Sosok

Sekilas Riwayat Hidup Syaikh Abbas Al-Qummi

“Syukur atas nikmat ialah mengenali si mun’im-Nya (pemberi nikmat), dan merasa bahagia terhadap nikmat tersebut serta menggunakannya dalam hal-hal yang diridhai oleh sang pemberi nikmat. Posisi syukur lebih mulia dari posisi orang-orang yang beruntung, dan merupakan faktor pemberangus musibah serta akan menyebabkan bertambahnya kenikmatan. Oleh karena itu syukur merupakan suatu hal yang diperintahkan dan sangat ditekankan.”

(Syaikh Abbas Al-Qummi)

Allah SWT berfirman:

“Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu dan jika kamu mengingkari (nikmat Ku) maka sesungguhnya azab Ku sangat pedih.” (QS. Ibrahim 14 : 7)

Syaikh Abbas al-Qummi, sebagaimana yang tertulis dalam kitab al Fawâidur Radhawiyyah dilahirkan pada tahun 1294 Hijriyah di kota suci Qum. Ia hidup di kota tersebut sejak masa kecil hingga akhir hayatnya. Di kota itu, ia mempelajari berbagai mata pelajaran mukaddimah, semenjak ilmu-ilmu Fiqih dan Ushul. Pada tahun 1316 H. al-Muhaddis al-Qummi pergi merantau ke kota Najaf Asyraf – Irak untuk melanjutkan studinya. Di sana ia mengikuti khalaqah-khalaqah pelajaran yang disampaikan oleh para ulama terkenal dan guru-guru besar. Tetapi minatnya dalam mempelajari ilmu Hadis lebih tinggi daripada minatnya mempelajari ilmu-ilmu yang lainnya. Sejak saat itulah ia bertekad untuk berusaha mendalami ilmu Hadis dan berusaha keras dalam mengkajinya. Untuk mewujudkan tekad ini, ia senantiasa mendatangi seorang muhaddis (ahli hadis) ternama dan Allamah besar yaitu Mirza Husain an-Nuri penulis kitab Mustadrakul Wasâ’il. Melalui muhaddis inilah, Syaikh Abbas Al-Qummi banyak mengambil pelajaran-pelajaran dan pancaran ilmu pengetahuan.

Zuhud

Kehidupan Syaikh Abbas Al-Qummi jauh lebih sederhana dibanding rata-rata orang lainnya. Aba’ah (pakaian khusus ruhani) yang senantiasa ia kenakan terbuat dari bahan yang kasar, tetapi selalu berbau harum dan bersih, dan ia tidak pernah menggantinya selama beberapa tahun karena tidak pernah memikirkan kekayaan dan bagaimana berhias.

Dalam hidupnya, ia sama sekali tidak menggunakan saham Imam Zaman untuk keperluan hidupnya, ia berkata: ” Aku tidak pantas untuk itu ”. Ia adalah orang yang sangat berhati-hati dalam hal makan dan minum serta senantiasa khawatir akan terkena hal-hal yang syubhat (meragukan).

Pada suatu hari dua orang perempuan dari India mendatanginya, kedua wanita tersebut ingin memberikan uang sejumlah 75 Rupee India sebagai syahriah atau beasiswa untuk keperluan hidupnya sehari-hari, tetapi ia menampiknya. Pengeluarannya pada setiap bulan –pada masa itu- kira-kira sebesar 50 Rupee. Salah seorang kerabatnya memaksa ia untuk menerima pemberian tersebut, tetapi ia menjawab dan mengatakan: “Sesungguhnya aku tidak tahu bagaimana aku harus memberikan jawaban di hadapan Allah pada hari Kiamat kelak tentang uang yang akan aku gunakan sekarang ini. Betapa beratnya tanggung jawabku untuk menerima uang tersebut.”

Ikhlas

Pada suatu hari ia berkata kepada putranya: “Setelah aku merampungkan menulis kitab Manâzilul Akhirah (Peringkat-peringkat Hari Akhirat) dan mencetaknya, aku pergi mengunjungi kota suci Qum. Di sana aku melihat kitabku itu sampai di tangan Syaikh Abdul Razak di mana beliau senantiasa memberikan nasihat kepada masyarakat di Haram Sayyidah Maksumah setiap sebelum shalat Dzuhur. Ayahku, Muhammad Ridha, yang termasuk murid Syaikh Abdul Razaak hadir pula ketika itu. Syaikh Abdul Razak membuka kitab Manâzilul Akhirah-ku tersebut kemudian membacakannya di hadapan hadirin. Suatu hari ayahku datang ke rumahku dan berkata kepadaku: “Wahai Syaikh Abbas seandainya saja engkau seperti Syaikh Abdul Razak yang senantiasa naik ke atas mimbar dan membacakan kitab ini?” Ketika itu aku diam dan tidak memberikan jawaban bahwa kitab tersebut sebenarnya adalah kitabku. Tapi aku berkata kepada ayahku: “Wahai ayahku berdoalah untukku semoga Allah SWT memberikan taufik untuk hal itu.”

Syaikh Muhaddis Al-Qummi adalah seorang yang wara’, ikhlas, tidak pernah meninggalkan shalat malam, sosok yang saleh , penyusun kitab (muallif), muhaddis dan mempunyai kepedulian yang tinggi terhadap kitab-kitab, terutama kitab-kitab yang menjelaskan tentang ilmu-ilmu Keluarga Rasul (Ahlul Bait) yang berupa hadis-hadis, doa-doa dan yang lainnya. Ia telah menulis puluhan kitab-kitab yang berharga di antaranya ialah Safinatul Bihâr, Mafâtihul Jinân, Nafasul Mahmum, al-Fawâidur Radhawiyyah, Muntahal Âmal, 50 Durus fii Akhlâq dan yang lainnya yang ia tulis dengan bahasa Persia yang kemudian diterjemahan ke dalam bahasa Arab.

Akhirnya, semoga kita dapat menggunakan waktu-waktu kita dengan baik dan tidak menyia-nyiakannya dengan banyak berkata-kata yang tidak ada manfaatnya sehingga Allah SWT menganugerahkan kita kesempatan untuk dapat mengkaji kitab-kitabnya yang sarat dengan ilmu pengetahuan keluarga Rasul (Ahlul Bait) tersebut dan dapat pula memahaminya dan mengamalkannya dengan baik dan ikhlas. Amin………

(dikutip dari Buku : 50 Pelajaran Akhlak untuk Kehidupan)

Komentari Artikel Ini

comments

https://pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js
%d blogger menyukai ini: