Perspektif

Menuju Masyarakat Religius

Dalam sejarah kehidupan manusia, telah banyak ilmuwan, pakar, dan filosof yang lahir ke dunia dengan proyek pemikiran yang berbeda-beda. Pemikiran yang lahir dari pembacaan realitas dan konklusi atas setiap peristiwa di alam semesta. Sebagai jawaban atas kemauan zaman dan rasa ingin tahu yang tinggi oleh manusia dimana posisinya sebagai makhluk victor mundi (penjiarah dunia) yang memakmurkan kehidupan alam. Sehingga dengan demikian tugas manusia harus direalisasikan secara adil dan bijak. Pada dasarnya, kehadiran alam di sisi manusia adalah jawaban atas teka-teki hidup dan kehidupan manusia yang melakukan pencarian atas rahasia-rahasia alam. Oleh karenanya, dengan banyaknya penemuan itu menunjukan bahwa manusia setiap waktu mengalami perkembangan pemikiran, kemahiran, dan pengalaman untuk merancang dan merangkai masa depannya yang lebih beradab.

Fitrah alam telah mentakdirkan perbedaan kepada setiap makhluknya. Perbedaan ini sebagai anugerah manusia yang meniscayakan adanya dialektika kehidupan baik pemikiran maupun realitas sosial. Dialektika yang menjadi tuntutan akan kebutuhan setiap manusia. Dialektika yang menjadi pemicu proses perkembangan pemikiran, kualitas kehidupan, dan penemuan jawaban atas rahasia keadilan dan kemakmuran serta merupakan tonggak perubahan akan sebuah penemuan kesempurnaan manusia. Akan tetapi, pada sisi lainnya perbedaan dan dialektika juga merupakan awal masalah dan problem sosial yang berpotensi merusak moral dan fitrah manusia.

Dalam rantai sejarah perkembangan manusia selalu saja menceritakan tentang pertarungan antara kebaikan dan keburukan sebagai hasil kebijaksanaan sekaligus kebodohan manusia dalam menjawab dinamika dan tuntutan kehidupannya. Pertarungan wacana dan pemikiran yang diselimuti dengan intrik kepentingan individual akan kekuasaan dan kehormatan berakhir dengan pembunuhan massal, pengorbanan darah, dan pengingkaran akan sebuah kebenaran. Dan sejarah telah membukikan demikian. Sehingga tuntutan akan kehadiran manusia yangUbermach (manusia super) sebagai pengemban emansipasi dan lahirnya gagasan yang mencerahkan dan mensejahterakan dalam rentang sejarah manusia menjadi begitu penting di tengah kekisruhan zaman yang menggalau dan abnormal, di tengah gagasan yang usang dan tidak kompetible bagi keadaban manusia.

Gagasan Demokrasi

Demokrasi adalah gagasan usang sekaligus baru. Demokrasi yang terkadang dicerca, dicaci maki serta kadang disanjung oleh mereka yang mengharapkan kebaikan. Demokrasi ibarat ulat yang bermetamorfosis menjadi kepompong dan pada akhirnya berubah menjadi kupu-kupu yang bisa terbang bebas dengan mengepakkan sayapnya. Begitu juga sebenarnya yang terjadi dengan demokrasi itu sendiri yang senantiasa mengalami evolusi dan metamorfosis, yang selalu berubah dan bergerak ke titik yang mencerahkan manusia. Gerakan itu pada dasarnya menunjukan tingkat perkembangan pengetahuan manusia, sebagai gerak alami atas tuntutan fitrah manusia akan kebaikan dan kesempurnaan.

Dalam sejarah, slogan demokrasi ada sejak abad ke-5 SM di zaman Yunani, khususnya di Athena yang muncul akibat gagalnya sistem politik yang dikuasai para Tyrants atau autocrats untuk memberikan jaminan keberlangsungan terhadap Polis dan perlindungan terhadap warganya. Demokrasi kemudian terus berkembang, sekalipun dalam perkembangannya mengalami pasang surut karena adanya dominasi kekuasaan sistem Monarki Absolut yang dijalankan oleh para Raja Eropa dengan legitimasi Gereja di abad pertengahan. Dalam sistem demokrasi modern, menjadi begitu gencar digembar-gemborkan ketika di abad ke-18 pasca Revolusi Amerika Serikat 1776 dan Revolusi Prancis tahun 1789. Yang lahir sebagai anti tesa terhadap kekuasaan absolut para raja di zaman pertengahan. Demokrasi kemudian menjadi formulasi wacana yang begitu diagungkan di era modern setelah sosialisme dan kapitalisme tidak lagi membawa harapan atas kesejahteraan umat manusia. Perkembangan itu lahir dari adanya pemikiran yang liberal setelah dikungkung oleh kekuasaan gerajawan dan kekuasaan yang tiran dan pada akhirnya menempatkan agama obyek kritikan dan dipisahkan dari perkembangan pengetahuan dan pembicaaraan tentang negara/politik.

Pada perkembangannya demikian, agama kemudian dimarjinalkan dari kehidupan politik (negara). Agama dianggap tidak bisa mengatur kehidupan bernegara. Akan tetapi di tengah modernisasi dan hirup pikuk kepelitan zaman, serta dengan kegagalan beberapa metanarasi (sosialisme dan kapitalisme) yang telah menolak disandingkan dengan kehidupan agama, membawa pengaruh besar pada manusia untuk menilik kembali kepada agama setelah sempat disisihkan dari koalisi dan keakuran ilmu. Pertanyaan ini semakin serius di perbincangkan tatkala meletusnya revolusi Republik Islam Iran pada tahun 1979 yang di ilhami oleh seorang ulama, Ayatullah al-uzmah Rohullah Khomeini.

Beberapa pemikir akhirnya mencoba merekonseptualisasi dan mengkombinasikan hubungan antara negara dengan agama itu sendiri, khususnya Islam. Kajian tentang teori politik Islam sebenarnya telah lama dilakukan oleh para ulama atau cendekiawan Muslim, misalnya, Al-Farabi (950 M) dengan karyanya Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadlilah, al-Mawardi (1059 M) dan Abu Ya’la al-Hanbali (1057 M),  Ibnu Taimiyah (1329 M) dan Ibnu Khaldun (1406 M). Sejak awal abad ke-20, pemikiran politik Islam semakin semarak ditulis dan didiskusikan. Paling tidak, ada tiga macam pemikiran terkait dengan Islam dan politik. Pertama, pemikiran bahwa Islam adalah agama yang tidak memiliki sistem politik. Tokoh yang paling vokal menyuarakan wacana ini adalah Thaha Husain (1973 M) dan Ali Abd al-Raziq (1966 M). Kedua, pemikiran bahwa Islam dan politik adalah dua hal tak bisa dipisahkan (al-din wa al-daulah). Tokoh utama pemikirin ini adalah Hassan al-Banna (1949 M), Sayyid Quthb (1966 M), Muhammad Rasyid Ridha (1935 M), dan Abu al-A’la Mawdudi (1979). Ketiga, pemikiran bahwa Islam memang tidak memiliki sistem pemerintahan, namun ada nilai-nilai etika yang dapat digunakan untuk mewarnai negara, seperti keadilan, persamaan, musyawarah, dan lain-lain. Tokoh yang terkenal menyuarakan pendapat ini adalah Muhammad Husain Haikal (1956 M), seorang sejarawan Mesir.

Dalam banyak pandangan, demokrasi diklaim tidak bisa tumbuh di dalam pemerintahan Islam, karena meraka menganggap agama adalah sesuatu yang pasti dan tidak berubah, sehingga pemerintahannya cenderung otoriter sebagaimana pemerintahan monarki. Anggapan ini menjadi landasan bagi beberapa pemikir dan negara untuk tidak menformalkan agama tertentu di dalam sebuah negara. Tapi kemudian asumsi ini ternyata bisa direalisasikan di Negara Islam Iran. Di Iran, agama dengan negara bisa disatukan tanpa saling menegasikan satu sama lainnya.

 

Pada dasarnya, gagasan tentang demokrasi terjadi secara berbeda pada daerah dan negara yang berbeda. Hal ini dipengaruhi oleh kondisi dan budaya suatu daerah/negara. Misalnya, pada daerah yang masyarakatnya heterogen (plural) seperti Indonesia dan yang cenderung homogen seperti Iran, maka bangunan akan gagasan demokrasinya pun akan berbeda. Tidak hanya itu, keberadaan sebuah Ideologi sangat mempengaruhi bagaimana gagasan akan sebuah tatanan masyarakat akan dibangun. Gagasan demokrasi pada dasarnya lahir dari bangunan cita-cita yang luhur, akan tetapi lahirnya beberapa ideologi besar yang kemudian mengendalikan dan mensusupi gagasan demokrasi itu sendiri sehingga orisinalitas demokrasi itu sendiri menjadi hilang. Sebagai contoh, lahirnya demokrasi liberal, demokrasi pancasila, theodemokrasi (demokrasi yang disusupi oleh sebuah ideologi) menjadi warna baru dari perkembangan wajah demokrasi. Namun, permasalahannya kemudian apakah perkembangan itu membawa pada kesejahteraan ataukah ketidakberadaban hidup. 

Theo-demokrasi

Theodemokrasi merupakan wacana yang telah dibicarakan oleh beberapa pakar politik seperti Al-Maududi, Kuntowijoyo dan beberapa tokoh lainnya. Konsep ini lahir sebagai jawaban atas kekurangan dari beberapa konsep sebelumnya yang tidak membawa pada tatanan kehidupan yang baik. Dengan demikian, ini menunjukkan agama menjadi hal yang yang penting dan diperhitungkan kembali dalam membangun konsep negara dan masyarakat yang lebih ideal dan beradab.

Istilah theodemokrasi pada dasarnya adalah konsep yang lahir dari sintesis antara konsep demokrasi dan teokrasi itu sendiri. Kata theo yang mewakili tentang kedaulatan Tuhan dan demokrasi bicara tentang kekuasaan rakyat. Dalam pemikiran Al-Maududi, istilah kedaulatan dan kekuasaan sangat berbeda. Dalam artian, kedaulatan pastilah punya kekuasaan, tetapi kekuasaan belum tentu memiliki kedaulatan. Kata kedaulatan berarti yang memiliki dan menciptakan kekuasaan sedangkan kekuasaan sendiri adalah pemberian dari yang memiliki kedaulatan. Oleh karena itu, kedaulatan hanya bisa disematkan pada Tuhan. Tuhanlah yang memiliki dan menciptakan segala kekuasaan. Allah befirman, “Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. al-A’râf: 54).

Konsep theodemokrasi adalah konsep yang dipahami bahwa kekuasaan yang dimiliki oleh rakyat maupun makhluk lainnya adalah kekuasaan yang diberikan oleh Tuhan. Atas dasar itu, kita bisa membangun kesimpulan bahwa pada dasarnya manusia tidak memiliki hak atas dirinya sendiri, manusia tidak punya kekuasaan atas dirinya sendiri apatalagi atas manusia lainnya. Kekuasaannya atas diri dan orang lain hanya bisa ada dengan seizin atau sesuai dengan petunjuk Tuhan. Hubungan ini terbangun dari bangun fondasi filosofis akan pemahaman manusia akan keagungan dan kebesaran Tuhan. Oleh karena itu, konsep demokrasi yang dipahami oleh Barat tidak sama dengan konsep demokrasi menurut pakar politik Islam, yang beranggapan bahwa demokrasi itu sendiri sebagai kedaulatan rakyat. Rakyat yang dipandang sebagai pencipta dan pembuat hukum. Pemahaman seperti inilah yang dikritik oleh beberapa pemikir politik Islam dalam demokrasi itu sendiri.

Penjelasan tentang theodemokrasi yang dipahami sebagai sebuah sistem politik sebuah negara merupakan konsep politik dimana kekuasaan negara itu lahir dari pemberian dari Tuhan, dalam artian kekuasaan negara harus mendasarkan pada nilai-nilai ketuhanan (agama). Nilai agama menjadi fondasi bangunan atas kekuasaan negara. Sehingga kekuasaan rakyat hanya dibolehkan dan berlaku sepanjang sesuai dengan nilai-nilai agama itu sendiri. Hal inilah yang diterapkan di negara Iran dengan sistem Wilayah al-Faqihnya. Dimana Allah berposisi sebagai al-Syâri’(legislator) sementara manusia berposisi sebagai faqîh (yang memahami sesuai batasan kemampuannya dan menjabarkan) hukum-Nya. Jadi, posisi manusia di dalam hukum Tuhan adalah menjalankan hukum Tuhan sesuai dengan kehendak-Nya. Manusia sebagai rakyat yang memiliki kekuasaan di hadapan hukum Tuhan adalah menjabarkan dan memahami hukum Tuhan sesuai dengan kemampuannya (ijtihad) dalam membaca tuntutan zaman dan kemauan sosial, sehingga masyarakat tetap memiliki hukum dan referensi dalam konteks dan kondisi sosial yang dinamis.

Secara azalinya, demokrasi adalah konsep yang mempropagandakan tentang nilai-nilai kemanusiaan, kemerdekaan, persaudaraan, kesetaraan, kebebasan, dan keadilan. Namun, pada sisi lain, demokrasi juga dapat menjadi kacau balau tanpa landasan dan hukum-hukum yang kompetible yang menciptakan keadaban publik (public civility), yaitu sikap dan perilaku yang berlandaskan adab, akhlak, etika, dan moralitas. Politik dan demokrasi tanpa keadaban publik seperti itu dapat berujung pada kekacauan. Nilai-nilai tersebut pada dasarnya sesuai dengan tuntutan fitrah manusia dalam menjalin dan membangun  tatanan kehidupan sosialnya. Dengan lahirnya konsep theodemokrasi berarti telah menjadikan nilai-nilai demokrasi terbangun di atas fondasi dan kerangka ketuhanan yaitu konsep yang menuju pada masyarakat yang tidak hanya memperhatikan kemajuan yang nampak secara materi tapi juga peningkatan spritualitas manusia, yang selamat dunia dan akhirat.

Oleh : La Ode Machdani

Komentari Artikel Ini

comments

https://pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js
%d blogger menyukai ini: