Jurnalis, Pejuang Kemerdekaan, Diplomat dan Pembela Agama
Bangsa ini merindukan negarawan.
Dan kampus sudah seharusnya menjadi tempat persemaian..
Hal tersebut dilakukan dengan pertarungan ide & gagasan, dimana intelektualitas yang dikedepankan..
Perbedaan bukan menjadi halangan karena para negarawan saling bertujuan untuk membangun peradaban..
Bangsa ini merindukan sosok Hatta yang masih menjenguk Soekarno yang menjadi pesakitan di kala dwitunggal telah tanggal.. Bangsa ini merindukan sosok KH Agus Salim yang saling berboncengan hangat di sepedanya bersama D.N Aidit setelah panas berdebat di konstituante..
Itulah modal awal bagaimana bangsa ini bisa berdiri tegar dalam bingkai persatuan..
-Herry Dharmawan-
Terlahir dengan nama Mashudul Haq yang berarti pembela kebenaran, KH Agus Salim termasuk dalam deretan nama-nama pejuang kemerdekaan Indonesia. Bahkan putra dari Jaksa Kepala di Pengadilan Tinggi Riau, Soetan Salim ini memiliki jasa besar dalam memberantas faham komunis di Indonesia, khususnya di dalam tubuh Sarekat Islam ; lahir di Koto Gadang, Agam,Sumatera Barat, Hindia Belanda, 8 Oktober 1884 – meninggal di Jakarta, Indonesia, 4 November1954 pada umur 70 tahun) adalah seorang pejuang kemerdekaan Indonesia. Haji Agus Salim ditetapkan sebagai salah satu Pahlawan Nasional Indonesia pada tanggal 27 Desember 1961 melalui Keppres nomor 657 tahun 1961.
Setelah mendalami Islam di Jeddah, tahun 1911 ia kembali ke tanah air. Setahun kemudian di kota Gadang ia mendirikan HIS (Holland Islandse School), yang diasuhnya sampai tahun 1915. Di Jakarta ia bekerja terakhir di Bataviasche Neewsblad.
Agus Salim lahir dari pasangan Soetan Salim gelar Soetan Mohamad Salim dan Siti Zainab. Jabatan terakhir ayahnya adalah Jaksa Kepala di Pengadilan Tinggi Riau. Pendidikan dasar ditempuh di Europeesche Lagere School (ELS), sekolah khusus anak-anak Eropa, kemudian dilanjutkan ke Hoogere Burgerschool (HBS) di Batavia. Ketika lulus, ia berhasil menjadi lulusan terbaik di HBS se-Hindia Belanda.
Setelah lulus, Salim bekerja sebagai penerjemah dan pembantu notaris pada sebuah kongsi pertambangan di Indragiri. Pada tahun 1906, Salim berangkat ke Jeddah, Arab Saudi untuk bekerja di Konsulat Belanda di sana. Pada periode inilah Salim berguru pada Syeh Ahmad Khatib, yang masih merupakan pamannya.
Salim kemudian terjun ke dunia jurnalistik sejak tahun 1915 di Harian Neratja sebagai Redaktur II. Setelah itu diangkat menjadi Ketua Redaksi. Menikah dengan Zaenatun Nahar dan dikaruniai 8 orang anak. Kegiatannya dalam bidang jurnalistik terus berlangsung hingga akhirnya menjadi Pemimpin Harian Hindia Baroe di Jakarta. Kemudian mendirikan Suratkabar Fadjar Asia. Dan selanjutnya sebagai Redaktur Harian Moestika di Yogyakarta dan membuka kantor Advies en Informatie Bureau Penerangan Oemoem (AIPO). Bersamaan dengan itu Agus Salim terjun dalam dunia politik sebagai pemimpin Sarekat Islam. dan menjadi pemimpin kedua di SI setelahH.O.S. Tjokroaminoto.)
Tahun 1919 mendirikan Persatuan Pergerakan Kaum Buruh bersama Semaun. Organisasi ini menuntut kepada Pemerintah Belanda supaya Indonesia segera didirikan DPR yang sesungguhnya. Ia juga mengorganiser pemogokan buruh di berbagai tempat seperti Semarang, Surabaya dan Cirebon.
Dalam konggres Islam di Garut tahun 1924 (diadakan berkat kerjasama antara Sarekat Islam dan Muhammadiyah) ia menguraikan fungsi agama dan ilmu pengetahuan serta hubungan antara Islam dan Sosialisme. Ia melontarkan gagasan dibentuknya Pan Islamisme. Pemandangannya mengenai nasionalisme dibentangkannya dalam konggres luar biasa Al Islam di Surabaya
Tahun 1912-1924, Agus Salim duduk dalam Volksraad. Ia banyak mengecam tindakan-tindakan pemerintah yang banyak menyengsarakan rakyat. Ia juga menuntut agar bahasa Melayu digunakan sebagai bahasa resmi dalam Volksraad.
Tahun 1925 ia menerbitkan harian Fajar Asia di Yogyakarta dan memimpin harian Hindia Baru yang terbit di Jakarta. Dalam konggres ia berpidato dalam bahasa Perancis sehingga membuat orang kagum atas kemahirannya menggunakan bahasa tersebut, sekaligus menaikkan nama Indonesia di luar negeri
Tahun 1930 an, pergerakan nasional mengalami masa suram. Pemerintah Belanda menjalankan politik tangan besi. Dalam situasi demikian beberapa partai menempuhh taktik kooperasi agar masih bisa bergerak. Agus Salim memilih taktik ini. Menjelang masa zaman Jepang ia diangkat menjadi anggauta BPUPKI, kemudian berganti nama menjadi PPKI. Ia duduk dalam Panitia Sembilan dan menghasilkan Piagam Jakarta. Ia juga duduk dalam Panitia Perancang UUD dan sekaligus anggauta penghalus bahasa bersama Prof.Supomo dan Prof.Hussein Djayadinigrat.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, K.H. Agus Salim aktif mengambil bagian dalam bidang diplomasi. Ia duduk dalam kabinet sebagai Wakil Mentri Luar Negri, kemudian Mentri Luar Negri hingga Agresi Meliter II. (1946 : Menteri Muda Luar Negeri Kabinet Sjahrir II 1946 dan Kabinet III 1947, Menteri Luar Negeri Kabinet Amir Sjarifuddin 1947, Menteri Luar Negeri Kabinet Hatta 1948-1949).
Maret 1947 ia diutus ke New Delhi Conference kemudian mengunjungi negara-negara Arab dengan tugas mengusahakan pengertian sedalam-dalamnya dari negara-negara Arab tentang Kemerdekaan Indonesia. Misi itu berhasil hingga negara-negara Arab menyokong RI di dalam persidangan PBB.
Di antara tahun 1946-1950 ia laksana bintang cemerlang dalam pergolakan politik Indonesia, sehingga kerap kali digelari “Orang Tua Besar” (The Grand Old Man). Ia pun pernah menjabat Menteri Luar Negeri RI pada kabinet Presidentil dan di tahun 1950 sampai akhir hayatnya dipercaya sebagai Penasehat Menteri Luar Negeri.
Pada tahun 1952, ia menjabat Ketua di Dewan Kehormatan PWI. Biarpun penanya tajam dan kritikannya pedas namun Haji Agus Salim dikenal masih menghormati batas-batas dan menjunjung tinggi Kode Etik Jurnalistik.
Waktu Belanda menduduki Yogyakarta, ia bersama-sama Presiden dan Wapres serta mentri-mentri ditangkap dan diasingkan ke Sumatra. Bersama Sutan Sjahrir, awalnya diasingkan di Brastagi kemudian dipindah ke Prapat dan akhirnya ke Bangka. Setelah pengakuan kedaulatan RI ia tidak aktif lagi dalam pemerintahan. Tahun 1953, ia memberi kuliah agama Islam di Cornell dan Princeton University di AS
Ia diangkat menjadi Guru Besar pada Perguruan Tinggi Islam Negeri di Yogyakarta. Tugas itu belum sempat dijalankannya, Meski tidak sempat menjalankan tugas sebagai Guru Besar di PTIN, namun pengabdian K.H.Agus Salim sungguh lengkap untuk negri ini. Bagaimana tidak? Ia berjuang di Serikat Islam, Jepang, RI didirikan, Agresi Militer Belanda, emansipasi wanita hingga memberi kuliah saat Indonesia sudah merdeka. Tidak aneh lagi kalau namanya kini menjadi banyak dijadikan nama jalan besar di kota-kota besar di tanah air !!
Tercatat, Agus Salim pernah menjabat sebagai redaktur II pada media cetak Harian Nertja, bahkan suami Zaenatun Nahar pernah menjabat sebagai Pemimpin Harian Hindia Baroe. Hingga akhir hayatnya, Agus Salim selalu menyerukan ketauhidan dan menolak segala bentuk penentangan terhadap Tuhan.
Setidaknya hal itu tercermin dalam buku yang ditulis satu tahun sebelum meninggal dengan judul, ‘Bagaimana Takdir, Tawakal dan Tauchid harus dipahamkan? yang lalu diperbaiki menjadi Keterangan Filsafat Tentang Tauchid, Takdir dan Tawakal’.
Setelah mengundurkan diri dari dunia politik, pada tahun 1953 ia mengarang buku dengan judul Bagaimana Takdir, Tawakal dan Tauchid harus dipahamkan? yang lalu diperbaiki menjadiKeterangan Filsafat Tentang Tauchid, Takdir dan Tawakal.
Karya tulis beliau yang lain adalah :
- Riwayat Kedatangan Islam di Indonesia
- Dari Hal Ilmu Quran
- Muhammad voor en na de Hijrah
- Gods Laatste Boodschap
- Jejak Langkah Haji Agus Salim (Kumpulan karya Agus Salim yang dikompilasi koleganya, Oktober1954)
Dan beberapa karya terjemahan :
- Menjinakkan Perempuan Garang (dari The Taming of the Shrew karya Shakespeare)
- Cerita Mowgli Anak Didikan Rimba (dari The Jungle Book karya Rudyard Kipling)
- Sejarah Dunia (karya E. Molt)
tanggal 4 Nopember 1954 K.H. Agus Salim meninggal dunia dalam usia 70 tahun di RSU Jakarta dan dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta. Namanya kini diabadikan untuk stadion sepak boladi Padang. . Berkat jasa-jasanya ia dianugerahi Gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional.
———– the end —————–
Sarekat Islam atau SI awalnya merupakan sekumpulan pedagang pribumi yang dikoordinasi dan didirikan oleh Haji Samanhudi di Surakarta pada tahun 1905. Waktu awal didirikan bernama Sarekat Dagang Indonesia. Dalam perkembangannya, SI menjadi sebuah organisasi besar yang tidak hanya konsen pada pergerakan ekonomi, tetapi juga politik. Hingga akhirnya SI menjadi partai nasional yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
SI berkembang sangat pesat, baik dari jumlah anggota maupun struktur kepengurusan pada tiap daerah. Dari sinilah titik mula perpecahan SI terjadi.
Pada tahun 1914, SI mulai disusupi oleh faham sosialisme revolusioner yang berujung pada komunis. Faham ini disebarkan oleh pendiri organisasi ISDV (Indische Sociaal-Democratische Vereeniging), H.J.F.M Sneevliet.
Tujuan ISDV menyusupkan faham ‘kiri’ dalam SI, karena sebelumnya Sneevliet gagal menyebarkan aliran impor dari Eropa itu dalam lapisan masyarakat bawah Indonesia. Sehingga mereka menggunakan SI sebagai kendaraan untuk membela rakyat kecil dan menentang segala bentuk penindasan di Indonsesia, namun dengan cara yang berbeda.
Dengan strategi yang matang, akhirnya satu persatu kader SI berhasil dipengaruhi. Seperti Semaoen, Darsono, Tan Malaka, hingga Alimin Prawirodirdjo merupakan nama-nama yang pada akhirnya memisahkan diri dan menjadi pelopor terbentuknya SI Merah yang beraliran sosialisme-komunis. Sedangkan sebagian lagi membentuk SI Putih yang dipimpin HOS Tjokroaminoto.
KH Agus Salim yang tergabung dalam SI pada tahun 1915 termasuk salah satu sosok yang ikut memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, dengan berpegang teguh kepada Islam sebagai asas pokok dari perjuangannya. Agus Salim turut membendung aliran kiri yang sudah berkembang pesat di masa itu. Semua usaha dicoba, termasuk menggunakan media surat kabar untuk menyuarakan gagasan beserta kritikannya.
Kedudukan wanita dalam masyarakat menjadi perhatiannya. Ia menyerukan agar dalam lingkungan umat Islam dilakukan emansipasi. Dianjurkan dalam rapat-rapat yang dihadiri laki-laki dan perempuan tidak perlu diadakan tabir yang memisahkan keduanya.
K.H. Agus Salim lebih meletakkan arti Islam sebagai pandangan hidup setiap muslim yang sadar akan tugas dan kewajibannya di tengah-tengah masyarakat bangsanya. Sebagai hasil penyelidikannya atau ijtihad yang dipeloporinya, pandangannya terhadap berbagai masalah agama bercorak tersendiri. Ia selalu berfikir tentang apa yang dilihatnya serta apa yang dialaminya.
KH. Agus Salim sendiri pernah menyatakan bahwa ia merasakan jauh dari Islam justru ketika ditempa oleh Barat lewat pendidikan sekuler. Seperti dikutip Yudi Latif dalam bukunyaInteligensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Inteligensia Muslim Indonesia abad ke-20 (Jakarta: Mizan, 2005), KH Agus Salim berujar,
“Meskipun saya lahir dalam sebuah keluarga Muslim yang taat dan mendapatkan pendidikan agama sejak masa kanak-kanak (setelah masuk sekolah belanda) saya mulai kehilangan Iman.”
KH. Agus Salim sekalipun membaca buku-buku Barat, ia sama sekali tidak terpukau dengan peradaban luar. Kemampuan Agus Salim akan penguasaan banyak bahasa pun tidak membuatnya memandang peradaban barat lebih hebat dari Islam.Sikap itu dapat tercermin saat KH. Agus Salim masih muda. Pada tahun 1903, setelah menyelesaikan pendidikan di HBS dengan nilai tertinggi ketika itu, KH. Agus Salim ditemui Kartini yang berkeinginan agar beliau disekolahkan ke Belanda dengan mengambil jurusan kedokteran. Kartini pun berniat berniat mengalihkan beasiswanya sebesar 4.800 Gulden hanya untuk KH. Agus Salim yang dinilainya berpotensial untuk mengasah karir keilmuannya di Barat. Namun apa yang terjadi? Tanpa mengurangi rasa hormatnya atas Kartini, tawaran beasiswa itu ditolak oleh KH. Agus Salim, karena menurut beliau bantuan dari penjajah tidak layak diterima.
Sikap ini sebenarnya lahir dari keberanian KH. Agus Salim yang sudah terasah sejak kecil. Beliau memang dididik untuk berani menentang kebijakan-kebijakan kolonial yang merugikan umat. Jadi, kita bisa bandingkan dengan JIL, yang justru meminta kucuran dana dari Barat demi menopang roda organisasinya. Betul memang KH Agus Salim kemudian pernah bekerja untuk Belanda di Mekkah. Tapi awal ketika tawaran itu datang dari Snouck Hugronje, KH Agus Salim sudah memberi syarat bahwa kepergiannya ke Jeddah menjadi pegawai Belanda bukan dalam kapasitas untuk membantu misi kolonialisme, namun sesuai yang dijanjikan, yakni sebagai staff penerjemah.
Dan apa yang terjadi setelah itu? Ketika sampai di Jeddah dan aktif sebagai pegawai, ternyata KH. Agus Salim banyak mengalami pertentangan pemikiran dengan fihak Belanda. Hal inilah yang kemudian menjadikan KH Agus Salim mendekat kepada kelompok Islam di Jeddah. Disana ia juga bertemu sang paman, Achmad Khotib, seorang Ulama besar Hindia terakhir di Haramain. Pertemuan inilah yang dilukiskan KH. Agus Salim sebagai titik balik dalam penemuan kembali identitas Islamnya. (Pizaro/Islampos)