Irfan & Akhlak

Irfan dan Tasawuf Islam

Dalam pembahasan ini kita tidak memperdebatkan perbedaan istilah irfan dan tasawuf, tetapi sebagaimana yang kita lihat secara umum istilah irfan dan tasawuf digunakan secara sinonim di dunia Islam hari ini.

Jadi irfan adalah tasawuf itu sendiri menurut pendekatan tersebut, meskipun dari sisi pendekatan Syahid Muthahhari setiap kali ahli irfan ditinjau secara akademis maka hal tersebut dialamatkan pada ‘urafa, tetapi setiap kali ditinjau secara sosial dan kemasyarakatan maka hal ini dialamatkan pada mutasawwifah. Berbeda lagi dengan Imam Khomeni Qs, beliau berpendapat irfan yakni berhubungan dengan makrifat irfani, tetapi tasawuf berhubungan dengan aspek sayr suluk (riyaadhaah) seorang sufi.

Irfan secara etimologi bermakna pengetahuan, sebab itu irfan dan tasawuf Islam menunjukkan suatu bentuk pengetahuan, dimana perjalanan sayr suluk (riyaadhaah) seorang hamba kepada Allah SWT akan meniscayakan suatu bentuk pengetahuan yang lebih hakiki dari pada pengetahuan konsepsi (tashawwur) dan afirmasi (tashdiq) panca indra dan akal. Sebab itu bentuk pengetahuan irfani adalah hudhuri (presentif), bahkan bentuk pengetahuan hudhuri yang memiliki derajat yang tinggi.

Para sufi adalah ‘urafa (jamak dari arif), yakni mereka yang memperoleh pengetahuan hakiki ontologis. Pengetahuan yang diawali dengan makrifat nafs yang kemudian menyampaikan kepada makrifat Rabb (Man ‘arafa nafsahu fa qad ‘arafa rabbahu).

Oleh sebab itu, pengetahuan seorang sufi diperoleh setelah melewati stasiun-stasiun perjalanan kepada Allah, dan telah sampai (wushul) pada hakikat wujud yakni Allah SWT. Dan pada tataran ini ia telah mencapai derajat fana fillah serta pengetahuan sempurna, dimana pengetahuan ini adalah pengetahuan hakiki terhadap eksistensi dan realitas. berusaha mendapatkan jalan hidup dan berkembang di antara mazhab-mazhab pemikiran Islam.

Tahap lainnya adalah tahap dimana tasawuf berusaha mensingkronkan thariqah-nya dengan syariat, sehingga ia dapat lepas dari persangkaan buruk dan tuduhan orang-orang yang memandangnya menjauhi dan menyalahi syariat. Dan tahap akhir dari perjalanan perubahan tersebut, membangun dan mengembangkan silsilah (dalam tasawuf terdapat istilah silsilah mursyid atau syekh yang berfungsi pembimbing spritual), menjalankan ajaran-ajaran thariqah, serta membangun dan mengembangkan bentuk pengajaran yang sangat bernilai tinggi.

Pada akhirnya irfan dan tasawuf mengalami kemunduran dan kemerosotan secara berangsur-angsur disebabkan pengulangan dan taklid yang permanen, serta dominasi para mutasyabbih dan mutasawwifah (orang-orang yang hanya secara lahiriah sufi, tetapi tidak menjalankan irfan dan tasawuf secara hakiki). Tetapi irfan dan tasawuf mempunyai warisan yang sangat berharga dalam kehidupan masyarakat Islam dan kebudayaan Islam, serta masa penyebaran dan perkembangan irfan tersebut merupakan suatu masa kemekaran dalam ilmu dan makrifat Islami.

Sumber-sumber Irfan Islami

Pandangan sebagian pemikir Barat ahli ketimuran (orientalis) yang menisbahkan tasawuf Islam pada sumber non-Islami, bersandar atas persangkaan mereka bahwa ajaran Islam sendiri tidak memiliki potensi untuk pengembangan dan pengajaran tasawuf. Tapi ini suatu bentuk persangkaan yang tidak benar, sebab sebagaimana kita ketahui agama Islam penuh dengan ajakan hidup zuhud dan tidak mencintai dunia, bahkan untuk menjalani hidup demikian cukuplah umat Islam mengikuti dan meneladani sunnah dan sirah Nabi Muhammad SAW, serta Imam Ali. Dan juga kita temukan riwayat zuhud yang dilakukan oleh sebagian sahabat-sahabat Nabi SAW seperti ahli suffah.

Kitab suci Al-Quran dan kita hadits sendiri banyak mengisyaratkan kerendahan dan kehinaan harta dunia dan memperingatkan tentang adanya hisab hari akhirat, serta menganjurkan membersihkan batin

Selayang Pandang Sejarah Irfan dan Tasawuf

Sejarah irfan dan tasawuf melewati perjalanan dan perubahan dalam beberapa tahap, pada awal kemunculannya berusaha dan berupaya membuka jalan bagi dirinya di antara mazhab-mazhab pemirian Islam (mazhab Fiqih, Kalam, Hadits, Tafsir dan Filsafat).Yaknidari kecintaan terhadap alam materi beserta hal-hal yang melingkupinya: “Sungguh beruntung orang-orang yang mensucikan dirinya, dan mengingat nama Tuhannya, maka ia shalat, tetapi kamu mendahulukan kehidupan dunia, padahal akhirat itu lebih baik dan lebih kekal”.(Q.S. Al-A’laa: 14-17)

Adapun pembicaraan Al-Quran tentang tauhid dan menjadi landasan pandangan tauhid ahli irfan diantaranya: “Dimana saja kamu menghadap maka disitu wajah Allah (Q.S. Al-Baqarah: 115)”, “Dialah Yang Awal dan Yang Akhir, dan Dialah Yang Zahir dan Yang Batin (Q.S. Al-Hadid: 3), “Allah adalah cahaya langit dan bumi (Q.S. An-Nur:35)”.

Menurut Syahid Muthahhari, ayat-ayat ini jelas mengandung pemikiran dan perenungan pada tauhid yang lebih tinggi dari tauhid orang-orang awam. Dan terdapat dalam kitab hadis Al-Kaafi bahwa Tuhan mengetahui di akhir zaman akan datang orang-orang yang dalam pemahamannya tentang tauhid, untuk itu ayat-ayat surah Al-Hadid dan surah “Qul huwallahu Ahad” (Al-Ikhlas) diturunkan. Juga diriwatkan dalam hadits qudsi bahwa Allah berfirman “Hambaku mendatangi Aku dimalam hari dengan melakukan amal-amal sunnah, dan Aku mencintainya. Dan ketika Aku mencintainya, Aku adalah telinganya sehingga dia melihat mendengar dengan-Ku, dan Aku adalah matanya sehingga dia melihat dengan-Ku, dan aku adalah lidahnya sehingga dia berbicara dengan-Ku, dan Aku adalah tangannya sehingga dia mengambil dengan-Ku”.

Tentang sayr suluk dan melewati tahap-tahap kedekatan pada Tuhan sampai pada manaazil (terminal) paling akhir, cukuplah pandangan irfan ini ditinjau dengan ayat-ayat yang berhubungan dengan “Liqaullah”, “Ridwanullah”, dan ayat-ayat yang berhubungan dengan wahyu, ilham, pembicaraan malaikat dengan selain nabi (seperti kepada Hadhrat Maryam), serta lebih khusus lagi ayat yang berhubungan dengan “Mi’raj” Nabi suci Muhammad SAW.

Para sufi sendiri menyandarkan seluruh maqam-maqam dan stasiun-stasiun dirinya atas ayat dan riwayat, serta menjadikan Rasulullah SAW sebagai “Uswatun Hasanah” dan meniscayakan “Sirah” beliau dalam sair suluk mereka, yakni menjauhi pernistaan dunia dan penampakan kerahiban semata, dan bentuk ini apa yang mereka sebut sebagai “faqr Muhammadi”, dalam berhadapan dengan “Faqr Isawi”.

Dengan demikian, berdasarkan penjelasan singkat di atas dapat disimpulkan bahwa sumber irfan Islami itu sendiri, yakni dari kitab suci Al-Qur’an, kitab hadits, sunah dan sirah Rasulullah SAW.

Pembagian Irfan dan Amali dan Nazhari

Sebagaimana kita ketahui bahwa jalan irfan dan tasawuf adalah jalan kasf dan syuhud hakikat ontologis dan menghubungkan manusia pada hakikat tersebut bukan berdasar akal dan istidlaal, bahkan berdasar atas dzauq (pengalaman spiritual), isyraaqi (iluminasi), wusul (sampai), dan penyatuan pada hakikat. Dan untuk sampai pada tingkatan ini pesulukarus menjalankan disiplin-disiplin serta amalan-amalan khusus. Jadi maktab irfan tidak hanya bertumpu pada ilmu, tetapi amal yang menjadi asas dan dasar keaktualannya, dan bahkan ilmu itu sendiri hasil dari aktualisasi amal. Dan untuk mencapai pengetahuan (ilmu) irfani harus terlebih dahulu melewati tahap-tahap, yakni menjalankan sayr suluk dan menempuh stasiun-stasiun serta tingkatan-tingkatan maqam. Oleh sebab itu irfan Islam terbagi atas dua bagian; irfan amali dan irfan nazhari.

Irfan amali adalah menjelaskan program sayr suluk dan melewati tahap-tahap, stasiun-stasiun, serta mencapai kondisi-kondisi dan maqam-maqam untuk memperoleh pengetahuan irfani, sampai pada tauhid, serta fana, dimana semua proses itu disebut sebagai “thariqah”. Sedangkan irfan nazhari adalah keseluruhan ta’bir-ta’bir urafa tentang makrifat-makrifat, hasil kasf dan syuhud sufi pada hakikat, realitas Tuhan, alam (materi dan non materi), dan manusia, yang menurut Syahid Muthahhari, irfan dalam konteks ini seperti hikmah Ilahi (filsafat), yakni dalam konteks menafsirkan dan menjelaskan hakikat eksistensi.

Oleh sebab itu irfan nazhari sendiri adalah suatu bentuk pandangan dunia khusus yang memiliki landasan, mukadimah, dan permasalahan khusus. Bentuk irfan ini dibangun oleh arif dan sufi besar Islam Syaik Muhyidin Ibnu Arabi (560-638 H), dan irfan dalam hal ini memasuki babak baru.

Maqam dan Manzil Irfan

Para urafa meyakini bahwa untuk memperoleh maqam irfan hakiki, harus terlebih dahulu melalui stasiun-stasiun dan maqam-maqam, dimana tanpa melalui itu semua tidak mungkin sampai pada irfan hakiki.

Manzil dan maqam dalam terminologi irfan mempunyai makna yang saling berdekatan, perbedaannya hanya pada tataran tinjauan saja. Jika suluknya pesalik ditinjau dari segi ia jalan dan safar, maka kondisinya ini disebut sebagai manzil, tetapi jika ia dalam keadaan berhenti dan menetap, maka kondisinya ini disebut sebagai maqam. Tentang halnya menyebut dan mengkaji satu persatu manzil dan maqam yang dirumuskan oleh ahli irfan, tentu bukan tempatnya dalam tulisan ini. Karena itu kita cukup mengutip beberapa paragraf kalimat dari ulasan mukaddimah Kitab “Syarh Manaazil as-Saairin”. Ketahuilah bahwa orang-orang yang sayr dan berjalan dalam maqam-maqam ini sangat berbeda-beda, dan tidak ada urutan tertib secara pasti untuk mereka semua dan demikian pula tidak ada akhir yang berlaku secara menyeluruh bagi mereka. Sebab potensi-potensi mereka berbeda-beda semua, maka konklusi suluk mereka juga berbeda-beda.

Sebagai contoh “Mahbub Muraad”, sebelum ia memulai jalan suluk ia telah ditarik (jazabeh) dan hasilnya ia berada pada akhir (nihayah) sebelum awal (bidayah), dan kebalikan dari ini adalah “Muhib Murid”.

Dan sebagian lagi dikarenakan kekhususan yang ada padanya, maka ia tidak melakukan sebagian dari maqam-maqam, dan atau ia tidak berhenti di maqam tersebut.

Adapun urutan tertib yang disebutkan pada kitab Manaazil Saairin, sesuai dengan kondisi “Muhib” (pencinta), dimana ia mempunyai potensi secara menengah dan secara fitrah ia sempurna.

Sebahagian dari ‘urafa mengisyaratkan maqam dan manzil ini secara prinsip dan universal saja, dan tidak menjelaskannya secara partikular dan detail, sebab itu terdapat poin-poin yang sifatnya ambigu. Sebagian lagi menuliskannya dalam bentuk kisah atau cerita, tetapi ia tidak merumuskannya dalam bentuk yang menarik sesuai dengan minat pembaca. Dan sebagian lagi tidak memisahkan maqam-maqam khusus dari keniscayaan-keniscayaan umum. (Adapun perbedaan antara keniscayaan umum dengan maqam khusus, seperti zuhud misalnya, jika ia nisbahkan kepada pemula umum, maka zuhud adalah dharuri baginya, dan zuhudnya adalah zuhud dari kelezatan-kelezatan dunia. Tetapi zuhud khusus adalah zuhud dalam zuhud yang merupakan suatu maqam tinggi. Dalam maqam ini, hamba secara asasi melihat bahwa dunia tidak mempunyai kadar nilai, sehingga menjauh dari kelezatan dunia bukanlah suatu maqam baginya. Dan hamba seperti ini, punya dan tidak punya, sakit dan sehat, baginya semuanya adalah sama.

Ketahuilah! pada umumnya ulama irfan dan mereka yang memiliki isyaarah (petunjuk) dalam thariqat ini, sepakat bahwa seseorang tidak akan benar pada “nihayah” (akhir) kecuali jika benar pada “bidayah” (awal); sebab jika ia datang pada titik-mula (bidaayah) tidak benar, maka ia tidak akan memperoleh derajat nihaayah, sebagaimana bangunan, selain dengan pondasi-pondasi yang kokoh, ia tidak akan berdiri. Dan benarnya menjalankan bidayah-bidayah adalah merealisasikan perintah Tuhan sesuai dengan syariat Nabi Muhammad SAW dengan penyaksian ikhlas (yakni tanpa melihat amal dan tanpa perhatian sedikitpun pada balasan dan tujuan, serta melihat amal semata-mata liwajhillah) dan mengikuti sunnah Nabi SAW, memandang sangat besar larangan Tuhan (dengan meninggalkan larangan-laranganNya serta menjauhi larangan tersebut) diiringi dengan rasa takut (dari azab Tuhan), menjaga kesucian hukum-hukum syariat dan apa yang terdapat dalam kitab dan sunnah, kasih sayang terhadap manusia, dermawan dan pemberi nasihat, serta tidak membiarkan bebannya dipundak mereka, menjauhi duduk-duduk bersama orang yang membuat waktu berlalu dengan percuma, serta menjauhi setiap sebab yang membuat hati terpengaruh dengan fitnah.

Manusia dalam perkara sayr suluk ini terdiri atas tiga: sebagian beramal antara takut dan harapan, dengan perhatian pada kecintaan yang disertai dengan haya (malu), orang seperti ini disebut dengan murid. Sebagian dari waadi terpisah-pisah, terserap pada waadi jam dan disebut muraad. Dan selain dua tersebut adalah pendakwah yang tertipu dan tergoda. seluruh maqam-maqam berkumpul pada tiga tingkatan:

Pertama : Qaasid (orang yang bermaksud) memulai sayr suluk. Kedua : Masuk dalam pengasingan. Ketiga: Mendapatkan musyahadah, dimana hamba ditarik pada realitas tauhid dijalan fana.

Dalam kitab Syarh Manazil as-Sairin ini, penulisnya menyebutkan sepuluh bagian stasiun inti, yaitu ;

  1. Bidayat, 2. Abwaab, 3. Mu’amalat, 4. Akhlaq, 5. Usul, 6. Audiyah, 7. Ahwal, 8. Wilayaat, 9. Haqaaiq, 10. Nihaayat, yang masing sepuluh bagian inti tersebut memiliki 10 bagian-bagian lagi.

Tentu jika kita ingin memahami maqam dan manzil yang terdapat dalam konsep-konsep irfan tersebut, minimal kita harus mengkaji dan mempelajari kitab-kitab yang membahas khusus tentang hal ini, dan salah satu kitab yang membahas tema tersebut secara luas dan terperinci adalah kitab Syarh Manazil as-Sairin, yang di Hauzah Ilmiyah merupakan salah satu kitab pelajaran dan rujukan dalam masalah irfan amali.

Adapun pembahasan yang terdapat dalam irfan nazhari (teori) seperti; Wahdatul Wujud, Faidh Aqdas dan Faidh Muqaddas, Insan Kamil, A’yanu Tsaabitat, Hadhrat Ahadiyyah dan Waahidiyyah, tema-tema bahasan tersebut memerlukan tulisan terpisah secara sendiri.

Komentari Artikel Ini

comments

https://pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js
%d blogger menyukai ini: