Sejak lahir, kita sudah terbiasa dengan patokan bahwa satu hari terdiri dari 24 jam, separuh siang dan separuh malam. Sedemikian rutinnya sehingga mungkin jarang di antara kita yang mempertanyakan apakah patokan itu alamiah ataukah konvensional belaka. Jika konvensional, kita juga tidak mengetahui siapa yang pertama kali menetapkan bahwa satu hari adalah 24 jam.
Dari catatan historis, diketahui dengan jelas bahwa patokan satu hari terdiri dari 24 jam merupakan penetapan manusia yang disepakati. Dan orang pertama yang menetapkan patokan itu adalah astronom muslim terbesar, yaitu al-Battani. Dia mengubah sistem perhitungan sebelumnya yang membagi satu hari ke dalam 60 bagian (jam) menjadi 12 bagian (12 jam), dan setelah ditambah 12 jam waktu malam sehingga berjumlah 24 jam. Introduksi al-Battani itu kemudian diambil alih oleh astronom-astronom Eropa belakangan, dan karena Eropa menguasai perkembangan sains dan astronomi modern sejak abad ke-17, patokan satu hari menjadi 24 jam tersebut menjadi popular dalam kehidupan sehari-hari seperti yang dikenal sekarang.
Al-Battani: Ptolemeus dari Bagdad
Al-Battani lahir di Harran, Suriah, pada 858, dengan nama lengkap Abu ‘Abd Allaah Muhammad b. Jabir b. Sinan al-Raqqi al-Harrani al-Shabi al-Battani. Meski dia berasal dari keluarga yang dulu dikenal sebagai pemeluk kepercayaan Shabi, al-Battani adalah seorang muslim yang taat. Hampir seluruh hidupnya dihabiskan di Raqqah, daerah tepi sungai Eufrat. Di tempat itulah dia melakukan observasi-observasi astronomi pada observatorium yang dibangun oleh Khalifah al-Ma’mun. Dia meninggal di sebelah timur Sungai Tigris pada 929 setelah menekuni astronomi dan matematika dengan memberikan sejumlah kontribusi penting dalam kedua disiplin sains itu.
Al-Battani dikenal dengan Albetegni atau al-Batenius atau Bethem di Eropa. Dia merupakan generasi penerus astronom al-Farghani dengan mengembangkan telaah astronomi melalui observasi ilmiah dan ilmu alat trigonometri yang amat dia kuasai. Seyyed Hosein Nasr (1968) dan K. Ajram (1992) menyebutkan bahwa al-Battani sering dianggap sebagai astronom muslim terbesar. Dia dijuluki sebagai “Ptolemeus dari Bagdad”, meski dia banyak mengkritik dan mengoreksi beberapa konsep dasar Ptolemeus, seorang astronom besar dari Yunani. Natsir Arsyad (1989) menulis, “Al-Battani merupakan guru orang-orang (astronom) Eropa yang banyak memperkenalkan terminologi-terminologi astronomi yang digali dari bahasa Arab.
Kontribusi Al-Battani terhadap astronomi sangat besar. Menurut Ronan (1982), kritik-kritik dan koreksi-koreksi al-Battani terhadap konsep Ptolemeus sangat berharga dalam perkembangan astronomi. Will Durant dalam bukunya The Age of Faith (1950) sebagaimana yang dikutip oleh Ajram (1992) menulis, “Observasi astronomi yang dilakukan al-Battani selama 41 tahun memiliki ketepatan yang luar biasa, dia menentukan koefisien-koefisien astronomis dengan hasil yang sangat dekat dengan perhitungan modern”.
Menurut Ajram (1992), al-Battani termasuk astronom pertama yang membuktikan bahwa orbit-orbit planet berubah pada diameter karena orbit-orbit tersebut tidak persis lingkaran, namun elips. Al-Battani secara mengejutkan mengembangkan metode-metode yang seksama untuk menghitung gerakan dan orbit planet-planet, dan kerena itu, dia berperan utama dalam merenovasi astronomi modern yang berkembang kemudian di Eropa. Penemuan-penemuan al-Battani banyak memengaruhi Johannes Kepler dalam usahanya merumuskan aturan-aturan gerakan planet.
Ronan (1982) menyatakan bahwa pada kenyataannya seluruh tokoh astronomi di Eropa seperti Copernicus, Kepler, Brahe, dan Galileo, banyak mengutip karya-karya al-Battani. Menurut Ronan, karya-karya al-Battani secara kontinu dikutip oleh para astronom terkemuka Eropa sampai abak ke-18. Karya utama al-Battani yang berpengaruh adalah al-Zij (Astronomical Treatise and Tables). Buku itu berisi uraian astronomis yang dilengkapi dengan tabel-tabel, dan juga memuat hasil observasi-observasi yang pernah dilakukannya. Arsyad (1989) menyebutkan bahwa karya itu berpengaruh besar terhadap astronomi dan trigonometri sferis di Eropa pada Abad Pertengahan dan Renaisans. Buku al-Zij itu diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Robertus Retinensis pada awal abad ke-12, dan setelah diedit, kembali diterbitkan di Nuremberg pada 157, dan di Bologna pada 1645. Sedangkan terjemahan ke dalam bahasa Spanyol dilakukan oleh Alphonso X de Castile pada akhir abad ke-13.
Sumbangan-Sumbangan al-Battani
Sumbangan-sumbangan ilmiah al-Battani dalam sains astronomi dan matematika, khususnya trigonometri, cukup banyak. Beberapa sumbangan berharga al-Battani terhadap astronomi adalah sebagai berikut:
Pertama, dia memperkenalkan terminology-terminologi astronomis yang digali dari bahasa Arab, seperti azimut, zenit, dan nadir. Istilah-istilah yang berlaku sampai sekarang digunakan al-Battani dalam melukiskan letak benda-benda langit dengan Bumi sebagai pusat bola (langit dilukiskan sebagai bola). Azimuth adalah proyeksi bintang atau benda langit pada horizon (busur pada horizon). Zenit adalah titik puncak bola langit sebelah atas (tinggi bintang 90°). Nadir adalah titik puncak bola langit sebelah bawah (tinggi bintang -90°). Titik zenit dan titik nadir dihubungkan oleh garis vertikal yang melalui tempat pengamat berdiri di Bumi.
Kedua, dia mengoreksi sistem tata surya Ptolemeus yang statis menjadi lebih dinamis. Al-Battani membuktikan adanya variasi diameter anguler yang tampak dari Matahari dan kemungkinan gerhana-gerhana yang berbentuk cincin . Dia juga meralat pendapat berkenaan kesalahan beberapa orbit Bulan dan planet-planet lain.
Ketiga, al-Battani menentukan secara teliti garis lengkung atau kemiringan ekliptika (orbit di mana Matahari terlihar bergerak), panjangnya tahun tropis, lamanya suatu musim, dan titik ketepatan orbit Matahari serta orbit utama planet tersebut.
Keempat, dia menetapkan nilai presesi(perputaran Bumi terhadap kutub ekliptika) sebesar 54,5” untuk satu tahun, dan juga sudut inklinasiekliptika sebesar 23°55’. Itu artinya, al-Battani telah menghitung bahwa poros Bumi berputar dalam suatu lingkaran yang berpusat pada kutub ekliptika dengan jari-jari 23°35’ dan periode yang diperlukan sebesar 54,5 detik busur tiap tahun.
Kelima, dia menemukan metode baru untuk menetapkan saat terlihatnya bulan baru, dan juga membuat telaah terperinci mengenai gerhana Bulan dan Matahari, yang masih digunakan sampai pada abad ke-18 oleh Dunthorne dalam menentukan perubahan gradual gerak Bulan (percepatan anguler gerak Bulan).
Keenam, al-Battani mengintrodusir penetapan satu hari menjadi 24 jam siang-malam. Dia mengukur garis lurus khatulistiwa lewat pengukuran bayang-bayang yang datang melalui gnomon, yakni semacam papan yang mengukur cahaya Matahari setelah dibagi menjadi 12 bagian. Garis lurus tersebut kita kenal sekarang sebagai cotangen, sedang garis melintangnya disebut tangen. Menurut Arsyad (1989), alat gnomon itulah yang merupakan dasar penciptaan jam sekarang. Dalam bukunya yang berbahasa Latin, De Scientia Stellatum (Mengenai Sains Bintang), al-Battani menjelaskan teori cotangen menurut 12 bagian gnomon yang didasarkan atas persamaan: cotg A = (cos A : 12)/sin A.
Ketujuh, dia membuat beberapa instrumen untuk observasi-observasi astronomis yang dia lakukan, beberapa di antaranya masih terpakai hingga sekarang. Ajram (1992) menulis, “Untuk menentukan perhitungan yang tepat, dia mengonstruksi pelbagai instrumen astronomis yang inovatif, seperti sebuah sun-dial (lempeng waktu sebagai alat penunjuk waktu dengan bantuan bayangan sinar Matahari), tipe-tipe baru armillary spheres (cincin-cincin logam), dan sebuah kuadran raksasa. Alat terakhir disebut dikenal di Eropa beberapa abad setelahnya sebagai triquetem”.
Adapun sumbangan utama al-Battani terhadap trigonometri adalah sebagai berikut: Pertama, memecahkan masalah-masalah trigonometri sferis melalui cara-cara proyeksi. Kedua, al-Battani mengintroduksi pengertian Sinus dan Cosinus, serta teori Tangen dan Cotangen ke dalam trigonometri sebagai pengganti sistem chord Yunani (chord: tali busur) pada perhitungan astronomi dan trigonometri. Sinus adalah terjemahan bahasa Latin dari istilah bahasa Arab jaib yang berarti teluk atau garis bengkok. Sedang Cotangen dalam bahasa Arab disebut sebagai garis istiwa’ atau bayangan lurus dari gnomon. Dan Tangen adalah garis bayang-bayang melintang. Fungsi-fungsi Sinus, Tangen, Cotangen, dan Cosinus merupakan konsep-konsep dasar trigonometri modern.
Ketiga, al-Battani merintis penerapan operasi-operasi aljabar pada trigonometri pada segitiga sferis. Segitiga sferis adalah segitiga yang terdapat dalam permukaan lengkung (cekung atau cembung) sehingga jumlah ketiga sudutnya kurang atau lebih dari 180°. Kecuali itu, al-Battani juga telah menghitung tabel sinus, tangen, dan cotangen dari 0° hingga 90° dengan ketelitian tinggi.
*Disadur dari Menggali Nalar Saintifik Peradaban Islam, Husain Heriyanto (2011)