Irfan & Akhlak

Kemenangan Rahmah atas Ghadhab (1)

Oleh : Syaikh Jawadi Amuli

 

Pelajaran yang dapat dipetik dari manusia ilahi (manusia suci) adalah bahwa rahmat mereka mengalahkan murka mereka. Mereka adalah manifestasi Allah SWT yang rahmat-Nya mengalahkan ghadhab-Nya. Ini berarti, rahmah adalah imam dari amarah, dan amarah adalah makmum dari rahmah, dan, setiap makmum pasti memiliki warna celupan imamnya. Dengan begitu, makmum juga memiliki celupan sifat maaf dan kasih sayang. Demikian pula, kemurkaan mereka pada hakikatnya adalah perwujudan rahmat.

Allah SWT memiliki jamal (keindahan) dan jalal (keagungan). Jamal-Nya adalah sebuah sifat (yang menggambarkan) kemurkaan. Jikapun jamal dan jalal (dianggap) berlawanan, namun jamal-Nya yang mutlak tidak memiliki antonim (lawan kata). Sementara, sifat jalal meiliki antonim, yaitu jamal muqayyad (bukan jamal mutlak). Dan, jamal mutlak adalah sama dengan rahmat mutlak dan hidayah mutlak yang sama sekali tidak memiliki antonim. Jadi, Zat Mahasuci adalah jamal mahdh (jamal murni) dan semua af’al (perbuatan)-Nya adalah jamil (indah).

Oleh karena itu, sebagaimana  penjelasan sebelumnya, pabila Allah memerintahkan qishash (maka Allah berfirman) :

 

Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal.”(Al-Baqarah : 79)

 

Artinya, “Lantaran Aku menyayangi umat manusia, maka Aku syariatkan hukum qishash itu,” demikian pula, manakala Allah memerintahkan perang dan jihad (maka Allah berfirman):

 

Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu.(Al-Anfal : 24)

 

Walaupun secara lahir qishash adalah eksekusi, akan tetapi realitasnya adalah bahwa qishash merupakan faktor yang menjamin kehidupan umat manusia. Demikian juga dengan jihad dan difa’. Meskipun secara lahir dalam difa’ dan jihad sebagian orang akan mati syahid, namun (pada hakikatnya) mereka membangkitkan ruh kebebasan umat dan melenyapkan ruh kehinaan dan penyerahan pada kezaliman. Semua itu bermuara pada sifat jamal itu sendiri. Dengan demikian, jamal mutlaq tidak memiliki antonim, sedangkan jamal muqayyad  memilikinya.

Ketika manusia-manusia memiliki akhlak ilahi, maka rahmat dan jamal mereka merupakan pemimpin atas semua perkara dan sifat mereka. Dan, semua perkara dan sifat seorang insan kamil adalah umat bagi sifat agungnya itu (sifat mutlak). Pabila rahmat menjadi pemimpin amarah, maka semua perbuatan insan arif kamil adalah rahmat. Perang dan difa’nya berwajah rahmat. Bilamana hendak ke medang perang, ia berdoa. Sesampainya di sana, ia berharap mati terbunuh. Doanya sebelum berperang dan harapannya setelah berperang adalah irfani.  Perang seorang ’arif diliputi oleh harapan atau doa. Sebab irfan, rahmat, dan jamal adalah penanggungjawab atas semua urusan hidup, perang dan shulh (perdamaian) seorang ‘arif.

Imam Ali, yang merupakan figur agung dalam hal semangat juang memerangi kekufuran, kemunafikan, dan kezaliman, adalah juga figur luhur pemaaf dan kasih sayang. Terdapat banyak doa yang beliau lantunkan dalam peperangan; salah satunya adalah, “Ya Allah, pabila kami menang di medang pertempuran, (maka) berilah kami taufik (sehingga) tidak menjadi marah, murka, dan dendam. Dan pabila musuh yang menang, maka matikanlah kami sebagai syahid. (Nahj al-Balaghah,khutbah ke171). Maksudnya, “Ya Allah, pabila kami menang, maka cegahlah agar jangan sampai kami melampaui batas kebenaran dan keadilan. Kami berperang bukan untuk kepentingan pribadi, tetapi dalam rangka mencapai ridha-Mu; kami berperang untuk membela agama-Mu. Pabila kami yang menang, maka cegahlah agar jangan kebencian menguasai kami!.

          “Pabila kami menang, maka kami benar-benar berada dalam kebenaran dan selamat dari kezaliman. Dan jika mereka yang menang dan kami terbunuh, maka matikanlah kami sebagai syahid. Ya Allah, kami tidak ingin berperang hanya untuk air, tanah dan kecenderungan biologis. Kami ingin membuktikan bahwa kalimatullah hiyal ulya (kalimat Allah agung nan tinggi) dan kalimatuzh zhalimin hiyas sufla (kalimat kaum zalim rendah dan hina). Kami berperang untuk menghidupkan kebenaran dan menghancurkan kebatilan, di bawah naungan kebebasan tanah air dan umat.’

Pabila peperangan melawan musuh itu terjadi setalah jamal menjadi pemimpin urusan kita, dan rahmat mengalahkan amarah kita, maka kematian kita adalah syahid dan kemenangan kita adalah seorang ‘arif. Semua ‘arif  yang memiliki semangat kepahlawanan (hamasah) di medan perang, (wajah) mereka penuh dengan harapan. Saat meraih kesyahidan, mereka akan berkata “Fuztu wa rabbil ka’bah (demi Tuhan Ka’bah, saya berhasil meraih kemenangan).”

Ya, tujuan kita bukanlah agar kita tetap hidup, tetapi untuk menghidupkan umat; entah dengan membunuh atau terbunuh. Ungkapan fuztu wa rabbil ka’bah ini sebenarnya telah terungkap kala Imam Ali belum meraih kesyahidan. Salah seorang murid beliau, ketika syahid di sebuah peperangan, juga pernah mengungkapkan kalimat ini. Jadi, Imam Ali bukanlah orang pertama yang mengungkapkan pernyataan tersebut. Artinya, ungkapan fuztu wa rabbil ka’bah bukan khusus (milik) Imam Ali.

Imam Ali memiliki banyak maqam, sebagaimana disinggung dalam wasiat politik Imam Khomeini tentang sulitnya menjelaskan kedudukan Al-Quran dan itrah (keturunan suci) Nabi SAW. Menjelaskan asrar (rahasia-rahasia) spiritual dan maknawi Al-Quran dan ‘itrah, adalah hal yang mustahil, paling tidak, sulit sekali.

Sayangnya, ketika Imam Ali ditebas (dengan sebilah pedang) dan kemudian syahid, yang terungkap dari lisan beliau adalah kalimat sederhana; fuztu wa rabbil ka’bah. Pabila kita mempelajari murid-murid khusus beliau, maka kita akan menemukan bahwa sebagian mereka pernah mengungkapkan kalimat tersebut. Dengan demikian, dapat kita pahami bahwa maqam Imam Ali (sebenarnya) lebih (agung) dari kalimat tersebut. Sehingga, pabila orang berharap mencapai maqam beliau di alam malakut atau jabarut, mereka akan berkata “Apabila saya dekati anmalatan (seujung jari) saja, niscaya saya akan terbakar.” (Bihar al-Anwar, Jus VI, hal.23 dan Kasyf al-Asrar,hal.55) jadi, bilamana rahmat seseorang mengalahkan ghadhabnya, maka rahmatnya akan memimpin ghadhabnya. Dan dalam konteks bughdh (kebencian) karena Allah, ini akan terekspresi dengan semangat perangnya.

Sekarang, harus kita kaji, bila seseorang arif telah menjadi, apakah itu merupakan hal yang bersifat pribadi dan khusus? Atau, apakah itu bersifat umum dan untuk umat? Seorang insan kamil  adalah rahmatan lil alamin. Jika demikian, maka rahmatnya “mengungkungi” orang-orang yang menzalimi kaum salikin. Sementara itu, setan dan keturunannya merintangi jalan kaum salikin;.

 

Saya benar-benar akan (menghalangi-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus.(Al-A’raf:16)

 

Bentuk ancaman setan adalah, “Akan saya duduki jalan dan hati mereka, agar saya dapat membelenggu mereka. Pabila telah terbelenggu, saya akan menunggangi mereka. Dan saya akan menguasai dan mengendalikan mereka;niscaya benar-benar akan aku sesatkan keturunannya, kecuali sebagian kecil.”(Al-Isra’:62). Jadi, terdapat dua jenis ancaman setan; pertama, menduduki ujung jalan salikin dan mendiami hatinya, kedua, mengendalikan dan menarik tali kekang sekehendaknya.

Auliay’ (para wali) Allah adalah mazhhar (manifestasi) Allah SWT, dan rahmat mereka diperuntukkan bagi seluruh umat. Mereka harus menggusur para pengganggu umat manusia. Dan ini tidak akan terealisasi tanpa mencampakkan setan yang bersarang di dalam maupun di luar (dirinya). Sementara, mencampakkan setan lahiriah tanpa peperangan adalah hal yang mustahil. Tanpa berperang, musuh tidak mungkin dapat dimusnahkan.

Pada dasarnya, semua usaha, upaya, dan kehidupan setan diarahkan untuk memerangi kemanusiaan. Sementara, para nabi yang merupakan rahmatan lil ‘alamin dan para insan yang berakhlak ilahiyah yang merupakan rahmat bagi umat manusia, harus melenyapkan kaum muzahimin (para pengganggu) tersebut. Tentu saja, kaum ‘arifin yang menjiwai semangat kepahlawanan tidak akan melarikan diri dari peperangan ini. Namun, peperangan bagi mereka adalah pakaian rahmah dan merupakan ibadah. Dan doa Imam Sajjad —– sebagaimana penjelasan sebelumnya—– untuk para pejuang ini, menunjukkan bahwa rahmah mengalahkan ghadhab (mereka). Mengapa Imam Sajjad mendoakan mereka?  Sebab, rahmah pribadi agung ini telah lebih dulu mengalahkan ghadhabnya.

Doa Imam Sajjad  itu adalah, “Ya Allah, arifkanlah para pejuang (Islam).“ Ya setelah berperang, maka yang pertama (harus diraih) adalah ‘irfan kemudian hamasah. Bagian terpenting doa tersebut adalah masalah tahdzib al-nafs, tazkiyah al-akhlaq, tarbiyah al-nafs dan tathhir al-qalb (penyucian jiwa, akhlak dan hati.). “Ya Allah, (bagi) orang-orang yang berjuang dan berperang dalam menjaga dan membela negeri Islam, hanyutkanlah hati mereka dalam zikir kepada-Mu. Keluarkanlah kecintaan terhadap dunia dari dalam hati mereka dan hapuslah keterikatan hati mereka terhadap rumah dan kampung halaman.” Inilah doa seorang ‘arif yang bernuansa irfan.

‘Arif adalah seorang yang kasih sayangnya mengalahkan amarahnya, karena itu rahmah adalah imam dari ghadhabnya, sedangkan semangat juang dan amarahnya adalah makmum dari rahmah dan makrifahnya. Dan, setiap makmum tercelup oleh imamnya. Peperangan seorang arif bernuansa irfan. Orang biasa (non-arif) berperang untuk memperoleh air, tanah, dan lautan (perluasan kekuasaan), serta terobsesi oeleh perempuan dan anak. Pabila semua itu sirna dari pikirannya, ia tidak akan berperang. Seorang pejuang biasa, manakala tidak memiliki ingatan akan negara, isteri dan anaknya, tidak akan mengangkat senjata. Takkan ada motivasi untuk berperang bila tambang minyak telah hilang dalam pikirannya.

Adapun seorang ‘arif hamasi, tatkala mengangkat senjata, semua masalah dunia memang berada dalam pikirannya, namun ia tidak akan berperang untuk memperoleh (keuntungan) dunia. Ia akan berkata, “Agar kalimat Allah itu tinggi dan kalimat orang-orang kafir itu menjadi hina.’ (Nahj al-Balaghah, hikmah ke-373). (Bersambung…..)

Komentari Artikel Ini

comments

https://pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js
%d blogger menyukai ini: