Oleh : Ruhullah Syams
Tuhan merupakan realitas eksistensi tertinggi, bahkan Dia adalah realitas tak terhingga dan nir-batas. Ayat suci yang mengungkap realitas-Nya “Allahu Ash-Shamâd” (QS. Al-Ikhlas, ayat 2) bermakna tak ada kekosongan dalam realitas eksistensi-Nya,sehingga sesuatu selain realitas wujud-Nya dapat mengisinya.
Salah satu argumen yang paling kokoh dan sempurna dalam membuktikan Kewujudan-Nya adalah burhân shiddiqin milik Shadrul Muta’alihin (Mulla Shadra).
Argumen ini dibangun dengan 3 mukaddimah dasar:
1. Ashâlatul wujud (Prinsipilitas eksistensi) dan i’tibari mahiyyah (Persepsi mental quiditas);
2. Eksistensi bergradasi, dan terdapat gradasi khusus antara sebab dan akibat (yakni wujud akibat tidak mempunyai kemandirian wujud dari wujud sebab sebagai pemberi keeksistensian);
3. Ukuran kebutuhan akibat pada sebab adalah rabti dan kebergantungannya pada sebab, yakni kelemahan eksistensinya membuat dia bergantung pada eksistensi yang lebih kuat, serta tidak ada sedikitpun kemandirian eksistensi baginya (eksistensinya fakir murni atau imkanul faqri).
Rumusan argumen: Gradasi wujud – kecuali yang paling tinggi tingkatannya, yakni tingkatan yang mempunyai kesempurnaan tak terbatas, mahakaya, dan mandiri mutlak – semuanya adalah rabt dan bergantung. Dan jika yang paling tinggi derajatnya tak punya realitas, maka semua tingkatan-tingkatan lainnya tak akan punya realitas. Sebab ini merupakan keniscayaan dari asumsi bahwa merealitasnya tingkatan-tingkatan eksistensi lain, tanpa realitas tingkatan eksistensi paling tinggi, serta menjadikan tingkatan-tingkatan eksistensi itu mandiri dan tidak butuh pada tingkatan eksistensi paling tinggi, akan menyalahi sisi eksistensial mereka sebagai eksistensi rabt dan faqr itu sendiri.
Keunggulan dari argumen ini hanya bersandar pada konsepsi dan pemahaman wujud tanpa melibatkan konsepsi dan pemahaman mahiyyah (quiditas, whatness), dan dengan bantuan argumen ini dengan mudah wahdat (tauhid) serta sifat-sifat sempurna Tuhan lainnya dapat dibuktikan.
Dalam telaah yang lebih dalam dibuktikan bahwa eksistensi itu satu (wahdatul-wujud), dan selain-Nya, semuanya adalah tajalli dan manifestasi-Nya. Sebab wujud basith (tidak berangkap), murni, absolut, dan maha sempurna, tidak memiliki kekurangan dan kekosongan. Artinya secara eksistensial seluruh wujud telah dipenuhinya, karena itu, tidak ada ruang kosong bagi sesuatu yang lain yang bisa mengisinya. Dan ini sesuai dengan makna Allahu Ash-Shamad yang telah diisyaratkan sebelumnya dalam al-Qur’an surah al-Ikhlas ayat 2.
Di sini para penapak pemikiran Ilahiah dan spiritualitas mesti hati-hati, sebab jangan sampai terjerembab pada pemahaman hulul (inkarnasi) atau pengabaian mazhar dan manifestasi. Teliti dalam masalah ini!
Eksistensi yang keberadaannya Maha Sempurna dan absolut ini disebut “Allâh“, yakni asma (nama) yang diketahui oleh seorang muslim dari yang mempunyai nama menamakan dirinya sendiri. “Dengan nama Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang” (QS. Al-Fatihah, ayat 1).
Tuhan mempunyai nama-nama yang baik “Walillahi as ma’ul husna” dan nama “Allâh” disebut sebagai ismul ‘azâm dan jam’ul jâm’, yakni nama yang paling agung serta menghimpun nama-nama lainnya.
Perjalanan eksistensi manusia dalam menapaki gradasi eksistensi ini,menempuh asma dan sifat Tuhan dari asma dan sifat yang satu ke asma dan sifat lainnya, sebab semua realitas ini adalah terangkum dalam wilayah Tuhan, domain Tauhid “Allâhu as-Shamad”, sedangkan asma-asma itu sendiri memiliki wilayah masing-masing.
Tuhan, “Dia yang awal dan yang akhir, yang zahir dan yang batin” (QS. Al-Hadid [57]:3) merujuk tidak hanya pada realitas Tuhan yang meliputi segala realitas, tetapi juga pada peranan dan fungsi Tuhan dalam spiritualitas Islam, sebab Tuhan merupakan sentral pusaran spiritualitas Islam dan juga menjadi realitas lahir dan batinnya. Dia (Tuhan) berada pada pusat medan kehidupan manusia dan pada segala aspek dan dimensi spiritualitas yang mengitari-Nya, mencari-Nya, dan mengerahkan totalitas perhatian kepada-Nya sebagi tujuan eksistensi manusia.
Pesan Nabi mulia Muhammad SAW “Takhallâqu bi akhlâqillâh” mengandung inti pesan dari spiritualitas Islam, sebab realitas eksistensi Tuhan yang MahaSempurna tidak hanya bersifat transenden (batin) tetapi juga bersifat imanen (zahir). Tuhan adalah Maha Kuasa dan juga Maha Indah, Dia juga Maha Esa dan Dia juga sumber keragaman dan kejamakan. Dia Maha Kasih Sayang, dan juga Maha Hakim dan Adil terhadap segala perbuatan manusia.
Tuhan adalah sebagai pencipta dan sekaligus pemelihara alam eksistensi, baik yang non-materi maupun yang materi, dan Tuhan juga sebagai tujuan akhir yang ingin dituju oleh perjalanan seluruh makhluk “Innâ lillâhi wa innâ ilaihi râji’un.“
Dia mencipta sebab keinginan-Nya ingin dikenal (hadits qudsi kanzan makhfiyyan, khazanah tersembunyi), dan dengan rahmat-Nya terpancarlah substansi dasar yang terajut padanya benang-benang ciptaan dan makhluk. Dia adalah Muhyi (MahaMenghidupkan) dan Dia pula Mumit (MahaMematikan). Dia adalah Hâdi (MahaMemberi Hidayah) dan Dia pula adalah Mudhill (MahaMenyesatkan). Dia adalah Ghafûr (Maha Pengampun) terhadap hamba-hamba pendosa dan bersalah yang kembali pada-Nya, tapi Dia adalah Muntaqim (MahaMembalas Dendam) terhadap hamba-hamba yang berdosa dan tetap menjauh dari-Nya.
Tuhan, Dia adalah yang mutlak, tak terbatas, dan maha sempurna. Dia adalah Esa dan Maha Indah “Wa lillahi asma’ul husna“, sebab itu dari-Nyalah segala realitas dan totalitas sifat positif yang bermanifestasi dalam tatanan kosmis.
Keesaan Allah tidak hanya meniscayakan transendensi tetapi juga imanensi. Al-Quran berulang-ulang menegaskan transendensi Allah, Dia melampaui segala kategori pemikiran, imajinasi dan fantasi manusia, lantaran Dia “Maha suci dari sifat-sifat yang mereka berikan.” (QS. Al-An’am [6]: 100). Spiritual Islam didasarkan atas kesadaran perenial terhadap transendensi tauhid ini, ketidakberdayaan segala sesuatu dihadapan kekuasaan-Nya dan kefanaan semua eksistensi yang berlawanan secara diametris dengan hakikat kekekalan dan keabadian-Nya “Kullu syain haâlikun illa wajhahu dzul jalâli wal ikrâm” (Segala sesuatu akan hancur, kecuali wajah-Nya yang Maha Agung dan Maha Mulia).
Tapi Allah juga imanen dalam cahaya transendensi-Nya, karena Dia tidak hanya berada di atas segala sesuatu dan segala tingkatan eksistensi, tetapi seperti yang difirmankan-Nya: “Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya sendiri.” (QS. Al-Qaf [50]:16), dan firmanNya: “Maka kemanapun engkau menghadap disitulah wajah Allah” (Qs. Al-Baqarah [2]:115).
Oleh sebab itu realitas Allah, realitas esa dan tauhid, yang transenden dan yang imanen. Dan spiritualitas Islam mengarahkan seorang muslim pada suatu titik kesempurnaan realitas, suatu realitas mutlak yang esa dan maha sempurna “Limanil mulku al-yaum lillahil wahidil al-qahhar.” , “(Yaitu) pada hari (ketika) mereka keluar (dari kubur); tidak sesuatu pun keadaan mereka yang tersembunyi di sisi Allah. (Lalu Allah berfirman), “Milik siapakah kerajaan pada hari ini?” Milik Allah Yang Maha Esa, Maha Mengalahkan” (QS. Al-Ghafir [40]:16).