oleh : Syaikh Jawadi Amuli
Di dunia ini, tiada seorang ahli makrifah pun yang mampu menandingi para nabi, dan tak seorang pun yang mampu menyamai mereka yang bangkit dan berjuang, baik secara politik maupun hukum. Tentang mereka, Al-Quran menyatakan:
“Dan berapa banyaknya nabi yang berperang bersama-sama sejumlah besar dari pengikutnya yang bertakwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka dijalan Allah, dan tidak lesuh dan tidak pula menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Imran : 146)
Sebab, ishlah al-ummah (upaya memperbaiki umat) membutuhkan kekuatan orang-orang yang memiliki kemampuan. Ya, upaya ini tidak cukup hanya dengan nasihat, tetapi juga (terkadang meniscayakan terjadinya) peperangan! Seseorang yang handal dalam medan pertempuran adalah seorang ahli makrifah. Seseorang, yang tidak mengenal takut dan memandang bahwa kematian merupakan peralihan dalam memasuki kehidupan yang baru.
Agar merindukan kematian, manusia harus memahami secara benar (apa yang akan terjadi) setelah kematian. Ia harus memahami apa yang akan terjadi dalam kematian? Apakah seperti sebatang pohon yang kering dan tumbang, dan setelah itu tidak terjadi apa-apa? Atau, seperti seekor merpati dalam sangkar, yang pintunya terbuka, dan ia keluar serta terbang dengan bebas di langit biru? Kematian adalah kebebasan bagi (seseorang) yang memiliki jiwa seperti merpati. Apakah pemikiran, pandangan, ruh, dan keutamaan spiritual akan mengalami kematian? Tidak, semua tak kan mati.
Dengan demikian, jelaslah bagaimana Imam Khomeini menggabungkan munajat denganhamasah dan jiwa pantang menyerah. Di satu sisi, terungkap (betapa besar) ketundukan beliau di hadapan Tuhan, dan di sisi lain, betapa keras penentangan beliau terhadap kekuatan-kekuatan zalim dengan seluruh kemampuan beliau. Dan Imam mengajak kita kepada dua sisi tersebut.
Imam Ali menasihati kita, “Mohonlah kalian kepada Allah agar mencapai kedudukan syuhada.”Siapakah syuhada itu? Mereka adalah orang-orang yang meninggalkan pesan menggembirakan bagi orang-orang yang hidup. Mereka berkata kepada orang-orang yang (masih) hidup, “Tahukah kalian, apa yang Allah katakan kepada kita?” Orang yang syahid senantiasa berkata, “Andai mereka yang hidup mengetahui betapa bahagianya aku!” Ya, sang syahid tidak (pernah) merasakan kesedihan.
Dalam pada itu, agama mengajarkan kepada kita agar “tidak sabar menanti kesyahidan”. Dan, agar kita berkata kepada mereka yang syahid, “Andai kami seperti kalian yang (telah) syahid!” “Seandainya saya bersama kalian, niscaya saya akan berhasil bersama kalian di surga; Bersama syuhada dan orang-orang saleh; dan mereka adalah sebaik-baik sahabat.” (Mafatih al-Jinan), ziarah Imam Husain di hari Arafah. Dan, mereka (syuhada dan shalahin) juga berkata, “Seandainya kalian datang dan menjenguk (kami).”
Telah kami katakan, bahwa “kebutuhan” (kepada Tuhan) itu bertingkat-tingkat, mulai dari tingkatan iman sampai ihsan, dan dari tingkatan ihsan sampai iqan (yakin). Seorang hamba yang menjangkau rahasia-rahasia gaib dari kejauhan, adalah seorang mukmin yang melihat hakikat secara abstrak. Tingkatan di atasnya adalah ihsan, dimana seseorang menyembah Allahka’anna (seakan-akan) ia melihat-Nya. Manakala pemilik ka’anna ini sempurna, maka ka’annameningkat menjadi inna (sesungguhnya).
Misal, Haritsah bin Zaid berkata, “Seakan-akan saya melihat ‘Arsy Allah. Seakan-akan saya melihat surga dan penghuninya; seakan-akan saya melihat neraka dan penghuninya.” Dan orang yang tingkatannya melebihi Haritsah berkata, “Saya melihat ‘Arsy Allah dan saat inipun saya melihat semua itu.” (Ushul al-Kafi, Juz II, bab Haqiqah al-Iman). Al-Quran mengajarkan tentang ini dan menjanjikan:
“Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin, niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahannam. Dan sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan ‘ainul yaqin. Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu).” (QS. Al-Takatsur : 6)
Dalam Doa Arafah, Sayyid al-Syuhada (Imam Husain) berseru, “Ilahi, berilah aku taufik (sehingga) takut kepada-Mu.” Inilah doa ‘arif yang “memberi”. Doa ini menyatakan, “Ya Allah, jadikanlah aku takut kepada-Mu, agar aku tak berbuat maksiat.” Ketakutan di sini bersifat ‘aqli(rasional). Adapun, seorang yang bukan ‘arif, dalam doanya akan berkata, “Ya Allah, berilah aku..!” Inilah doa seseorang yang “meminta”. Dan ketakutan di sini bersifat nafsani(psikologis)
Nabi SAW dalam doanya berseru, “Ya Allah, berilah kami sesuatu yang menghalangi kami dari maksiat kepada-Mu, lantaran (kami) takut kepada-Mu.” Artinya, “Ya Allah, berilah aku taufik (sehingga) takut kepada-Mu.”, di mana (dengan begitu) aku tidak akan berbuat maksiat kepada-Mu.” Jadi, yang beliau minta adalah “takut”, bukan “jaminan keamanan” di mana bila ia berbuat maksiat, Allah akan memaafkannya. Yang dimohon adalah jiwa yang takut kepada Allah, sehingga tidak sampai berbuat buruk. Ya, yang diminta bukanlah agar Allah tidak memasukkannya ke neraka lantaran perbuatan maksiatnya.
Perbedaan antara dua bentuk doa tersebut sungguh sangat jauh. Doa yang terlontar dari kezuhudan adalah “Ya Allah, berilah…” Sementara yang lahir dari keirfanan adalah, “Ya Allah, ambillah…” Doa zahid (orang yang zuhud) mengharapkan ketenangan hati dari Allah, sedangkan doa ‘arif mempersembahkan ketenangan dan zikir hati kepada Allah. “Ya Allah, guncangkan hatiku lantaran takut kepada-Mu.”
Dengan demikian, semua doa dapat kita lihat kandungannya; yakni bahwa tangan ‘arif adalah tangan yang memberi, yang berkata, “Ya Allah, karuniakanlah aku kesyahidan.” Sementara tangan zahid adalah tangan penerima atau pengambil, yang berkata, “Ya Allah, jangan turunkan keharusan berperang kepada kami; berilah kami keamanan.”
Disebutkan dalam sirah Nabi SAW bahwa beliau, setiap hari setelah shalat subuh, duduk-duduk di mesjid sampai matahari terbit; untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan para sahabat. Suatu hari, Rasulullah SAW melihat seorang pemuda yang sedikit waktu tidurnya. Lantaran sering bangun malam, wajahnya pucat dan matanya cekung.
Rasulullah SAW bertanya, “Bagaimana keadaan Anda hari ini, wahai anak muda?” “Saya berada dalam keyakinan, wahai Rasulullah!” jawabnya. Sebenarnya, beliau SAW tidak menanyakan keadaannya, sehingga mungkin akan dijawabnya dengan, “Keadaan saya baik-baik saja!” Namun, pertanyaan Rasulullah SAW menyangkut tingkatan spiritualnya. Dan, pemuda itu menjawab bahwa ia telah mencapai tingkatan yaqin.
Percakapan di atas menggambarkan bentuk hubungan (ibarat) murid dengan gurunya dan hubungan (ibarat) pasien dan dokternya. Ya, rahasia (ibadah) dan hikmah ahli makrifah berbeda dengan ahli adab, sebagaimana ungkapan rahasia ahli makrifah berbeda dengan ahli syariat. Jadi setiap bidang berada di tangan (khusus) ahlinya dan tidak untuk semua orang.
Ya, manakala Rasulullah SAW bertanya kepada pemuda yang taat tersebut, “Bagaimana keadaan Anda (pagi ini)?” Artinya, “Anda sedang dalam keadaan bagaimana?” Ia menjawab , “ Dalam keadaan yaqin!.” Nabi SAW bertanya kembali, “Setiap hakikat memiliki tanda, lantas apa tanda keyakinan Anda?” Ia berkata, “Pada pagi hari ini, saya seakan melihat ‘Arsy Allah dengan jelas. Saya melihat maqam kekuasaan Tuhan! Saya melihat surga dan penghuninya; neraka dan penghuninya.”
Keadaan semacam itu, ia ungkapkan kepada Rasulullah SAW dan beliau membenarkan ucapannya. Rasulullah SAW berkata (tentangnya), “Seorang hamba yang hatinya disinari Allah dengan cahaya keimanan.” Artinya, apabila hati tersinari (dengan cahaya keimanan), maka ia menjadi hamba Allah (yang sejati). Sebab, ia benar-benar hamba Allah yang merdeka dan bebas. Ya, manusia takkan terikat pada dua hal (secara bersamaan):
“Allah sekali-kali tidak menjadikan seseorang dua buah hati dalam rongganya.”
(QS. Al-Ahzab : 4)
Manakala manusia mencintai dunia, maka ia tidak akan lagi mencintai Allah. Ia tidak bisa berada pada dua tempat; satu di dunia dan satu lagi di bawah lindungan dan inayah Allah. Apabila manusia terikat oleh dunia, ia bukan hamba Allah. Rasulullah SAW lantas berkata kepada pemuda ahli yaqin tersebut, “Maka tetaplah (demikian)!” Artinya, “Teruskan perjalanan Anda.” Dan Rasulullah SAW juga membenarkan keirfanannya, yakni, “Anda adalah seorang ‘arif.”
Adapun tentang pemuda di atas, Rasulullah SAW berkata, “Seorang hamba yang diterangi hatinya dengan keimanan” Setelah itu, pemuda tersebut berkata kepada beliau, “Doakanlah saya, agar keinginan saya dikabulkan!” Nabi SAW bertanya, “Apa yang Anda inginkan?” “Saya ingin mati syahid! Saya tidak ingin mati lantaran kelemahan dan penyakit,” jawabnya. Artinya, “Badan saya ini adalah saham, dan tidak akan saya jual lantaran sakit. Saya kan serahkan ia di jalan Sang Kekasih (Allah).”
Itulah harapan dan doa seorang ‘arif. Itulah pula hubungan irfan dengan hamasah. Ia telah mencapai, baik makrifah maupun hamasah. Hubungan makrifah dengan berjuang melawan kezaliman sangatlah erat. Seorang ‘arif berani bicara, berteriak, dan menantang kezaliman, demikian pula sebaliknya. Kemudian, Rasulullah SAW mendoakan pemuda tersebut sehingga akhirnya mati syahid.
Dengan keterangan tersebut, menjadi jelaslah, dalam wasiat Imam Khomeini, pancaran sinar dan rahasia perpaduan Doa Arafah dengan teriakan Karbala. Di dalam wasiat tersebut, terkuak teriakan dan penentangan keras khas ‘alawi (jiwa Imam Ali). Juga, berpadu doa irfani dan kerinduan akan syahadah, seperti pemuda yang telah Rasulullah SAW katakan tentangnya, “Allah menyinari hatinya dengan keimanan.” Semua ini makin memperjelas hubungan irfandengan hamasah.
Pemuda itu berkata kepada Rasulullah SAW, “Anda, yang doanya mustajab, jangan biarkan saya hidup sia-sia dan mati! Doakanlah saya mati syahid.” Imam Ali berkata, “Orang yang mati menjadi bangkai dan berbau busuk, sehingga memaksa orang-orang yang hidup untuk cepat-cepat menguburkannya agar baunya tak tercium.” Ya, saat itu yang mati diantarkan ke ruang amalnya. Sia-siakah setiap zarrah (bagian terkecil) pemikiran, keyakinan, akhlak, dan amalnya di dunia? Secara lahiriah, manusia yang mati akan dikubur di liang lahat. Namun secara hakikat, manusia diantarkan ke ruang amalnya.
Jadi manusia biasa akan menjadi bangkai (bila mati). Akan tetapi manusia Ilahi bukanlah bangkai; jasad mereka suci dan wangi. Ketika pemuda tersebut berkata, “Doakanlah saya (wahai Rasul), agar dapat mereguk syahadah!” Rasulullah SAW berkata, “Tidak, Anda masih terlalu muda!” Namun, ketika Rasulullah SAW melihat bahwa ia berpotensi untuk itu, beliau mendoakannya. Doa ini juga mengandung pesan adanya hubungan irfan dan hamasah.
Seorang ‘arif pasti berani berperang, bukan penakut. Sebagaimana, kata-kata Ibnu Sina (seperti dikutip sebelum ini), “Seorang ‘arif adalah pemberani; bagaimana tidak, sementara ia tidak takut akan kematian.” (Jami’ al-Asrar) Atas ungkapan Syeikh al-Rais (Ibnu Sina) ini, almarhum Khajah Nashiruddin (al-Thusi) berkomentar, “Abu Ali Sina memiliki ucapan-ucapan seperti nash dan serupa dengan hadis; ungkapannya sangat kukuh. Sebab, ia mengambil dari ajaran keduanya (Al-Quran dan Hadis). Semua ilmu yang dikuasainya bersumberkan keduanya.
Setelah Rasulullah SAW mendoakan pemuda itu, tak lama kemudian terjadilah peperangan yang menghantarkan sebagian kaum mukmin pada kesyahidan; termasuk pemuda yang didoakan Rasulullah tersebut. Ia syahid setelah beberapa orang mukmin. Kesimpulannya, ungkapan pemuda tersebut mengandung tatapan malakuti yang selaras dengan kerinduan akan jihad. Pada dasarnya, ketika manusia sampai pada tingkatan malakuti, ia akan memberikan nyawanya. Oleh karena itu, “Tiada dari kami (Ahlul Bait Rasulullah), melainkan diracun atau dibunuh.”
Ya, air mata (yang dipersembahkan) untuk seorang syahid, akan melahirkan kerinduan kepada syahadah pada diri seseorang. Sebab, air mata akan mewarnai (kehidupan) seseorang. Apabila seseorang meneteskan air matanya untuk seorang syahid, maka jiwanya akan merasakan lezatnya syahadah. Dan apabila seseorang meneteskan air matanya untuk seorang yang bukan syahid, ia akan merasakan pahitnya kematian.
Jalan terbaik bagi seorang anak manusia yang tak takut (apapun) adalah tauhid dan mengenal Allah, sehingga ia akan meraih mata air cinta. Apabila kita menengok kembali peristiwa Karbala, maka kita akan melihat bahwa para syuhada saling berebut meneguk minuman syahadah. Ketika dikatakan kepada mereka di malam Asyura, “Pergilah!” mereka menolak untuk pergi. Dan, ketika sampai saatnya di medan pertempuran, mereka berlomba meraih kemenangan. Saat itu mereka telah melihat maqam mereka dan maqam di hari kiamat, ketika mereka berada di puncak capaian tersebut. Oleh karena itu, mereka bergegas menuju medan pertempuran.
Itu tidak hanya terjadi di medan Karbala. Pada masa awal Islam, para sahabat yang setia pun melakukan hal yang demikian. Di beberapa medan laga, mereka hanya mengunyah sepotong kurma seraya berseru, “Antara kami dan surga terpisah (hanya) oleh sebuah anak panah.” Kedudukan dan keberanian mereka dalam berperang melebihi pihak lain dan mata hati mereka telah melihat nasib baik yang kan mereka raih. Dan, setiap pemilik makrifah yang demikian ini telah menggapai puncak keberanian. Kedudukan ini takkan dapat diraih kecuali dengan “ibadah hakiki”.