Oleh : Akmal Kamil
Bahasa Irfan adalah bahasa penyingkapan (kasyf) dan syuhud (penyaksian). Penyingkapan-penyingkapan irfani memberikan ungkapan dan pandangan khusus kepada lisan dan mata seorang arif tentang keberadaan dan kosmos eksistensi. Ungkapan dan pandangan ini merupakan hasil dari pengalam an esoterik dan temuan-temuan irfani. Dan ketika terkait dalam batasan teori dan penalaran (reasoning) ia berada dalam ruang-lingkup irfan teoritis, dua hal yang harus tuntas dalam pembahasan epistemologi irfani.
Dalam disiplin ilmu Irfan Islami, teoritis atau praktis, muksyafah (disclosure) merupakan masalah yang paling utama. Masalah ini telah dan tetap menjadi perhatian sepanjang masa.
Dalam Irfan praktis, amal dan olah-batin merupakan starting-point dan jalan thariqat menuju hakikat. Dengan meniti jalan sair suluk di penghujung seorang salik akan hinggap pada mukasyafah atas nama-nama atau dzati. Dengan demikian, kasyf (penyingkapan) dan syuhud (penyaksian) merupakan ujung jalan bagi seorang salik. Atas dasar ini, mukasyafah merupakan titik-henti (ending point) irfan praktis dan titik-mula (starting point) irfan teoritis. Kasyf dan syuhud adalah media untuk mengakses alam meta-natural atau umumnya disebut sebagai meta-fisika.
Dalam mengakses alam meta-fisika, para urafa menjadikan Quran dan Hadis sebagai nara-sumber hayati. Quran bagi para urafa tidak dipandang sebagai sekedar sebuah kitab biasa, namun ditilik sebagai firman Tuhan yang diturunkan kepada Nabi Pamungkas SAW melalui Jibril. Quran bagi mereka adalah kehidupan itu sendiri dan mata-air cemerlang cinta Ilahi yang tumpah-ruah dalam kehidupan para urafa. Boleh jadi, rahasia dinamik dan berpengaruhnya para urafa bagi umat manusia dan rahasia keabadian mereka adalah hubungan intens mereka dengan kalam Ilahi dan pemahaman terhadapnya. Dalam memahami kalam Ilahi, dalam kamus urafa, tidak terbatas pada kaidah linguistik, bentuk lahir dari ayat-ayat dan susunan gramatika saja. Mereka menembus batas-batas lahir menyelam samudera makrifat Ilahiah dengan menjelajah makna-makna batin dari firman Tuhan. Proses jelajah dan eksplorasi yang tertimbun dari makna lahir ini yang dalam ilmu tafsir disebut sebagai takwil. Sebuah pendekatan yamg menanjak (su’udi) mengambil emanasi dari tanzil (ayat-ayat Ilahi) yang bercorak menukik (nuzuli).
Dalam pandangan Mulla Shadra, baik Al-Quran dan manusia masing-masing memiliki tingkatan lahir dan batin, eksoterik dan esoterik. Batin Al-Quran dicerap manusia dengan ruhnya, tidak melalui indra dan persepsi lahiriyahnya. Tentu setelah melintasi tingkatan lahir dan derajat lafaz, dengan memperhatikan bentuk-bentuk lahirnya, manusia pada giliran selanjutnya, menembus tingkatan batin dan derajat makna. Pada lintasan ini, manusia (penakwil) mengeksplorasi makna tersebut dengan syuhud dan mukasyafah.
Sejalan dengan itu, hadis yang dinukil dari Rasulullah SAW yang menyatakan bahwa Al-Quran mengandung ayat-ayat lahir dan ayat-ayat batin, dan ayat-ayat batin itu mengandung 70 batin yang lain menjadi dalih bagi para penafsir untuk melakukan praktik tafsir irfani atau umumnya disebut sebagai takwil atau hermeneutik irfani.
Latar Sejarah Hermeneutik
Istilah hermeneutik (hermeneutic) populer disebut sebagai seni takwil. Kata ini merupakan derivasi dari kata verba Yunani (hermeneuien) yang bermakna “menakwilkan”. Hermenia berarti takwil dan galibnya istilah ini digunakan pada hal yang bertautan dengan takwil teks-teks suci. Plato menyebut para pujangga dan penyair sebagai interpreter dan penafsir (hermenes) para dewa.
Hermeneutik merupakan sebuah disiplin ilmu yang sangat kuno. Hermeneutik atau seni takwil memiliki akar pada keyakinan pada kesucian teks. Dengan mengikuti bahasa Ibrani, redaksi “ahli kitab” pada kebanyakan bahasa bermakna “ahli iman” dan kesucian teks ini merupakan warisan dari para nabi, pembesar agama, filosof, pengajar akhlak yang memuat makna-makna tertimbun dan terpendam. Tanpa menggunakan metode takwil, maka-makna yang terpendam dan tertimbun ini tidak akan pernah terungkap dan tersingkap. Namun dalam menyingkap batin dan kedalaman teks dan ucapan ini terkadang dilakukan melalui jalan berimaginasi pada ilmu perbintangan klasik, yaitu dengan jalan menyesuaikan teks-teks dan ucapan tersebut dengan bentuk-bentuk bintang. Terkadang penyingkapan ini dilakukan dengan jalan filsafat dan teologi. Dan terkadang juga dengan metode hermes yaitu melalui jalan takwil dimana jalan ini memiliki akar pada pemikiran hermenia dan hermeneutik. Redaksi hermenia atau ilmu hermenuetik bersumber dari Nabi Hermes. Konon, Socrates dalam dialognya dengan Cratlyus menyebut Plato sebagai penyambung lidah, ucapan dan seorang penakwil.
Hermes yang disebut dalam literatur Islam disebut Idris, di samping Plato dan Zarasustra adalah orang-orang yang dipandang oleh Syaikh Syihabuddin Suhrawardi sebagai para pembesar maktab Iluminasi (Isyraq). Tulisan kebanyakan dari astronom dan ahli kemistri yang menaruh perhatian pada hukum-hukum perbintangan menjadikan Hermes ini sebagai nara-sumber. Tradisi literatur Hermes ini berkembang di dunia Islam pada abad kedua Hijriah dan pada masa pemikir-pemikir seperti Ibnu Sina (Avicenna), Suhrawardi, Ghazali, Ibnu Thufail, Ibnu Arabi, pemikiran Hermes kurang-lebih telah bersemi di persada dunia Islam.
Poin asasi dalam kisah Hermes dan seni takwil pada umumnya dan boleh jadi seluruh karya terkait dengan Hermes, bersumber dari hermenuetik atau takwil dari pesan-pesan samawi dan malaikat-malaikat Ilahi. Sebagaimana Ibnu Arabi (1165-1240) yang mengambil emanasi dari ayat Al-Quran, “Dan Yusuf berkata, “Hai ayahku, inilah takbir mimpiku yang dahulu itu; sesungguhnya Tuhanku telah menjadikannya suatu kenyataan.” (QS. Yusuf [12]:100) dan berkata bahwa proses adopsi ilmu takwil atau hermeneutik ini adalah bersumber dari langit.
Dalam sebuah tulisan disebutkan persuaan Hermes dan akal. Tatkala Hermes sedang tertidur nyenyak Nous (akal) muncul dan menyebut namanya: “Apa yang engkau harapkan dari yang engkau dengarkan, lihat, pelajari dan pikirkan? Hermes berkata: “Siapa gerangan dirimu?” Nous berkata: “Aku adalah Poimandres, akal bangsawan.” Dalam kondisi tersebut, segala sesuatu di hadapanku berubah dan pada saat itu juga bertebaran dan mataku menerawang jauh tanpa mengenal tapal batas. Segala sesuatu tenggelam dalam cahaya. Dan ketika aku terbangun, aku berpikir bahwa cahaya itu merupakan rangkapan antara kekuasaan nir-batas dan dunia telah menjadi wilayah tanpa tapal batas.
Redaksi tulisan ini menandaskan bahwa ilmu hermeneutik merupakan ilmu yang kudus dan becorak divine (samawi) dimana para filosof dalam ranah pengetahuan ini memandang bahwa Hermes sebagai nara-sumber ilmu hermeneutik. Malaikat yang disaksikan Hermes dalam persuaan batin ini adalah malaikat yang hadir pada kondisi ekstasi yang dialami Suhrawardi (1154-1191 M). Para pemerhati Suhrawardi menyebut malaikat tersebut sebagai akal aktif. Suhrawardi sendiri yang berkata tentang arbab anwa’ (tuan-tuan segala spesis), sembari menyinggung Hermes, ia menyebut akal aktif tersebut sebagai dzat ruhani.
Ilmu hermeneutik telah melalui proses sejarah yang panjang di dunia Barat, pandangan dan gagasan yang muncul tentangnya bermacam-macam dan terkadang saling bertolak belakang. Di Barat, hermeneutik berproses dalam tiga jenjang historis, yaitu: hermeneutik pra-klasik, hermeneutik klasik, dan hermeneutik kontemporer. Pada jenjang pertamanya terhitung sejak hadirnya gerakan reformasi agama hingga abad kesembilanbelas Masehi dan munculnya pemikir Friedrich D. E. Schleiermacher. Masa kedua dari Schleiermacher hingga Martin Heidegger, dan zaman ketiga adalah pasca Heidegger yang dikenal dengan nama hermeneutik filosofis.
Hingga pada zaman Schleiermacher, hermeneutik hanya difungsikan sebagai media untuk interpretasi teks-teks Kitab Suci agama. Ia kemudian meluaskan subjeknya dan merumuskan kaidah-kaidah untuk menafsirkan teks-teks selain agama seperti kesusastraan dan hukum. Setelahnya, di tangan Wilhelm Dilthey, ranah hermeneutik semakin melebar mengkaji segala teks dan pemahaman terhadap masalah-masalah yang berhubungan dengan humaniora (human sciences). Pada akhirnya dengan perantaraan Heidegger, domain hermeneutik menjadi sangat universal yang membahas teks dan non-teks, fenomena-fenomena yang berkaitan dengan perilaku manusia, alam materi, dan metafisika.
Selayang Pandang Takwil Irfani
Setelah meninjau latar sejarah secara selintasan hermeneutik atau seni takwil, saya mengajak Anda untuk melihat geliat laju perkembangan tradisi hermeneutik ini dari sudut pandang irfan, khususnya Irfan Islam yang menjadi fokus pembahasan artikel ini meski secara selintasan.
Tradisi tafsir irfani sejatinya tidak terbatas hanya pada kalangan Muslimin atau urafa saja, lantaran Philo Alexandria (40 M) untuk pertama kalinya menggunakan metode penafsiran ini untuk kitab suci Taurat. Ia meyakini bahwa kitab suci memiliki sisi lahir dan dimensi batin. Dimana tingkatan batinnya lebih unggul dan transendental daripada derajat lahirnya. Pelanjut filsafat Alexandria, Origen Alexandria (185-254 M), seorang pembesar Katolik, berpandangan tentang adanya keragaman makna dari teks-teks suci dan perlu adanya penafsiran alegoris dan simbolik atasnya. Nelson, sejarawan kawakan Filsafat berkata ihwal Origen, Pandangan penting Origen tentang tafsir dan kitab suci tentang adanya ayat-ayat muhkam dan hakiki. Misalnya ayat yang mengatakan bahwa Tuhan memiliki tangan. Menurut Origen, ayat seperti ini harus ditakwil.
Dalam tradisi kaum Muslimin, yang paling menonjol pada penghujung abad keempat dan permulaan abad kelima Hijriah, dimana Abu Abdurrahman Sullami (412 H) mengumpulkan tafsir-tafsir dari Imam Shadiq (148 H), Abul Husain Nuri, Hallaj (309 H) dan Ibnu ‘Atha (309 H), dan menjadikannya dalam sebuah kitab mandiri Haqâiq al-Tafsir. Dan setelahnya, pada abad kelima karya ‘Abdul Karim bin Hawazan Qusyairi (465 H) menyusun sebuah kitab tafsir irfani yang lengkap dengan nama Lathâif al-Isyârah. Demikian juga pada abad ini filosof seperti Ibnu Sina (908-1037 M) dengan karya Asrâr al-Âyat pada namath 10 kitab al-Isyârah wa al-Tanbihât menunjukkan kegemarannya terhadap tafsir irfani ini.
Demikian seterusnya hingga abad ketujuh kita berhadapan dengan pemikiran hermeneutis (takwil) Ibnu Arabi (638 H) hingga abad-abad setelahnya, tetap berpengaruh pada dunia Islam dan di kalangan urafa Muslimin. Pemikiran hermeneutis ini dapat disaksikan pada karya magnum opus Ibnu Arabi Futuhat dan Fushus al-Hikam yang terangkum dengan nama Rahmat min al-Rahman fii Tafsir wa Isyârat Al-Qurân pada catatan pinggir kitab Tafsir I’Jaz al-Bayân fi Tarjamat Al-Qurân karya Shadruddin Qunawi. Meski kita tahu bahwa Ibnu Arabi memiliki kitab yang lain dengan nama Tafsir Al-Quran al-Karîm yang sejatinya adalah karya Abdurrazaq Kasyani, pengulas (syârih) ternama kitab Fushûs al-Hikam.
Starting-poin pembahasan esoterik dan eksoterik Al-Quran dan ikutannya yaitu munculnya pelbagai penafsiran lahir dan batin, metode pemahaman adalah riwayat yang dinukil dari Nabi SAW, “Sesungguhnya setiap ayat Al-Quran memiliki sisi lahir dan sisi batin. Dan dari setiap batin ini memuat 70 batin yang lain.” Dalam riwayat yang lain, disebutkan hingga mengandung 700, bahkan 7000 batin yang lain.
Sepintas tampak bahwa hadis ini juga masih memerlukan takwil dari apa yang dimaksud lahir dan batin ini. Oleh itu, Imam Baqir dalam menafsirkan nukilan ini bersabda: “Lahir Al-Quran adalah tanzilnya. Dan batinnya adalah takwil. Sebagian dari takwil ayat tersebut disebutkan dalam riwayat dan sebagian lainnya tidak disebutkan. Takwil ayat-ayat tersebut laksana proses pancaran mentari atas purnama.” (Nikunam: 2003)
Hermeneutik, Takwil dan Tafsir
Paul Ricoeur ketika mendefinisikan hermeneutik menyebutkan: “Teori aktivitas pemahaman yang berhubungan dengan interpretasi (takwil) teks.” Antony Kerbooy, hermeneutik adalah ilmu atau teori penakwilan. Andrew Bovy memandang hermeneutik sebagai keahlian interpretasi.
Takwil secara leksikal bermakna memulangkan atau mengembalikan lafaz dari makna lahiriyah (eksoterik) kepada makna yang dimungkinkan dengan syarat makna yang dimungkinkan tersebut selaras dan sejalan dengan Al-Quran dan Hadis.
Dzahabi dalam Al-Tafsir wa al-Mufassirun menulis bahwa takwil merupakan ambilan dari awal dan bermakna ruju’. Âla asy-Syai, Ya’ulu Awlan wa Maalan; ruju’ wa awwala asy-syai: rajja’ahu.
Alusi dalam Ruhul Ma’âni berkata bahwa takwil adalah isyarah qudsi dan makrifat-makrifat ketuhanan dimana para salik berusaha menggali endapan redaksi dan melepaskan dahaga jiwa para arif dari awan-awan gaib yang menyelimuti.
Henry Corbin, mengawali bukunya, Philosophy of Islamic History, dengan pembahasan tafsir batin yaitu takwil. Ia, sembari menyinggung sejarah kemunculan takwil dan penyebarannya di kalangan Syiah, berusaha menetapkan dan membuktikan bahwa takwil merupakan sesuatu yang bersifat esoterik dan terbenam makna lahir Al-Quran. Corbin menegaskan bahwa takwil adalah mengembalikan sesuatu pada asalnya. Orang yang mempraktikkan takwil adalah orang yang mengembalikan sebuah penjelasan pada makna lahirnya dan hinggap pada pemahaman hakikinya. Takwil adalah tafsir batin dan tafsir simbolik.
Mulla Shadra berpandangan bahwa takwil merupakan sebuah keniscayaan dalam penafsiran. Karena di balik (beyond) makna leksikal dan lahir Al-Quran yang memiliki hubungan dengan dunia eksistensi, terkandung selaksa rahasia, makna simbolik, dan makna-makna yang menjuntai dimana dengan metode tafsir redaksional, ayat-ayat Al-Quran tidak dapat dipahami. Ia menegaskan bahwa makna-makna eksoterik Al-Quran tidak kuasa mengemban tugas untuk menyingkap realitas-realitas dan rahasia-rahasia tertimbun di balik makna lahirnya.
Abu Ubaidah dan sekelompok orang berkata: “at-Tafsir wa at-Ta’wil bema’nan wâhid.”
Allamah Thabathabai menyebutkan bahwa pendapat adanya kesamaan antara takwil dan tafsir merupakan sesuatu yang masyhur.
Namun sebagian ulama lainnya berpendapat adanya perbedaan makna (tabâyun) antara tafsir dan takwil sebagaimana ada yang berpandangan adanya kesamaan (taraduf) makna antara tafsir dan takwil.
Raghib berkata bahwa tafsir coraknya lebih umum ketimbang takwil. Tafsir kebanyakan bertautan dengan lafaz sementara takwil berurusan dengan makna. (Raghib al-Isfahani, Mufrâdat Al-Fâzul Qurân, redaksi tafsir)
Redaksi takwil disebutkan pada 7 surah dan 15 ayat. Dimana ayat yang paling benderang menyinggung tentang takwil adalah pada surah Al-Imran, ayat 7. Sementara tafsir hanya sekali disebutkan, “Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sebuah perumpamaan, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya.” (QS. Furqan [25]:33)
Tsa’labi yang merupakan gelar bagi Abu Ishaq Naisyaburi pengarang “al-Kasyf wal Bayân ‘an Tafsiril Qurân dalam menjelaskan perbedaan antara tafsir dan takwil berkata bahwa tafsir adalah penjelasan atas penetapan lafaz, baik ia bersifat hakikat (real) atau majazi (figuratif), namun takwil merupakan tafsir esoterik lafaz.
Henri Corbin memandang bahwa tafsir merupakan langkah awal sementara takwil sebagai langkah kedua. Corbin memandang takwil idem ditto dengan hermeneutik.
Ibnu Arabi tatkala menuliskan ihwal takwil mimpi Yusuf menuturkan: “Dan Yusuf berkata, “Hai ayahku, inilah takbir mimpiku yang dahulu itu; sesungguhnya Tuhanku telah menjadikannya suatu kenyataan.” (QS. Yusuf [12]:100) pada dunia persespi pasca dunia khayal (fantasi), sementara Rasulullah memandang dunia persepsi ini sebagai jenis dari tidur dan bersabda, “Manusia dalam keadaan tidur setelah mati mereka akan bangun.” Ibnu Arabi menambahkan, ucapan Yusuf “sesungguhnya Tuhanku telah menjadikannya suatu kenyataan,” sekedudukan orang yang melihat dirinya terjaga dalam tidurnya, melihatnya kemudian menakwilnya, dan ia tidak mengetahui dirinya sedang tertidur. Apa manfaatnya, ketika ia bangun dan berkata: “Aku melihat demikian, dan melihat seolah-olah aku terjaga dan menakwilnya demikian, ini seperti itu, lalu kalian perhatikan antara pencerapan Muhammad SAW dan pencerapan Yusuf AS (ini) ketika berkata: “inilah takbir mimpiku yang dahulu itu; sesungguhnya Tuhanku telah menjadikannya suatu kenyataan,” adalah bermakna dunia persepsi. Yusuf melihat apa yang dilihatnya pada alam fantasi kini ia saksikan pada dunia persepsi.
Lalu Ibnu Arabi mengajak kita melakukan komparasi antara pencerapan Muhammad SAW dan Yusuf AS berkata, “Lalu perhatikanlah alangkah sublimnya ilmu yang diwarisi Muhamamad SAW, yaitu ilmu awliya yang sempurna yang memiliki akses terhadap rahasia-rahasia ini. Izutsu, tatkala mengomentari tuturan ini, menulis bahwa menurut Ibnu Arabi pencerapan Muhammad SAW yang bersabda “Manusia dalam keadaan tidur setelah mati mereka akan bangun,” lebih dalam dari pencerapan Yusuf AS.
Lebih jauh Izutsu menulis, “Yusuf bentuk luaran dunia persepi ia pandang sebagai kebenaran sementara bentuk dalam dunia fantasi tersebut tidak lain terletak pada dunia persepsi. Lantaran fantasi tidak akan tampak kecuali dalam alam persepsi. Namun Muhammad memandang bentuk luaran dunia persepsi ini sebagai fantasi dalam fantasi. Karena ia memandang kondisi manusia dalam kehidupan duniawi berada dalam keadaan tidur. Dan Tuhan ber-tajalli (memanifestasi) dalam realitas dan identitasnya di dunia pasca kematian, artinya pada bentuk persepsi setelah bangun dan terjaga dari kehidupan dunia ini.
Dari definisi yang dijelaskan di atas dan tuturan Syaikh Akbar ini menegaskan bahwa takwil tidak berurusan dengan kaidah lingusitik dan bentuk eksoterik Al-Quran, namun bertautan dengan isu-isu yang menjelajah kedalaman lafaz dan batin ayat-ayat Al-Quran.
Dengan demikian dapat kita katakan adanya kedekatan atau kesamaan ilmu hermeneutik dan takwil dengan eksplorasi logis dan bersandar pada metodologi dasar penelitian. Atas alasan ini, Henry Corbin berulangkali menyebutkan kemiripan hermeneutik Qurani dan hermeneutik irfani Kristen. Menyitir, Ricoeur (1913-2005), tirai setiap simbol dan analogi tidak akan terkuak kecuali dengan praktik takwil dan hermeneutik.
(bersambung)