Oleh : Musa Kazhim
Bagian 3
Setelah secukupnya kita membahas makna takwa, kaitanya dengan kehendak dengan akal sebgai dua dasar kemanusiaan serta sisi negatif dan positifnya, marilah sekarang kita membincangkan nilai dan pengruh takwa terhadap kehidupan manusia, secara individu maupun sosial, di dunia maupun di akhirat. Guna mendapatkan gambaran secara umum mengenai berbagai nilai, pengaruh dan hasil takwa bagi kehidupan manusia, saya akan menjelaskan butir demi butir.
Pertama, dalam Al-Quran surah Al-Anfal ayat 29, Allah mengungkapkan tiga pengaruh takwa pada manusia: timbulnya furqan; tertutupnya kejelekan; dan pengampunan (maghfirah)
Allah berfirman,
Hai orang-orang beriman, jika kamu bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan kepada kalian furqan dan menghapuskan segala kesalahan dan mengampuni (dosa-dosa) kalian. Dan Allah mempunyai karunia yang besar.
Dalam menafsirkan ayat ini, para ahli makrifat mengemukakan bahwa furqan adalah kemampuan akal untuk membedakan kebenaran dan kebatilan; ketajaman akal dalam memilah kebenaran dan kebatilan. Mengutip Abdul Razzaq al-Qasyani;
“Al-Furqan adalah pengetahuan terperinci yang membedakan kebenaran dan kebatilan”
Dengan demikian, furqan berkaitan dengan kemampuan akal dan pikiran manusia.
Untuk mengurai korelasi takwa dan ketajaman akal, mula-mula kita perlu membagi akal menjadi dua: teoritis (nazhari) dan praktis (amali). Akal teoritis berfungsi menjawab pertanyaan apa hakikat dan esensi sesuatu, sementara akal praktis berfungsi menjawab apa yang seharusnya dilakukan. Akal teoritis menghasilkan filsafat, logika, matematika, fisika, dan sebagainya, sementara akal praktis menghasilkan ilmu akhlak, etika, ilmu hukum, estetika dan kesenian.
Wilayah akal teoritis adalah penalaran dan pemikiran, sementara wilayah akal praktis adalah kecenderungan, perasaan dan perbuatan. Akal praktis menguraikan soal-soal berkenaan dengan kebaikan dan keburukan, kebajikan dan kemungkaran, keuntungan dan kerugian, kewajiban dan hak, keharusan dan larangan, dan lain sebagainya.
Dalam sabda Nabi dan orang-orang suci terdapat perbandingan terbalik antara sifat-sifat buruk seperti cinta dunia, kesombongan, ketamakan, keras kepala, fanatisme (ta’ashshub) dan kemampuan akal. Demikian pula sebaliknya: kemampuan akal berbanding lurus dengan kukuhnya sifat-sifat baik dalam jiwa manusia. Dengan demikian, semakin kukuh takwa dalam diri manusia, semakin tajam kemampuan akal praktis membedakan kebenaran dari kebatilan dan kebaikan dari kejelekan. Kenyataan itu secara sederhana bisa dijelaskan dengan mengutip prinsip akal sehat yang dikemukakan oleh Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib:
“Ada tiga jenis teman dan ada tiga jenis musuh. Temanmu sendiri, sahabat temanmu, lawan musuhmu. Adapun musuhmu ialah musuhmu, musuh temanmu, dan teman musuhmu.”
Teman musuh disebut musuh karena ia membantu musuh melancarkan serangannya, sementara lawan musuh disebut teman karena ia melemahkan pengaruh musuhmu, musuh temanmu, dan teman musuhmu.
Selain tentunya berlaku dalam konteks hubungan-hubungan sosial, prinsip ini juga berlaku dalam pertarungan batin yang abadi antara kekuatan baik dan buruk dalam jiwa dan ruh manusia. Pertarungan batin antara kekuataan jahat dan baik dalam jiwa ini disebut dengan jihad an-nafs (jihad melawan hawa nafsu) dan menjadi tema utama dalam khasanah tasawuf Islam selama berabad-abad. Oleh sebab itu, dapatlah dikatakan bahwa manusia mempunya tiga kawan dan tiga musuh dalam pertarungan batin yang terjadi dalam jiwanya. Teman pertama manusia adalah akal yang mengantarkan manusia menuju kebenaran. Teman keduanya ialah kawan-kawannya akal seperti Syariat, sunnah Nabi, dan ajaran para Imam suci. Dan teman terakhir manusia ialah semua sifat baik dan sifat terpuji seperti takwa, kesabaran, kerendahan hati, tawakkal, azam, keberanian, kehormatan, dan sebagainya.
Pada sisi lain, musuh pertama manusia (seperti kata Al-Quran) adalah setan. Musuh lainnya ialah teman setan, yakni hawa nafsu, hawa nafsu menjadi musuh manusia secara aksidental, mengingat ia kerap diperbudak oleh setan untuk menyimpangkan manusia ke jalan kesesatan melalui ketundukan pada dunia dan segala tipu-dayanya. Musuh manusia yang ketiga ialah teman-teman dari kedua musuh besar tersebut. Teman-teman kedua musuh tersebut tidak lain dari semua sifat buruk seperti cinta dunia, ketamakan, kekikiran, keras kepala, pengingkaran, was-was, ta’ashshub (sikap membuta) dan sebagainya.
Dalam konteks ini, takwa adalah musuh setan dan hawa nafsu, dan karenanya menjadi teman akal. Seperti telah kita jelaskan, hakikat takwa ialah pemeliharaan dan penjagaan. Selama ada takwa, ketenangan dan keheningan dalam jiwa dapat terpelihara. Dan dalam suasana yang hening itulah seruan akal bisa bergema dengan jelas. Sebaliknya, jiwa yang gaduh oleh bentakan hawa nafsu yang telah terjerat rayuan setan tidak akan bisa mendengar ajakan akal ke jalan yang benar.
Nah, dilain pihak, setan senantiasa memaksa hawa nafsu untuk membuat kegaduhan dan kesamaran. Dalam suasana gaduh dan samar-samar, jiwa bakal susah mendengarkan suara akal dan melihat sinar cahayanya. Kekuatan penjagaan dan pemeliharaan takwa bisa menyelamatkan jiwa dari kegaduhan dan kesamaran yang ditimbulkan oleh hawa nafsu, sedemikian sehingga kemampuan akal utuk membedakan kebenaran dan kebatilan (yang dalam ayat di atas disebutkan dengan furqan) bisa menjadi efektif dan optimal. Bahkan makin kuat ketakwaan seseorang, makin kukuh pula fungsi furqan itu dalam jiwanya. Penyair-sufi Iran, Sa’di mengisyaratkan korelasi tersebut dalam syairnya yang berbunyi;
Hakikat kebahagiaan adalah keteraturan,
Hawa nafsu adalah debu yang berhamburan.
Tidaklah engkau mengerti bahwa bila debu beterbangan,
Engkau takkan bisa melihat meskipun engkau tidak buta.
Akan halnya hubungan antara tumbuhnya takwa dan tertutupnya kejelekan serta pengampunan Allah sebagaimana dikatakan ayat di atas (QS. Al-Anfal : 29), saya kira sudah sangat jelas. Seperti sudah dijelaskan pada kolom-kolom sebelumnya, takwa ibarat vaksin atau antibiotik yang menjaga manusia dari segenap kejelekan. Makin tinggi dosis takwa dalam diri kita, makin terhindar kita dari kejelekan sehingga kemampuan berbuat jelek itu sendiri seolah-olah mati. Konsekuensi logisnya kemudian tiada lain kecuali pengampunan Allah atas segala kekurangan dan kesalahan kita.
Bagian 4
Pengaruh takwa yang kedua ialah terbukanya jalan keluar dan terbentangnya kemudahan dalam menghadapi berbagai urusan dan kesulitan. Pada surah ath-Thalaq ayat kedua Allah berfirman:
Barang siapa yang bertakwa kepada Allah maka Allah
akan membukakan jalan keluar baginya.
Memperkuat maksud ayat di atas, pada dua ayat setelahnya Allah berfirman:
Barang siapa yang bertakwa kepada Allah
niscaya Allah memudahkan urusannya
Kedua ayat tersebut secara gamblang menegaskan terbukanya jalan keluar dan kemudahan menghadapi kesulitan sebagai pengaruh lain dari ketakwaan manusia kepada Allah.
Lantas, apa sesungguhnya hubungan takwa yang merupakan keistimewaan jiwa dan kebajikan moral dengan kemudahan menghadapi berbagai urusan dan kesulitan? Apa peran jiwa dalam menyelesaikan urusan dan memudahkan kesulitan manusia? Apa saja jenis urusan dan kesulitan manusia? Dan apa jenis urusan dan kesulitan jiwa berbeda dengan jenis urusan dan kesulitan lainnya?
Untuk menjawabnya, pertama sekali perlulah kiranya kita mengetahui adanya dua jenis urusan dan kesulitan yang umumnya dihadapi manusia:
- Urusan dan kesulitan yang tidak langsung berkaitan dengan kehendak dan keinginan manusia seperti bencana-bencana alam; serta
- Urusan dan kesulitan yang secara langsung berkaitan dengan dan ditimbulkan oleh keinginan dan kehendak manusia seperti lazimnya masalah-masalah personal, sosial, dan moral.
Pembagian di atas sesungguhnya tidaklah hakiki, lantaran segala macam kesulitan dan keburukan pada hakikatnya juga berasal dari ulah manusia. Dan ketidaktahuan manusia akan sebab-musabab kesulitan bukanlah bukti bahwa ia tidak melakukan sesuatu yang membuatnya terperosok dalam kesulitan. Buktinya, untuk puluhan dekade lamanya, efek rumah kaca tidak diketahui atau tidak disadari sebagai penyebab timbulnya begitu banyak bencana alam.
Selain itu, pada sisi lain, fenomena bencana alam yang kita anggap sebagai kesulitan, dari perspektif tata surya, sebetulnya justru merupakan fenomena berjalannya sistem. Keluarnya lahar dari gunung berapi ialah fungsi “pembuangan panas bumi” yang berjalan secara otomatis. Sebaliknya, kegagalan fungsi pembuangan itu akan berakibat pada kehancuran bumi yang menyeluruh. Oleh karena itu, bencana-bencana alam sebenarnya tidak lebih dari berjalannya berbagai fungsi sistem tata surya.
Oleh sebab itu, masalah sebenarnya terletak pada urusan dan kesulitan yang secara langsung berkaitan dengan keinginan dan tindakan manusia. Karena, seperti yang sudah umum diketahui, pokok kesulitan dan musibah yang datang menghantam manusia dan membuat hidupnya menjadi susah dan sengsara, adalah jenis kesulitan dan musibah yang bersifat moral, spiritual, mental, dan sosial yang seluruhnya berasal dari ulah individu maupun masyarakat manusia itu sendiri.
Manusia adalah asal-muasal dari berbagi kusulitannya sendiri, dialah penyebab sekaligus penanggung derita tindakan-tindakannya dan penentu nasibnya sendiri. Tapi, apakah esensi dan hakikat manusia itu? Seperti halnya para filosof, para sufi yakin esensi dan hakikat manusia adalah jiwa atau ruhnya. Itulah rumah dan kediaman abadi manusia. Sementara raga hanyalah sisi material yang menghubungkan manusia dengan ruang dan waktu yang berperan menjadi wadah sekaligus ukuran pergerakan jiwanya.
Lagi-lagi seperti halnya para filosof, para sufi juga percaya jiwalah yang “mendefenisikan” kebaikan dan keburukan, keindahan dan kejelekan, kebahagiaan dan kesengsaraan, kemudahan dan kesulitan manusia. Dalam sebuah hadis terkenal disebutkan, “Kalau seseorang menyakini batu bisa bermanfaat baginya, niscaya batu itu akan bener-benar bermanfaat untuknya.” Mengenai soal yang sama, filosof Roma abad pertama, Epictecus, mengatakan: “Manusia terganggu bukan oleh benda-benda (kasat mata di sekelilingnya), mainkan oleh pendapatnya tentang benda-benda tersebut.”
Pendapat tentang benda-benda dan alam semesta terjelma hanya dalam pikiran dan jiwa manusia. Oleh sebab itu, keadaan jiwa sangat menentukan keseluruhan hidup manusia.
Apa yang terjadi di dalam jiwa akan secara langsung berdampak pada apa yang akan kita rasakan, sedemikian sehingga apa yang tampak secara lahiriah sebagai menyenangkan bisa-bisa terasa menyedihkan hanya lantaran jiwa kita sedang kacau dan demikian pula sebaliknya.
Kekuatan takwa terutama sekali berperan memelihara jiwa dari bebagi dosa yang meredupkan cahaya akal dan tipu daya yang meresahkan hati.
Itulah tafsir dari QS. Ali Imran ayat 120 yang menegaskan fungsi kesabaran dan takwa dalam menetralisasi dan melenyapkan bahaya tipu daya para penipu.
Allah berfirman,
Jika kalian memperoleh kebaikan, niscaya mereka akan bersedih hati, tapi jika kalian mendapatkan bencana, mereka akan bergembira karenanya. Jika kamu bersabar dan bertakwa niscaya tipu daya sedikitpun tidak akan mendatangkan kemudharatan kepada kalian. Sesungguhnya Allah mengetahui segala apa yang mereka kerjakan.
Dalam ayat lain, Allah berfirman:
Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila ditimpa was-was dari sekelompok setan, mereka ingat kepada Allah maka merekapun menjadi bisa melihat dengan tajam (mubshirun). (QS. Al-A’raf : 201)
Ayat terakhir ini menjelaskan bahwa was-was yang dibuat oleh setan menyebabkan rusaknya penglihatan dan menimbulkan kerabunan. Dan dalam kerabunan itu jiwa tidak akan dapat membedakan antara jurang dan jalan yang lurus. Sebaliknya, penjagaan takwa dapat menjauhkan manusia dari kegelapan, mempertajam penglihatan batin, membentangkan jalan keluar baginya dan memudahkan menghadapi segala kesulitan. Manakala cahaya takwa menyala dalam jiwa, maka manusia tidak gampang terjatuh dalam jeratan kesulitan. Dan kalaupun karena satu dan lain sebab dia terjatuh dalam lembah kesulitan dan musibah, maka jalan keluar menuju keselamatan akan bisa dengan mudah ditemukan.
Jiwa ibarat mata manusia dalam melihat realitas, dan takwa ibarat selaput yang menjaganya dari segala debu dan polusi. Tanpa selaput itu, kotoran dan debu akan mengenai mata dan mata akan menampilkan gambar-gambar yang buram dan kabur. Dari-gambar-gambar itu kemudian kita melihat dunia yang tak pelak lagi, penuh dengan kekacauan dan kesulitan. Dunia yang penuh dengan kesuraman dan kesumpekan. Tetapi mata orang yang memiliki takwa tidak terkena kotoran sehingga daya penglihatannya akan senantiasa tajam dan terang. Mata yang tajam itupun akan dapat menyaksikan betapa hidup ini sebenarnya adalah panorama indah yang teratur dan tertata, terjaga dan terpelihara.
Sehubungan dengan itu, dalam Nahj al-Balaghah Imam Ali berkata:
“Sesungguhnya takwa kepada Allah adalah obat bagi hati Anda,
penglihatan bagi kebutaan jiwa Anda, penyembuhan bagi
penyakit tubuh Anda, pelurus keburukan dada Anda, penyuci pikiran Anda,
cahaya hati Anda, dan kecerahan bagi suramnya kebodohan Anda.”