Perspektif

Sirah dan Keutamaan Rasulullah SAW (1)

Sejarah melukiskan berbagai peristiwa dan kejadian yang telah berlalu dan mencatat pelaku-pelakunya sebagai manusia-manusia yang telah mempengaruhi jalannya dan bahkan perjalanannya kini dan akan datang.

Sejarah yang tersusun atau peristiwa dan kejadian yang memiliki wujud tertulis, terkadang mencatat peristiwa dan kejadian yang terpisah-pisah dan bercerai-berai dalam satu rekaman tulisan, tetapi peristiwa-peristiwa ini hanya berhubungan satu dengan lainnya dalam konsepsi, tidak dalam dunia luar. Akan tetapi teks peristiwa-peristiwa alam, dari dimensi mereka diatur berasaskan sistem kausalitas, maka mereka satu dengan lainnya saling berkaitan. Oleh karena itu, di alam luar yang merupakan kitab takwini dan dimensinya adalah dimensi  realitas, setiap yang akan datang niscaya merupakan natijah yang telah lalu. Karena itu dalam masalah yang berkaitan pelaku sejarah, setiap nabi menjadi mukaddimah bagi nabi lainnya atau dengan kata lain setiap hak dan kebenaran menjadi mukaddimah hak dan kebenaran berikutnya. Prinsip ini merupakan prinsip asli dan tetap serta dipandang sebagai prinsip yang berkuasa atas masyarakat manusia.

Dengan demikian, peristiwa dan kejadian yang ada dalam teks alam takwini tidak terjadi begitu saja dan berasaskan kebetulan. Yakni tidaklah demikian bahwa berasaskan kebetulan tanpa adanya prinsip asalah/awal yang berlaku, terkadang yang berkuasa atas alam adalah tauhid dan terkadang syirik, terkadang para nabi dan terkadang para firaun yang memerintah masyarakat, sehingga dipandang bahwa tauhid dan nubuwwah tidak ubahnya syirik dan firauniyyah. Sama sekali tidaklah demikian, tetapi di alam tidak ada sesuatu yang berkuasa kecuali Hak, wahdâniyyah, dan kepengaturan Tuhan alam semesta. Kendati pun syirik juga tumbuh dalam bentuk rumput alang-alang di samping tauhid. Karena itu syirik dan firauniyyah ini perlu dibabat dan dimusnahkan dari akarnya.

Di dalam Al-Quran, Allah SWT memperkenalkan diri-Nya sebagai yang menumbuhkan masyarakat manusia: “Dan Allah menumbuhkan kamu dari tanah, tumbuh (berangsur-angsur)” (QS. Nuh [71] : 17) dan Dia menjadikan bumi sebagai tempat khalifah-Nya: “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.” (QS. Al-Baqarah [2] : 30) Karena itu, manusia adalah khalifah Tuhan di bumi. Dan prinsip kekhalifahan ini ibarat sebuah pohon yang kokoh dan kuat yang penuh buah dan setiap saat akan memberikan buahnya. Kendati pun demikian, terkadang syirik dan firauniyyah juga tumbuh di tengah-tengah masyarakat; sebab kemestian dari alam materi ini adalah gerak dan tazâhum (perbenturan). Tapi yang asalah/awal adalah tauhid, nubuwwah, dan kekhalifahan. Adapun syirik, thagut, dan firauniyyah, ibaratnya rumput alang-alang di masyarakat yang tumbuh di samping pohon tauhid, yang mesti dihancurkan dan dimusnahkan sampai ke akar-akarnya : “…maka Kami jadikan mereka bahan pembicaraan dan Kami hancurkan mereka sehancur-hancurnya.”  (QS. Saba’ : 19)

Mengenal Rasulullah SAW

Tidak diragukan, untuk mengenal Nabi SAW haruslah mengenal Al-Quran. Akan tetapi sebagaimana hakikat Al-Quran tidak diketahui kecuali di antara beberapa orang saja, maka mengetahui hakikat Rasulullah SAW juga seperti demikian. Diriwayatkan dalam hadis: Tak seorang pun yang mengenal Rasulullah SAW kecuali Allah SWT dan Ali bin Abi Thalib Kw. Tentang hal ini dapat dijelaskan seperti berikut, selama seseorang tidak sampai pada maqam mengenal ummul kitab maka dia tidak akan mampu mengenal Nabi SAW. Sebab Rasulullah SAW, sebagaimana dia dalam dimensi katsrah (kejamakan) mempelajari Al-Quran dari Tuhan dalam tingkatan arab mubin, dalam dimensi wahdah (ketunggalan) mendapatkannya dari Tuhan dalam tingkatan ummul kitab. Oleh karena itu, Rasulullah SAW memiliki seluruh ilmu dan makrifat Al-Quran. Dan seseorang tidak mungkin mengetahui hakikat beliau tanpa mengetahui seluruh tingkatan-tingkatan Al-Quran, khususnya tingkatan ummul kitab.

Namun demikian, ini tidak berarti bahwa beliau sama sekali tidak dapat dikenali oleh orang yang berupaya mengenalinya. Setiap orang seukuran jalan yang dilewatinya dalam mengenal Al-Quran, seukuran itu makrifatnya terhadap Rasulullah SAW. Dan setiap orang sebatas pengenalan dan pengamalannya terhadap shirath mustaqim -di mana batasnya adalah sebagian arab mubin dan sebagian lainnya adalah ummul kitab– seukuran itu dia mengenal Nabi SAW dan dekat kepada Allah SWT.

Oleh karena itu, mengenal Nabi SAW merupakan suatu kemestian bagi seluruh umat manusia yang mencintai kesempurnaan dan menginginkan kebahagiaan. Dan meneladani serta bersuluk sesuai dengan sirah dan sunnahnya akan menyampaikan manusia kepada kedekatan kepada Tuhan, kesempurnaan, dan kebahagiaan hakiki : “Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan yang banyak mengingat Allah.” (QS. al-Ahzab [33] : 21)

Kendatipun tidak semua pesuluk sirah dan sunnah beliau SAW akan sampai kepada makrifat tingkatan ummul kitab, tapi dalam qaus shu’ud (busur naik) semuanya akan bergerak ke sisi Tuhan, sebagaimana dalam qaus nuzul (busur turun), semuanya juga datang dari sisi Tuhan: “Sesungguhnya kita berasal dari Tuhan dan kepada-Nya kita kembali semua.”  (QS. Al-Baqarah [2] : 156)

Basyârat Hadhrat Isa Al-Masih as

Tuhan dengan perantaraan lisan Nabi Isa as menyampaikan berita  kedatangan Nabi Islam SAW dengan firman-Nya: “Dan (ingatlah) ketika Isa putra Maryam berkata, “Wahai Bani Israil! Sesungguhnya aku utusan Allah kepadamu, yang membenarkan kitab (yang turun) sebelumku, yaitu Taurat dan memberi kabar gembira dengan seorang rasul yang akan datang setelahku, yang namanya Ahmad (Muhammad).”  (QS. As-Shaff [61] : 6)

Nabi Isa as menyampaikan basyârat (kabar gembira) tentang kedatangan seorang nabi yang membawa matlab baru bagi umatnya dan bagi yang lainnya. Jika nabi yang akan datang itu berada dalam tingkatan nabi-nabi sebelumnya atau berbicara dalam tingkatan risalahnya; Pertama, tidak butuh kedatangan nabi baru. Kedua, bukan tempatnya untuk memberi basyârat, sebab nabi baru itu tidak membawa suatu matlab baru yang mengharuskan Nabi Isa as memberi basyârat tentang kedatangannya. Dengan adanya pemberitaan Al-Quran dalam surah As-Shaff yang menyatakan, Isa al-Masih berkata kepada kaumnya, sesungguhnya aku membenarkan kitab-kitab suci yang turun sebelumku dan memberi basyârat tentang kedatangan seorang nabi yang bernama Ahmad; dari matlab ini dapat diketahui bahwa Nabi Islam SAW lebih utama dari Nabi Isa as, kitab suci Al-Quran lebih tinggi dari kitab suci Injil, dan jalan suluk kepada Allah SWT yang dibawa Nabi Islam lebih sempurna dari jalan suluk yang dibawa nabi Isa as. Jadi, berasaskan basyârat Nabi Isa as ini, Nabi khâtam (nabi pamungkas) Rasulullah SAW memiliki seluruh keutamaan dan kesempurnaan nabi-nabi sebelumnya dan juga seluruh keutamaan dan kesempurnaan khusus Nabi Isa as.

 

Keutamaan Kitab Suci Rasulullah SAW

Seluruh nabi membawa kebenaran dan membuktikannya dengan mukjizat dari Tuhan. Di samping itu Tuhan menganugerahi sebagian di antara mereka kitab suci dan syariat. Akan tetapi kitab suci para nabi terdahulu berada di bawah penjagaan dan pemeliharaan kitab suci Nabi Islam Al-Quranul Karim. Mengapa kitab suci Al-Quran menjadi muhaimin (penjaga, pemelihara, pelindung) kitab-kitab suci para nabi terdahulu? Sebab seluruh kesempurnaan ilmu dan makrifat setiap nabi terdahulu yang ada dalam kitab suci mereka serta kesempurnaan ilmu dan makrifat Rasulullah SAW, seluruhnya memanifestasi dalam kitab suci Al-Quran. Oleh karena itu, kehadiran dan kedatangan Rasulullah SAW beserta mukjizat Al-Quran yang dibawanya telah menjaga dan menyempurnakan risalah Ilahiah.

Berasaskan ini dapat diketahui bahwa maqam dan kedudukan maknawi setiap nabi bertajalli dalam kitab sucinya. Maqam dan kedudukan Nabi Musa Kalimullah as berada dalam batas tingkatan kitab suci Taurat, dan maqam serta kedudukan Nabi Isa Ruhullah as bertajalli dalam batas tingkatan kitab suci Injil. Dan para nabi terdahulu lainnya juga bertajalli dalam batas tingkatan suhuf serta kitab-kitab suci mereka. Ketika keutamaan Al-Quran atas seluruh kitab-kitab suci nabi terdahulu terafirmasikan maka keutamaan Rasulullah SAW atas para nabi-nabi lainnya juga tertetapkan. Sebab maqam dan kedudukan Rasulullah SAW bertajalli dalam batas tingkatan Al-Quran, sementara Al-Quran adalah muhaimin atas seluruh kitab-kitab suci para nabi terdahulu maka Nabi Islam juga adalah muhaimin atas para nabi-nabi sebelumnya.

Perlindungan dan penjagaan Rasulullah SAW terhadap nabi-nabi sebelumnya (baik itu kebenarannya dan risalahnya) tentulah bukan perlindungan dan penjagaan yang berbentuk materi, akan tetapi  berbentuk maknawi. Dalam hal ini adalah akidah, akhlak, ilmu, dan makrifat. Tuhan dalam melukiskan makna ini, setelah menyebutkan Nabi Musa as dengan kitab Tauratnya serta Nabi Isa as dengan Injilnya, berfirman:“Dan Kami telah menurunkan kitab (Al-Quran) kepadamu (Muhammad) dengan membawa kebenaran, yang membenarkan kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya dan menjaganya, … .”  (QS. Al-Maidah [5] : 48) Oleh karena itu, Al-Quran menjaga kitab-kitab sebelumnya dari kemurnian dan keorisinalannya dari Tuhan dan membetulkan mereka dari tahrif-tahrif manusia. Yakni ketika ayat-ayat yang telah ditahrif tersebut diperhadapkan dengan Al-Quran maka dengan baik dapat ditentukan serta dikeluarkan mereka dari tahrifnya. Karena itu Al-Quran menjadi ukuran untuk menentukan benar dan tidaknya ayat-ayat yang terdapat dalam kitab-kitab sebelumnya. Dan dengan perantaraannya, kitab-kitab suci para nabi terdahulu dapat diketahui mana kandungannya yang benar dan mana kandungannya yang telah ditahrif oleh tangan-tangan kotor manusia. (RS)

Komentari Artikel Ini

comments

https://pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js
%d blogger menyukai ini: