Berdasarkan pada pembahasan sebelumnya, kesimpulan yang bisa diperoleh bahwa sekedar tunduk dan patuh dihadapan yang lain dan memuliakan yang lain tanpa meyakini ke-uluhiyah-an mereka atau dalam kata lain tanpa niat ibadah dan menghamba dihadapan mereka tidak bertentangan dengan tauhid dalam ibadah, serta tidak terbilang sebagai syirik dalam ibadah. Karena berdasarkan pada apa yang telah kami sampaikan bahwa, pada prinsipnya, tanpa adanya keyakinan pada uluhiyah, maka niat ibadah tidak akan keluar dari diri manusia. Oleh karena itu, pemuliaan dihadapan selain Tuhan tanpa adanya keyakinan pada uluhiyah mereka tidak akan terhitung sebagai ibadah karena persoalan ibadah hanya dilakukan dihadapan Tuhan.
Bahkan sebagaimana yang terlihat dalam Quran, Tuhan juga memuliakan dan menghormati sebagian manusia seperti manusia-manusia pilihan layaknya Rasulullah SAW dan para maksumin, juga pemuliaan pada ayah dan ibu. Maksudnya Tuhan memerintahkan pada manusia agar memuliakan mereka, jika manusia lebih mengikuti hawa nafsunya dari pada mengikuti perintah Tuhan maka dirinya telah masuk ke dalam syirik dalam tauhid.
Quran memerintahkan untuk berbuat baik dan berbuat ihsan kepada orang tua, berdampingan dengan perintah beribadah dan penghambaan kepada Tuhan; Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua . . . (An-Nisa : 36).
Perbedaan antara Tauhid dalam Uluhiyah dan Tauhid dalam Ibadah
Dari penjelasan sebelumnya, terlihat secara jelas bahwa tauhid dalam ibadah berbeda dengan tauhid dalam uluhiyah karena tauhid dalam uluhiyah berkaitan dengan tauhid pada keyakinan dan pemikiran manusia, namun tauhid dalam ibadah berkaitan dengan amal dan perbuatan manusia. Dalam kata lain, pengertian dari tauhid dalam uluhiyah bahwa, pada maqam akidah dan teoritis kita meyakini bahwa selain zat suci Tuhan, tak ada satupun keberadaan yang lain yang layak disembah dan memiliki maqam uluhiyah. Hanya Dia hakikat sembahan dan Tuhan yang hakiki. Selanjutnya, pengertian dari tauhid dalam ibadah berkaitan dengan perbuatan dan tindakan manusia. Maksudnya, kita tidak meletakkan maqam ibadah dan penyembahan pada siapapun, kecuali pada Tuhan semata. Dan kita tidak menundukkan kepala untuk beribadah dan penyembahan kecuali kepada Tuhan.
Meskipun dua hal di atas satu sama lain saling melazimkan, maksudnya kelaziman dari keyakinan kepada uluhiyah Allah dan penafian terhadap segala bentuk penyembahan kecuali kepada Tuhan adalah; pada maqam ibadah juga, hanya kepada Dia kita berniat taqarrub.Alakulli hal, kedua pembagian tauhid itu secara esensi dan hakiki berbeda karena yang satu berhubungan dengan aspek keyakinan manusia dan lainnya berkaitan dengan tindakan dan perbuatan manusia.
Berdasarkan dengan pandangan Islam, syirik dalam uluhiyah akan menyebabkan kekafiran dan mengeluarkan manusia dari Islam. Karena syirik seperti ini akan meruntuhkan dasar keyakinan seorang muslim sehingga akan mengeluarkan dirinya dari nadi Islam. Berdasarkan pada hal ini pula – sebagaimana yang akan dijelaskan pada pembahasan yang akan datang – tauhid dalam uluhiyah dalam pandangan Islam merupakan takaran tauhid dan syirik terhadapnya akan mengakibatkan kufur.
Namun syirik dalam ibadah, meskipun terbilang sebagai dosa besar, namun tidak demikian dianggap sebagai penyebab keluarnya seseorang dari Islam. Karena syirik dalam ibadah tidak menafikan syirik dalam uluhiyah. Berdasarkan perbedaan antara kedua pembagian tauhid ini, persoalan-persoalan tentang hadis-hadis yang berkaitan dengan kemusyrikan – dimana kemusyrikan terbilang sebagai dosa besar – akan menjadi jelas. Mungkin ada persoalan yang muncul dalam benak anda; bahwa pada prinsipnya syirik akan mengakibatkan kekufuran dan persoalan ini lebih besar dari persoalan dosa. Dan dosa – baik itu kecil ataupun besar – itu ada setelah menerima ajaran Islam karena dosa adalah penentangan terhadap hukum-hukum Islam. Oleh karena itu, bagaimana bisa dikatakan bahwa syirik secara urutan logis berada sebelum menerima Islam dan termasuk sebagai dosa besar? Jawaban atas pertanyaan tersebut bahwa syirik yang telah diisyaratkan oleh hadis sebagai dosa besar adalah syirik dalam ibadah. Maksudnya, manusia meyakini kepada uluhiyah Allah SWT, namun pada maqam perbuatan, lebih mengikuti dorongan hawa nafsu. Jadi, meskipun secara batin meyakini uluhiyah Tuhan, namun pada amal perbuatan menyembah sesuatu yang lain dan menaati selain kepada Tuhan. Alangkah banyaknya orang-orang muslim dimana pada maqam keyakinan mengakui akan uluhiyah Allah SWT, namun pada maqam perbuatan tidak mengikuti perintah Ilahi serta menundukkan kepalanya pada selain Tuhan. Mereka lebih mendahulukan hukum-hukum yang lain dari pada hukum-hukum Ilahi serta mereka mengamalkannya dalam kehidupan mereka.
Quran telah mengisyaratkan bentuk syirik seperti ini dalam surah yusuf : 106, “Dan sebagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain).” Maksudnya kebanyakan dari mereka yang beriman kepada Allah SWT, masih saja syirik dalam amal dan perbuatan mereka. Dalam kata lain, meskipun mereka meyakini tauhid dalam uluhiyah, namun pada maqam ibadah dan penyembahan, mereka mempersekutukan Tuhan.
Tauhid dalam Ketaatan
Maksud dari tauhid dalam ketaatan bahwa pada maqam ketaatan hanya kepada Tuhan. Hanya pada Dia kita taat. Kita tidak taat pada siapapun selain taat kepada-Nya. Kita tidak menaruh ketaatan lain selain taat kepada Tuhan.
Namun mungkin saja – sebagaimana yang telah kami isyaratkan sebelumnya – kita taat kepada sebagian dari manusia pilihan, namun ketaatan kita pada mereka dikarenakan ketaatan kita kepada Allah SWT dan hal ini tidak bertentangan dengan tauhid dalam ketaatan. Bahkan ketaatan kita kepada mereka adalah karena ketaatan kita kepada Allah SWT sebab Allah SWT sendiri yang memerintahkan kepada kita agar menaati mereka, sebagaimana dalam surah An-Nisa : 59 ; “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah rasul-(Nya) dan ulil amri di antara kamu.” Dalam ayat ini, ketaatan kepada rasul dan ulil amri disebutkan secara berbarengan akan ketaatan kepada Allah SWT. Namun ketaatan kepada rasul dan ulil amrimerupakan rentetan ketaatan kepada Allah SWT. Oleh karena itu, hal ini tidak bertentangan dengan tauhid dalam ketaatan.
Tauhid dalam Meminta Pertolongan
Pengertian dari tauhid dalam meminta pertolongan bahwa manusia hanya menganggap Tuhan sebagai tempat meminta pertolongan. Dalam susah dan derita, kedua tangannya hanya meminta pertolongan kepada Tuhan. Bahkan bukan hanya dalam kondisi susah dan derita, dalam segala kondisi manusia senantiasa memohon pertolongan kepada Allah SWT. Karena secara universal, seluruh keberadaan alam secara esensi adalah butuh dan faqir kepada Allah SWT. Tentu, seorang faqir tidak bisa memenuhi kebutuhan kepada orang faqir lainnya. Oleh karena itu, hanya wujud kaya, tak butuh, dan memiliki kudrat yang mampu memenuhi seluruh hajat manusia. Dialah zat wajibul wujud.
Pertanyaan; apakah persoalan ‘tawassul’ dan meminta pertolongan kepada wali Tuhan dan para maksumin – sebagaimana yang ditekankan pada sebagian hadis – bertentangan dengan tauhid dalam meminta pertolongan?
Jawab; seseorang yang meminta pertolongan pada orang lain merupakan suatu hal lumrah dan alamiah, ketika seseorang meminta pertolongan kepada orang lain, dia berusaha untuk mencari seorang perantara yang lebih dekat padanya dan seorang perantara tersebut memiliki maqam tertentu. Melalui seorang perantara tersebut, dirinya berharap bahwa tujuannya lebih baik dan lebih cepat sampai. Karena mungkin saja tanpa adanya perantara maka dirinya sama sekali tidak bisa sampai kepada tujuannya. Disini lah posisi tawassul menjadi penting kaitannya dengan manusia-manusia pilihan Tuhan.
Namun hal penting dan mendasar dalam persoalan ini bahwa bertawassul dan meminta pertolongan kepada waliyullah beserta manusia-manusia pilihan lainnya sama sekali bukan dalam pengertian bahwa mereka secara independen dapat memenuhi hajat manusia. Namun pengertiannya bahwa dalam singgasan Ilahi, mereka adalah perantara Tuhan sehingga manusia dapat meminta tolong padanya agar hajat-hajatnya disampaikan kepada Tuhan. Meminta pertolongan kepada wali Tuhan seperti ini sama sekali tidak bertentangan dengan meminta pertolongan kepada Tuhan karena sebagaimana pada pembahasan sebelumnya memohon pertolongan seperti ini dibawah naungan memohon pertolongan kepada Allah SWT. Bukan dalam pengertian disejajarkan dengan Allah SWT.
Hal lain yang mesti juga dipahami bahwa maksumin dan manusia-manusia pilihan lainnya yang menjadi perantara dalam singgasa Ilahi bukan dalam pengertian bahwa dalam bertawassul tidak memiliki aturan dan kaidah tertentu. Bahkan bertawassul itu didasarkan pada kaidah-kaidah dan maslahat tertentu. Kami akan menjelaskan secara rinci pada pembahasan syafaat. Insya Allah.
Diterjermahkan dari Buku : “Ămuzesy-e ‘Aqâ‘id” Tim Penulis : Mohsen Gharaveyân, Mohammad Reza Ghulâmî, Sayed Mohammad Husain Mirbâqerî).