Oleh : Muhammad Taqi Misbah
Salah satu persoalan yang sering menggelayuti pikiran saya ketika merenungi peristiwa Karbala adalah bagaimana bisa orang-orang seperti Umar bin Sa’d bin Abi Waqqash memerangi Husain bin Ali bin Abi Thalib? Apakah orang seperti Sa’d bin Abi Waqqash tidak mendidik putranya Umar untuk menghormati putra-putra Ali? Kemungkinan ini rasanya agak sulit mengingat dalam salah satu kesempatan, Sa’d pernah berkata, “Seandainya aku diberi salah satu dari banyaknya keutamaan yang dimiliki Ali, niscaya itu cukup bagiku.” Lagi pula, bukankah sebelum “berduel” dengan pasukan Umar, Al-Husain mengingatkan kepada calon pembunuhnya bahwa dirinya adalah putra Ali dan Fatimah, cucu Nabi SAW sehingga diharapkan mereka dapat berpikir lebih jauh terhadap niat mereka untuk “menghabisi” dirinya.
Dalam hal ini penulis ingin menyatakan bahwa adalah imingan harta duniawi yang ditawarkan kepada Umar cs-lah yang menjadikan mereka bersedia menumpahkan darah Husain.
Umar bin Sa’d bukan orang biasa. Ayahnya termasuk komandan tempur terkemuka di zaman para khalifah. Dialah yang memimpin penaklukan Iran dan Irak. Sekali lagi, Umar bukanlah orang biasa. Sejarah menceritakan, Umar dikelilingi ribuan pendukung dan dia sendiri adalah calon Gubernur Iran. Ketika itu, Iran merupakan negeri impian dan Umar dijanjikan oleh Yazid Gubernur Ray, Ibukota Iran. Zaman Umayyah, gubernur bukan sekedar pelaksana undang-undang, melainkan juga penguasa harta dan Baitulmal. Seorang gubernur dapat membelanjakan uang rakyat sesuka hatinya. Intinya, penguasa di zaman itu, adalah seorang diktator. Zaman itu (dan zaman ini pun), kapital (baca: uang) banyak berbicara. Iman dapat dengan mudah dilepas dengan sebidang tanah, bangunan, ratusan atau ribuan binatang ternak. Intinya, ada duit, segala hal akan berjalan mulus. Penting bagi kita untuk merenungkan semangat Asyura dalam konteks modern.
Di Pihak Manakah Kita?
Pertanyaan pertama yang terlontar adalah mengapa tragedi Karbala itu terjadi? Namun, yang lebih penting dari itu adalah, apakah kita ini tidak termasuk sebagai penduduk Kufah? Di barisan pasukan sahabat Sayyidina Husain ataukah pasukan Kufah? Selama ini, kita anggap penduduk Kufah sebagai pengkhianat dan slogan kita adalah “kami bukan warga Kufah yang menelantarkan Ali sendirian.” Saya yakin, rakyat kita meneriakkan slogan ini dari lubuk hati mereka. Namun putaran roda kehidupan akan menciptakan kejadian-kejadian yang bisa mengubah akidah manusia. Sebelum ini, ada orang-orang yang juga meneriakkan syiar ini, tetapi kemudian mereka berbalik dari keyakinan mereka. Yang harus dipikirkan oleh kita adalah seandainya kita berada di zaman Sayyidina Husain, di manakah kita? Apakah kita termasuk tujuh puluh dua sahabat Al-Husain atau barisan puluhan ribu pasukan Syam dan Kufah atau orang-orang yang bersikap netral?
Memang dalam doa ziarah, kita sering katakan, “Andai saja kami bersama kalian hingga kami dapatkan keberuntungan besar.” Mungkin kita memang harapkan hal ini. Tapi, apakah kita yakin kita tetap netral meski tidak memerangi Al-Husain? Seperti yang kita ketahui, ada sebagian orang yang diajak Sayyidina Husain untuk menyertainya. Sebagian mereka, seperti Ubaidillah bin Hur Ja’fi, adalah sahabat Sayyidina Ali Kw. Al-Husain pergi menemuinya dan mengajaknya ikut serta. Menanggapi ajakan beliau, dia katakana, “Aku serahkan kuda dan pedangku untuk Anda gunakan.” Al-Husain menjawab, “Ambil pedang dan kudamu dan hengkang dari sini! Bila kau tetap di sini dan mendengar seruan minta tolong kami, namun kau tidak bantu kami, sungguh kau akan kekal di neraka. Pergi dari sini supaya tak kau dengar seruan minta tolong kami!” Andai kita hidup di zaman itu, apakah kita yakin akan lebih baik dari Ubaidillah bin Hurr?
Bila kita ingin menguji diri kita, harus kita lihat apakah ada kondisi yang serupa dengan zaman itu di masa sekarang? Bila ada, berpengaruhkah dampak buruknya pada diri kita? Apakah kecenderungan masyarakat kita berbuat dosa lebih kecil atau malah lebih besar? Pada tahun-tahun ini, apakah acara hura-hura semakin bertambah atau tidak? Benarkah keyakinan masyarakat terhadap Islam semakin kuat atau sebaliknya? Bila majelis-majelis duka di rumah kita berganti dengan acara lain, di saat itu kita harus ragukan kesetiaan kita terhadap Sayyidina Husain. Bisakah kita anggap diri kita termasuk sahabat beliau? Bila tidak, apa sebabnya? Sebabnya, sama dengan faktor-faktor yang membuat penduduk Kufah menyimpang di zaman itu. Bila faktor-faktor itu ada di tengah masyarakat, kita harus mengkhawatirkan penyimpangan masyarakat kita. Semoga hal ini tidak terjadi. Namun, kita harus tetap mewaspadai timbulnya faktor-faktor ini.
Salah satu faktornya adalah lemahnya budaya berpikir. Bila akidah kita tidak berdasarkan logika dan kita tidak punya argumen kebenaran akidak kita, harus kita khawatirkan masa depan kita. Kenapa kita tidak lakukan pengkajian? Karena kita tidak telaten. Kita hanya tahu di zaman gaibnya Imam, kita harus taati wali faqih. Tapi kita tidak tahu dalilnya. Ketika kita tidak tahu dalilnya, akidah kita akan goyah di hadapan sebuah syubhat. Para wali Allah selamat menghadapi syubhat karena keyakinan mereka dan akidah mereka berdasarkan argumen yang kuat dan kokoh. Ketika syubhat-syubhat menyebar di tengah masyarakat dan tidak ada yang tergerak untuk menjawabnya, kita harus khawatir tertimpa bencana yang menimpa penduduk Kufah. Bila hukum-hukum Allah diinjak-injak dengan alasan menjaga jiwa “toleransi,” lalu kita duduk berdiam diri, niscaya suatu saat nanti orang-orang akan berbaiat dan mengakui kepemimpinan orang seperti Yazid. Kalau bukan karena mental toleransi dan kemasabodohan masyarakat, apalagi yang bisa menyebabkan orang seperti Yazid dibaiat? Orang-orang yang ingin mendirikan Yazidisme di negara ini menyebarluaskan semangat toleransi dan ketidakpedulian di tengah masyarakat. Toleransi adalah awal budaya anti agama. Bila kita acuhkan hukum agama dan kita katakan tidak boleh ikut campur urusan orang lain, niscaya kita akan sama seperti penduduk Kufah. Padahal bisa dikatakan bahwa penduduk Kufah di zaman itu lebih baik dibanding penduduk kota lain. Kondisi penduduk Madinah membuat Sayyidina Husain putus asa mengharap bantuan mereka karena sejak awal, mereka telah berbaiat kepada Yazid. Sedangkan pada mulanya, penduduk Kufah mengundang Al-Husain untuk dibaiat sebagai khalifah.
Faktor penting lain terjadinya tragedi Karbala adalah melemahnya pondasi akidah dan asas pikiran kaum Muslim di zaman itu. Sekarang ini, kita harus ambil pelajaran dari sejarah. Bila kita pendukung setia wali faqih, keyakinan kita harus berdasarkan argumen. Kita harus pelajari dalil-dalil kewajiban menaati wali faqih. Bila ini tidak kita lakukan, akidah kita akan goyah di hadapan sanggahan kritis dan syubhat. Bila seorang remaja berusia tigabelas tahun mengikat granat di pinggangnya dan pergi ke bawah tank (menyinggung Syahid Husain Fahmide, remaja usia belasan tahun yang tidur di bawah tank tentara Irak dan meledakkannya) karena ia yakin di saat syahadah, kepalanya berada di pengkuan Imam Husain. Namun bila dikatakan bahwa keyakinan semacam ini hanya sebuah slogan emosional dan retorika belaka, ini sama dengan ucapan Abu Sufyan bahwa tidak ada surga dan neraka.
Bila seorang dosen berkata, “Firman Tuhan tidak selalu benar dan kita tidak punya bukti atas kebenaran firman-Nya,” atau bila seorang ulama mengatakan, “Al-Quran bisa saja dkritisi dan tidak semua isinya benar,” kemudian kita hanya menyimak lantas berdiam begitu saja, apakah dengan cara ini kita cukup yakin menjadi bagian dari tujuh puluh dua sahabat Imam Husain?
Sejarah yang besar dan Asyura yang agung mengajarkan kepada kita satu dari sekian pesan-pesannya yang besar dan agung, bahwa kita harus berupaya mengokohkan akidah lewat acara-acara keagamaan yang bermutu. Berikutnya, ada sisa tanggung jawab yang harus kita pikul, yaitu menjaga nila-nilai dan pergerakan Islam tetap hidup.
(Diterjemahkan oleh Ibrahim Al-Habsyi dkk – Majalah Syiar)