceritakan peristiwa ini. Berbagai metode ditempuh agar sejarah itu tetap terkubur. Dengan memanfaatkan kebodohan masyarakat, para penguasa yang datang silih berganti merekayasa dan membentuk Bal’am – ulama sewaan untuk merawikan hadis-hadis palsu. Menciptakan intelektual Haman untuk mengkaburkan sejarah dengan mensuburkan paham-paham sesat. Tentang kondisi yang menakutkan sekaligus mengerikan itu, Syariati melukiskan[2], “Ide maupun pikiran dimonopoli oleh aparat pemikir yang dikontrol. Semua orang telah diindoktrinasi, dijejali dan diracuni dengan obat yang disajikan atas nama agama”.
Kondisi seperti inilah sebetulnya yang membuat Imam Husein – kira-kira lebih dari 1356 tahun yang lalu – berangkat dengan serombongan orang kecil untuk menentang kezaliman. Ia berangkat setelah menemukan ulama-ulama tidak lagi berbicara tentang kebenaran. Mimbar-mimbar malah digunakan untuk menebarkan kezaliman. Husein berangkat karena tidak menemukan lagi para intelektual yang mampu menceritakan kenyataan. Sudah begitu banyak orang yang menjajakan kepalsuan. Begitu banyaknya kepalsuan yang ditawarkan sampai kebenaran dan kebatilan tidak lagi dapat dibedakan. Tidak ada lagi garis pemisah yang membedakan fakta dan isu. Keduanya benar-benar menyatu. Inilah era ketika kejahatan berpadu dengan kekuasaan. Melihat praktek-praktek kriminilitas yang meluas, Imam Husein bangkit bersaksi. Dengan berjalan kaki, ia lintasi gurun panas yang membentang dari Madinah hingga Karbala. Dan sampailah pada satu episode yang menggetarkan arsy Tuhan. Dengan penuh keyakinan dan atas nama kakeknya Muhammad SAW, dihadapan penguasa yang korup dan zalim, Imam Husein berdiri tegak menunjukkan kebenaran, demonstrate the truth. Inilah pilihan Imam Husein. Setelah itu terjadilah apa yang sudah dan seharusnya terjadi. Marilah kita dengarkan penuturan Abul A’la Al-Maududi dalam Al-Khilafah wa Al-Mulk[3]:
Lalu mereka memeranginya, sehingga setelah semua kawannya telah gugur sebagai syuhada dan dia berdiri ditengah medan pertempuran sendirian, mereka pun menyerbu dan mengeroyoknya bersama-sama. Ketika dia terluka dan kemudian jatuh, mereka menyembelihnya dan merampok apa saja yang ada di atas jasadnya, mengoyak-ngoyak baju yang menutup tubuhnya, kemudian menggilasnya dengan kuda-kuda dan menginjak-nginjaknya dengan kaki-kaki mereka. Setelah itu mereka beralih ke kemahnya, merampok isinya, mencabik-cabik pakaian para wanita, memenggal kepala-kepala setiap orang yang telah gugur di Karbala dan membawa semuanya itu ke Kufah. Ibn Ziyad tidak hanya cukup menjadikan itu semua sebagai barang tontonan di hadapan orang banyak, tapi bahkan ia naik di atas mimbar Masjid Jami’ dan berkata: “Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang telah menampakkan kebenaran dan ahlinya, memenangkan Amirul Mukminin Yazid dan kelompoknya serta membunuh si pendusta putra si pendusta, Husain bin Ali dan para pengikitunya!” Kemudian penggalan-penggalan kepala itu dikirimkan kepada Yazid di Damsyik, yang pada gilirannya menggantungkannya di balairung istananya dan di berbagai ruang duduknya.
Inilah lembaran hitam yang memilukkan hingga mengiris perih jantung para pencari kebenaran dalam sejarah Islam, tetapi ini juga lembaran cemerlang dalam sejarah para syuhada.
***
Dari Modus Being Hijrah Menuju Modus Becoming
Seperti Al-Hurr yang menghentakkan sanggurdi kudanya dari pasukan Yazid menuju rombongan Imam Husein. Saya pun harus memutar haluan dari kekhawatiran dibungkam habis oleh Muawiyahnis kepada kebahagiaan memenuhi amanah Huseiniyah untuk menyampaikan pesan-pesan dari peristiwa yang memilukan ini apa pun tantangannya. Tak ada lagi kekhawatiran. Tak ada lagi kecemasan. Singkirkan semua kemunafikan sejarah biar semua umat Rasul tahu bahwa kebenaran agama Muhammad telah berdiri di atas pijakan darah manusia suci, Husein bin Ali. Manusia harus tahu, bahwa sejak awal diturunkannya, islam telah diwarnai dengan darah para syuhada. Selalu saja dunia ini akan diisi oleh mereka yang mengilhami keberanian Habil dan atau mewarisi kemunafikan Qabil.
Menurut Ali Syariati[4], ketika membedah manusia–manusia adalah mahluk dua dimensi. Manusia merupakan “lempung dan “ruh Allah” sekaligus. Manusia mempunyai kebebasan untuk memilih apakah terbang ke langit makam khalifah dengan bergerak ke arah “ruh Allah” atau menukik tajam ke bumi hewaniyah dengan mengikuti desakan hasrat “lempung busuk” yang hina. Pertarungan dua unsur itu berlangsung terus-menerus dalam diri manusia. Untuk menjadi manusia ideal, sisi “ruh Allah” harus dimenangkan. Pada pribadinya “ruh Allah” telah memenangkan belahan dirinya yang berkaitan dengan iblis, lempung busuk. Dia telah bebas dari kebimbangan dan kontradiksi antara dua infinita[5]. Karena itu, tak ada lagi pada dirinya kemandegan kecuali pergerakan, kekonstanan melainkan perubahan, kelabilan kecuali keimanan yang teguh, kestabilan kecuali semata-mata kedinamisan meraih janji Tuhannya. Seperti dalam doa[6] Syariati berikut ini:
“Tuhanku, nyalakan api ‘keraguan’ yang suci dalam dadaku, agar semua ‘kepastian’ yang telah ditanamkan orang lain kepadaku terbakar habis. Namun, ketika debu-debunya telah berterbangan menghilang, tersungginglah senyum kasih sayang di permukaan dua bibir ‘fajar, keyakinan yang tak berbercak sedikit pun”.
Manusia ideal adalah insan yang telah bergerak meninggalkan – meminjam istilah Sartre – modus being-nya menuju modus becoming. Seperti yang telah ditunjukkan Imam Husein yang bergerak meninggalkan Madinah yang penuh ‘kedamaian’ menuju Karbala tanah duka dan bencana yang diselimuti kemuliaan. Pertunjukkan itu bukan sekedar aksi tanpa makna spiritual. Aksi itu adalah demonstrasi pengetahuan ruhaniah paling puncak yang pernah dicapai manusia. Sebagaimana yang dikatakan hadis, “Pada setiap kebaikan ada kebaikan yang lebih utama dari itu. Sampai seorang terbunuh di jalan Allah, tidak ada kebaikan yag lebih utama daripada kematian seperti itu”[7]. Manusia harus hijrah jika ingin meneriakkan kebenaran agar kebenaran itu punya landasan yang kokoh. Kebenaran harus berpijak pada yang Divine, pada yang Ilahi. Manusia harus senantiasa melakukan proses evolusi (becoming) menuju Tuhan. Karena hanya dalam modus berada dalam bentuk Insan sajalah manusia memperoleh kebebasan dan mendapat amanat menjadi Khalifah Tuhan.
Menentang kezaliman merupakan proses evolusi untuk menangkap yang Ilahi agar menjadi diri yang menjadi-becoming. Untuk dapat menjadi sebagaimana yang Tuhan firmankan lewat Nabi-Nya. Untuk berakhlak dengan akhlaq Allah. Dalam sabdanya Nabi berkata, “Takhallaqu bi akhlaqillah” – berakhlaklah kamu dengan akhlaq Allah. Imam Husein memilih darah sebagai air wudhu dalam proses insaniyahnya untuk mensucikan najis yang berserakan pada tubuh umat Muhammad. Inilah jalan menuju gelombang revolusi kemanusiaan, yakni bertindak seperti Tuhan. Syariati dengan indah menggambarkan tindakan itu dalam doanya[8];
“Tuhanku, gariskan jalan hidupku, agar ketika ajal tiba aku dapat menggariskan jalan matiku sendiri. Biarkan aku yang memilihnya asalkan Engkau meridhainya.”
Husein Sebagai Citra Diri (Self Image) Para Penegak Kebenaran
Imam Husein mendemonstrasikan penentangannya kepada penguasa untuk menunjukkan kepada umat Muhammad dan makhluk Allah baik dari kalangan jin dan manusia seluruhnya bahwa membiarkan kezaliman berarti mengubur kebenaran. Dan itulah seburuk-buruknya pengkhianatan. Inilah – apa yang disebut Ali Syariati sebagai – kanker Murji’ah. Suatu penyakit yang diderita oleh para sarjana dan para ahli agama Islam palsu; mereka adalah para ahli dakwah Islam, ahli agama, serta para pemuka masyarakat yang culas namun bertopeng kebajikan. Mereka menjadikan posisinya tampak kabur sekaligus merusak dan mengoyak gambaran kedudukan mulia itu. Begitu destruktifnya sampai membuat semua orang tertular dan menderita penyakit yang sama. Syariati berdoa, “Tuhanku, berikan aku keselamatan di tengah bencana besar penyakit kebodohan yang terlupakan karena telah menyerang semua orang. Bahkan, setiap orang yang belum menderita pun tampak sakit. Tuhanku, selamatkan aku dari penyakit “menyembelih hakikat di penjagalan syariat.”
Perlawanan Imam Husein terhadap penguasa pada dasarnya untuk menyelamatkan umat manusia dari desakan hasrat dan bujuk rayu Iblis. Kepada umat kakeknya ia tunjukkan jalan kebenaran yang terbaik yang belum pernah diukir dalam sejarah umat manusia sebelumnya. Inilah yang tidak dimengerti sebagian orang yang mengidap kanker Murji’ah. Syariati dengan jelas membedakan antara orang yang berpengetahuan (ilmuwan-saintis) dengan orang yang tercerahkan (intelektual-rausyan fikr)[9]. Ilmuwan adalah mereka yang memiliki pengetahuan namun tidak memiliki kemampuan mengubah lingkungannya. Sebaliknya, rausyan fikr merupakan manusia yang tidak saja memiliki pengetahuan tapi juga memiliki kecakapan transformatif – mengubah dan menggerakkan manusia lain dan lingkungan sekitarnya. Ilmuwan adalah mereka yang – dalam pandangan Freire – memiliki kesadaran Magic sedang rausyan fikr adalah manusia yang telah sampai pada kesadaran kritis-transformatif. Suatu kesadaran paling tinggi dalam tahap yang dapat diperoleh manusia.
Fakta sejarah telah merebahkan dirinya sebagai kenyataan yang tak dapat dipungkiri. Asyura kini telah menjadi momen yang mengembalikan dan mengantarkan umat manusia pada kesadaran kritis-transformatif (Critical-Transformative Conciusness). Di mana saja Asyura telah menjadi simbol perlawanan kepada penguasa zalim. Benar bahwa jasad Imam Husein terkubur, tapi jiwanya ‘gentayangan’ mengilhami para pencintanya sehingga penguasa mati karena ketakutan akan kebangkitan kebenaran. Dengarkan apa yang disampaikan Imam Khomeini dalam khutbahnya ketika mengantarkan jenazah Muthahhari:
“Ketahuilah wahai mereka yang berkehendak buruk! Islam tumbuh melalui pengorbanan dan kesyahidan putra-putra tercintanya. Sejak pertama diwahyukan hingga kini, Islam selalu diwarnai syahadah dan heroisme”[10].
Di tengah-tengah umat yang dirundung kemalangan demi kemalangan, Jiwa Kebenaran itu datang memberi harapan. Di tengah-tengah umat yang sudah kehilangan keberanian, Asyura menggaung di setiap pelosok negeri meneriakkan kebenaran. Jutaan kaum Muslimin seluruh dunia menemukan semangat mereka kembali setelah membaca kisah yang memilukan ini. Melalui asyura, jutaan mustadhafin menemukan diri mereka kembali. Para ahli komunikasi menyebut fenomena ini sebagai looking glass self (cermin diri)[11]. Kaum tertindas itu menemukan diri mereka yang hilang pada pribadi Imam Husein. Dalam teori sosiologi, peristiwa asyura menjadi interaksionisme simbolik[12] bagi kaum mustadhafin dan para pecinta kebenaran. Mereka mendefinisikan diri mereka melalui pribadi agung Imam Husein. Kaum tertindas di dunia menjadikan asyura bukan sebagai ritual suci perlawanan terhadap thaghut semata tapi juga merupakan konstruksi citra diri yang sesungguhnya. “Saya adalah apa yang saya pikir tentang Imam Husein berpikir tentang saya”. Dan Imam Husein menginginkan Anda, saya dan kita sebagai manusia yang merdeka dari perbudakan sesama manusia.
Setelah ratusan tahun merintih dalam gelombang penindasan yang tak kunjung berhenti, pemimpin para syuhada yang sejarahnya dikubur penguasa ini menyuarakan hati nurani mereka. Ia berbicara kepada dunia tentang kebenaran Islam tidak dengan suara memelas. Ia tidak mengemis minta belas kasihan. Ia tidak merendahkan suaranya karena takut pembalasan. Ia membentak musuh-musuh umat dengan suara lantang. Dunia pun mendengar suara Islam yang menggetarkan, menggerakkan, membangkitkan, dan menghidupkan. Saya ingin mengakhiri tulisan ini dengan puisi dari Adhi Masardi. Simaklah dan jadikan puisi ini sebagai api Tauhid yang menyala dalam dada Anda sebagai seorang Muslim yag merindukan kebenaran;
Maka bila negerimu dikuasai para bedebah
Jangan tergesa-gesa mengadu kepada Allah
Karena Tuhan tak akan mengubah suatu kaum
Kecuali kaum itu sendiri mengubahnya
Maka bila melihat negeri dikuasai para bedebah
Usirlah mereka dengan revolusi
Bila tak mampu dengan revolusi, dengan demonstrasi
Bila tak mampu dengan demonstrasi, dengan diskusi
Tapi itulah selemah-lemahnya iman perjuangan.
[1] Shawni, “Iblis Menggugat Tuhan: Mandness of God”, Jakarta: Dastan Books, 2005, h. 9
[2] Dr. Ali Syariati, “Kemuliaan Mati Syahid”, Jakarta: Pustaka Zahra, 2003, h. 83.
[3] Jalaluddin Rakhmat, “Islam Aktual: Refleksi Sosial Seorang Cendekiawan Muslim”, Bandung: Mizan, 2004, h. 284.
[4] Dr. ‘Ali Syari’ati, “ Paradigma Kaum Tertindas: Sebuah Kajian Sosiologis Islam”, Jakarta: Al-Huda, 2001, h. 79.
[5] Ekky Malaky, “Ali Syari’ati: Filosof Etika dan Arsitek Iran Modern”, Bandung: Teraju, 2004, h. 109.
[6] Dr. Ali Syariati, “Makna Doa”, Jakarta: Pustaka Zahra, 2002, h. 81.
[7] Jalaluddin Rakhmat, “Meraih Cinta Ilahi: Pencerahan Sufistik”, Bandung: Rosdakarya, 2005, h. 349.
[8] Dr. Ali Syariati, “Makna Doa”, Jakarta: Pustaka Zahra, 2002, h. 88.
[9] Dr. Ali Syari’ati, “Membangun Masa Depan Islam”, Bandung: Mizan, 1998, h. 27.
[10] Murtadha Muthahhari, “Kritik Islam Terhadap Materialisme”, Jakarta: Al-Huda, 2001, h. 11.
[11] Jalaluddin Rakhmat, “Psikologi Komunikasi”, Bandung: Rosdakarya, 2004, h. 99.
[12] Pip Jones, “Pengantar Teori-Teori Sosial”, Jakarta: Yayasan Obor, 2003, h. 142.