(Sambungan “Hakekat Tanah Suci Arafah dan Mina“)
Manusia bertauhid meyakini bahwa Allah selalu bersama dan dekat dengannya. Oleh karena itu, ia mampu melaksanakan setiap pekerjaan, lantaran ia berhubungan dengan kekuatan mutlak. Ia bisa menyampaikan rahasia dan kebutuhan kepada-Nya. Dengan suara lembut, ia berbicara dengan-Nya dan mengeluhkan masalah kepada-Nya. Manusia bertauhid tidak akan pernah menunda perbuatan baik. Manusia bertauhid mampu menyeimbangkan hasrat dan mengatur program hidupnya dengan apik. Ia akan meminta bantuan orang lain yang dekat dengan Allah SWT.
Oleh karena itu, Imam al-Sajjad berkata “Apabila di Mina Anda berbicara tentang tauhid, kenabian, imamah, dan ajaran-ajaran agama lainnya, maka Anda akan memperoleh keutamaan yang tinggi dan Anda telah menunaikan hak-hak keluarga dengan lebih baik. Dengan cara demikian, Anda (dapat) lebih membuat bahagia ayah, ibu, dan nenek moyang Anda. Apabila mereka bangkit dari alam kubur, mereka akan berkata kepada Anda, ‘kebaikan apa yang telah kami lakukan di dunia? Setiap kebaikan yang kami lakukan, itu lantaran bimbingan dari Allah. Dia adalah sebaik-baik Tuhan yang Maha Memuji dan Maha Terpuji. Puji dan sanjunglah Dia. Agungkanlah orang-orang suci yang telah memberikan hidayah dan menyampaikan firman Allah kepada kita. Mereka adalah para nabi dan imam.‘”
Kemudian Imam al-Sajjad melanjutkan, “Ketika para peziarah berkumpul di hari kesembilan, pada waktu ashar, di tanah suci arafah dan di hari kesepuluh, pada waktu dzuhur, di tanah suci Mina, Allah SWT berfirman kepada malaikat-malaikat, ‘Wahai malaikat-malaikat-Ku! Lihatlah hamba-hamba-Ku. Mereka datang dari tempat yang jauh dan dekat dengan membawa problem masing-masing, semua mengenakan satu (jenis) pakaian yang sama dan serupa satu sama lain. Mereka mengharamkan diri dari berbagai kenikmatan, mereka tidur di tanah suci Masy’ar, dan dengan wajah penuh debu, mereka menampakkan kelemahan dan kehinaan dihadapan Allah. Sekarang, Aku memberikan izin kepada kalian untuk melihat rahasia-rahasia mereka.’”
Berdasarkan hadis (dari Imam al-Sajjad) tersebut, ketika perkenan telah diberikan kepada malaikat, maka merekapun melihat (sisi) batin para peziarah. Mereka melihat dengan mata batin bahwa hati beberapa pelaku haji nampak sangat kelam dan mengepulkan asap hitam: Yaitu api yang disediakan Allah yang dinyalakan; yang naik sampai di hati. (QS.Al-Humazah : 6-7). Kita berlindung kepada Allah dari kejahatan diri kita dan keburukan amal perbuatan kita.
Allah SWT memberikan penjelasan kepada para malaikat, Mereka adalah orang-orang yang tidak membenarkan Rasulullah. Na’udzubillah, mereka (orang-orang tersebut) berkata, “Dia (utusan Allah) melakukan perbuatan ini atas kehendaknya sendiri.” Ya, mereka adalah orang-orang yang memisahkan Al-Quran dan Ahlul Bait.
Para malaikat juga melihat sekelompok orang yang hati mereka sangat becahaya, putih, dan bersinar terang. Allah berfirman bahwa mereka adalah orang-orang yang mematuhi Allah dan rasul-Nya. Merekalah orang-orang mukmin. Mereka mayakini bahwa ucapan para nabi merupakan wahyu Allah. Mereka tidak memisahkan Al-Quran dan Ahlul Bait, serta meyakini bahwa Rasulullah SAW adalah orang yang dipercaya mendapatkan wahyu Allah. Inilah masalah-masalah yang Imam Sajjad sampaikan kepada Zuhri.
Poin lainnya adalah bahwa Al-Quran Al-Karim telah menjelaskan tentang salah satu sisi rahasia pemotongan hewan kurban; manasik-manasik haji lainnya bisa disimpulkan dari poin ini. Sehubungan dengan pemotongan hewan kurban, Al-Quran menjelaskan bahwa perbuatan yang dilakukan orang-orang di zaman jahiliah bukanlah tindakan yang terpuji. Dan ketika Anda memotong hewan kurban, maka Anda harus meyakini bahwa daging dan darah hewan kurban tersebut tidaklah sampai kepada Allah. Begitu juga dengan binatang kurban tersebut, tidak sampai kepada Allah:
Daging-daging unta dan darahnya itu tidak akan sampai kepada Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang sampai kepada-Nya (QS. Al-Baqarah : 37)
Maksudnya, amal ibadah ini mempunyai bentuk lahir dan bentuk bathin. Bentuk lahir amal tersebut adalah pemotongan hewan kurban, yang memiliki daging dan darah. Kesucian amal tersebut adalah ketakwaan, bukan daging dan darahnya. Yang sampai kepada Allah bukan daging dan darah hewan tersebut, yang dilemparkan ke dinding Kabah serta mewarnainya dengan darah hewan tersebut (ketika itu). Sesuatu yang menghampiri Allah adalah batin dan ruh perbuatan itu. Tetapi ketakwaan dari kamulah yang sampai kepada-Nya. Maksudnya, memotong hewan kurban memiliki sebuah hakikat yang disebut dengan ketakwaan, dan inilah yang sampai kepada Allah.
Demikian pula halnya dengan melontar jumrah. Dalam masalah ini, batu-batu yang dilemparkan sama sekali tidak ada yang sampai kepada Allah. Sesuatu yang sampai kepada-Nya adalah sikap tabarri (berlepas diri) dari musuh Allah. Thawaf mengelilingi Kabah, shalat disamping makam Ibrahim as, sai antara Shafa dan Marwah, meminum air Zamzam, dan puluhan amal wajib dan sunnah dalam ibadah haji dan umrah, semua amalan ini tidak ada yang sampai kepada Allah. Sesuatu yang sampai kepada Allah adalah bentuk batin amal ibadah ini. Ruh amal ibadah ini adalah rahasia-rahasia haji. Terkadang, rahasia amal ibadah akan nampak di alam barzah, dan terkadang lebih tinggi dari alam barzah. Adakalanya nampak sedikit dan terkadang nampak sekali. Pelaku haji sejati, di hari kiamat, akan nampak dalam bentuk sebuah rahasia. Dan di dunia, melalui mata spiritual, ia akan nampak dalam bentuk manusia sejati. Kami berharap, bentuk lahir kita berwujud manusia dan bentuk batin kita pun berwujud sebagai manusia, melalui berkah Al-Quran dan Ahlul Bait.