Pada setiap menjelang berakhirnya Ramadhan dan memasuki suasana lebaran, maka umat Islam di negeri kita secara massif melakukan dua tradisi atau ritual yang sangat kental dan telah berlangsung sudah begitu lama. Tradisi dan ritual dimaksud adalah ‘mudik’ dan ‘silaturrahim’. Kedua hal ini sebetulnya memiliki dimensi filosofis dan spiritual yang cukup dalam.
Pertama, bahwa dengan budaya mudik, mestinya menyadarkan pada kita untuk selalu ingat akan kepulangan kepada asal kita. Inna ilaina iyabahum tsumma inna alainahum hisabahum. Kepada Kamilah mereka kembali dan kewajiban Kamilah memeriksa mereka. Sesungguhnya setiap saat, kita harus mudik ke kampung halaman yang abadi, menemui Allah yang kita cintai, tetapi pertanyaannya, apa yang kita bawa ke hadapan-Nya? Mungkin kita sudah bekerja dan berusaha sepanjang tahun, mengumpulkan bekal dan bawaan kita untuk mudik yang hanya beberapa hari. Tapi sudahkah kita menyiapkan bekal untuk mudik yang jangkanya tidak terhingga?
Kedua, silaturrahim merupakan salah satu perintah yang sangat dianjurkan dalam ajaran Islam. Dalam riwayat, mungkin kita pernah mendengar atau membacanya, bahwa dengan silaturrahim akan meluaskan rezeki dan memanjangkan umur kita. Bahkan dalam surah Ar-Ra’d ayat 23, diceritakan bahwa ada hamba-hamba Allah yang beruntung pada hari kiamat nanti karena mereka diberi anugerah untuk masuk surga bersama orangtuanya, pasangannya, keluarganya dan keturunannya.
Mereka mendapatkan keberuntungan seperti itu oleh sebab di dunia mereka senang menyambungkan silaturrahim, “Walladzina yashiluna ma amarallahu bihi ayyushala, Dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan.” (QS. Ar-Ra’d : 21) Semoga kita semua termasuk juga dalam golongan dan kelompok tersebut yang telah melakukan siturrahim ruhaniah. Wallahu a’lam bisshawab.
Wassalam