Agama dan akal adalah merupakan dua anugerah yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia dalam rangka membimbing perjalanan manusia menuju tahap kesempurnaan. Sebagian dari kaum muslimin seringkali mempertentangkan keduanya dengan mengatakan bahwa agama tidak boleh menggunakan akal, agama hanya boleh didasarkan pada keyakinan semata. Berkenaan dengan hal ini, ungkapan yang sangat populer pernah disampaikan oleh Ibnu Taimiyah bahwa “Man tamanthaqa faqad fazandaqa”, siapa yang menggunakan logika (akal) maka ia telah zindiq (kafir). Betulkah apabila manusia memanfaatkan potensi akalnya akan menjerumuskan dia dari keyakinannya? Atau apakah mungkin seorang muslim menjadi lemah imannya atau jatuh dalam kekafiran, saat ia menggunakan akalnya? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu tentu saja mengusik kita, karena ada berbagai hal yang kurang sejalan atau kontradiktif dalam argumentasi yang dibangun oleh mereka-mereka yang ingin menafikan akal. Pertama, bahwa ungkapan Ibnu Taimiyah sendiri tersebut, yang ingin berusaha menafikan penggunakan akal adalah mustahil tersusun tanpa didasari dengan kerja-kerja pikiran dan akal. Kedua, bahwa salah satu perbedaan kedudukan manusia dengan makhluk lainnya adalah karena akalnya. Karena itulah kewajiban atau taklif seseorang terhadap sebuah hukum selalu disyaratkan pada orang yang berakal dan bukan kepada orang yang tidak waras atau gila. Ketiga, berbagai dalil dalam Al-Quran dan Hadis telah menggambarkan bagaimana keutamaan, kedudukan, kegunaan dan pentingnya bagi manusia melakukan proses berpikir yang benar lewat potensi akalnya. Oleh karena itu, agama dan akal sudah pasti akan berguna bagi manusia dalam memahami hakikat kebenaran dan mengantarkannya menuju kesempurnaan insaniah. Lantas masih bisakah kita menyebut waras pada mereka yang masih ingin membenturkan diantara kedua anugerah Tuhan tersebut? Wallahu a’lam bisshawab.
Wassalam