Keragaman dalam kehidupan yang kita lalui adalah sebuah bentuk keniscayaan yang tidak mungkin untuk kita nafikan. Termasuk di dalamnya keragaman pada jenis pemikiran, pemahaman ataupun keyakinan. Oleh karena itu, tidak boleh sebuah kelompok atau entitas dalam masyarakat yang majemuk ini, menganggap dirinya sebagai satu-satunya pemilik kebenaran sementara yang lainnya berada dalam kesalahan atau kebatilan. Sebab, pemilik kebenaran mutlak hanyalah Allah SWT. Selain Dia, maka yang lainnya hanya mempunyai potensi untuk mendekati sumber kebenaran tersebut. Lagi pula, sebuah kebenaran tentu harus diuji terlebih dahulu, apakah sejalan dengan sistem berpikir yang benar/logis dan dapat diterima oleh rasionalitas manusia.
Setelah itu barulah dihubungkan dengan dalil-dalil nash yang otentik, apakah sesuai atau tidak. Antara akal dan wahyu, tentu tidak mungkin terjadi kontradiksi dan pertentangan antara satu dengan yang lainnya. Dalam kenyataan, keduanya justru senantiasa selaras dan sejalan. Karena itu, terasa aneh bila sebagian orang selalu ingin mempertentangkan antara akal dan wahyu tersebut. Bila seseorang atau sebuah kelompok yang mengatasnamakan agama di dalam masyarakat menyatakan klaim kebenaran dalam hal pemikiran, pemahaman dan keyakinannya, maka ia harus dibenturkan/diuji dengan alat ukur dan indikator tadi.
Jika ternyata tidak sinkron, maka pastilah dengan sendirinya akan tertolak. Karena tidak sesuai atau bertentangan dengan fitrah yang dimiliki oleh manusia. Sebagai manusia, yang telah dianugerahkan berbagai potensi dalam diri oleh Tuhan, kita harus berusaha semaksimal mungkin untuk dapat menemukan kebenaran yang hakiki sesuai dengan fitrah kita. Setelah ikhtiar kita lakukan, barulah kita serahkan sepenuhnya segala urusan kepada Allah SWT dan bertawakkal kepada-Nya.
Wallahu a’lam bisshawab.