Irfan & Akhlak

Keterkaitan Satu Kemuliaan dengan Kemuliaan Lain (1)

oleh : Syaikh Jawadi Amuli

Tiada satu pun kemuliaan yang menolak kemuliaan lain. Ini tidak seperti perbuatan buruk, di mana satu keburukan tidak dapat berkumpul dengan keburukan lain; sebagaimana orang-orang jahat tidak akan saling bersatu. Namun, antar perbuatan bajik, dapat bertemu dan saling berhubungan; sebagaimana orang-orang bajik satu sama lain dapat saling berhubungan.

Sementara itu, irfan (pengenalan terhadap Allah) merupakan sebuah kemuliaan insani yang adiluhung; begitu juga hamasah (jiwa kepahlawanan). Adalah mustahil seorang ‘arif  itu penakut, juga tidaklah mungkin pemberani sejati bukan seorang ‘arif. Apabila kita menemukan seorang ‘arif tunduk pada kediktatoran dan kezaliman penindas, maka keirfanannya bohong belaka. Dan apabila kita melihat seorang pemberani tidak memiliki makrifah (pengenalan, pemahaman), maka keberaniannya adalah kecerobohan, bukan keberanian sebenarnya.

Mengapa irfan mesti selaras dengan hamasah? Mengapa Imam Khomeini, dalam surat wasiatnya, menekankan bagian terpenting, yakni mengajak umat berpegang pada ajaran irfan, mangajak mereka menghayati munajat-munajat maksumin (orang-orang suci), seperti Doa Arafah, Munajat Sya’baniyah dan al-Shahifah al-Fathimiyah? Dan bagian terpenting yang lain, mengajak mereka agar bangkit melawan orang-orang zalim? Rahasianya, bahwa hakikat irfanadalah melepaskan diri dari (keterikatan dengan dunia), bukan menyingkir dari makhluk-makhluk Allah. ‘Arif adalah seorang yang meninggalkan (kehidupan) duniawi, bukan menyingkir dari kehidupan bermasyarakat. Dan pemberani (sejati) ialah orang yang memanfaatkan keberanian dan potensinya untuk menghidupkan tujuan yang adiluhung.

Tentang irfan dan ‘arif, almarhum Ibnu Sina mengatakan bahwa seorang ‘arif adalah pemberani, sebab, bagaimana tidak, ia tidak takut akan kematian.

Ya, hubungan irfan dengan keberanian dan hamasah adalah harmonis. Tiada seorang ‘arif  pun yang penakut, sebab ia tidak takut mati. Manakala ia tidak takut mati, maka otomatis ia seorang pemberani. Jadi, orang yang takut mati bukanlah ‘arif.

Telah dikatakan, seorang ahli irfan adalah seorang yang melepaskan diri dari (keterikatan dengan) dunia, bukan melepaskan diri dari makhluk Allah dan menyingkir dari kancah kehidupan bermasyarakat. Ini merupakan perkara yang sangat sulit dan berat. Imam Ali bin Abi Thalib pernah berkata, “Wahai dunia, perdayalah selainku. Sungguh, telah kuceraikan engkau tiga kali dan takkan rujuk lagi setelahnya.”

Mungkinkah seorang ‘arif merasakan bahwa dirinya tidak memiliki mas’uliyah (tugas dan tanggung jawab), sementara Allah SWT (telah) mengikat perjanjian dengan ulama yang haq bahwa mereka harus bangkit membela kaum mustadh’afin (tertindas) dan orang-orang lemah, serta menentang orang-orang yang bergelimang harta dan kemewahan? Meskipun semua manusia memiliki tanggung jawab, namun tanggung jawab para pemimpin masyarakat adalah lebih besar. Semua manusia tidak boleh berpangku tangan dalam membela kaum yang lapar dan menentang kaum yang perutnya selalu kenyang. Namun, yang paling berhak menjalankan tugas ini adalah ulama.

“Demi Dia yang memilah gabah (untuk tumbuh) dan menciptakan makhluk hidup, apabila orang-orang tidak mendatangi saya, dan para pendukung tidak mengajukan hujjah, dan tak ada perjanjian Allah dengan ulama bahwa mereka tidak boleh berdiam diri melihat keserakahan si penindas dan laparnya orang tertindas, maka telah saya lemparkan kekhalifahan dari pundak saya dan saya perlakukan orang yang terakhir seperti yang pertama. Dengan begitu, Anda akan melihat bahwa dalama pandangan saya, dunia Anda ini tidak lebih baik dari dengusan seekor kambing!” (Nahj-al-Balaghah, khutbah Syiqsyiqiyah)

Ya, Imam Ali (seakan) berkata, “Saya adalah bagian dari ulama, dan Allah menyerahkan tanggung jawab kepada ulama untuk mengentaskan kemiskinan dan memprotes kesewenang-wenangan.” Dengan demikian, jelaslah tugas kepemimpinan para pemimpin agama.

Imam Ali selanjutnya (seakan) berkata, “Karena Allah memberikan tugas kepada ulama untuk membela kaum yang fakir dan menentang perbedaan kelas, maka saya mengemban tanggung jawab ini.” Jelaslah, bahwa irfan adalah meninggalkan dunia dan mengabdi kepada masyarakat. Ketika dikatakan bahwa irfan adalah melepaskan diri dari tanggung jawab terhadap umat manusia, maka seorang ‘arif  mesti merasa mengemban tugas ini dan ia harus menunaikannya, berjuang, dan berkorban.

Karena itu, dalam diri Pemuka Syuhada (Imam Husain), bersemayam, di satu sisi, Doa Arafah dan di sisi lain, “Saya bangkit menempuh jejek kakek dan ayah saya. (Memang) banyak para pemimpin sebelum saya, namun saya bertindak berdasarkan sirah (garis) kakek dan ayah saya. Meskipun (telah) seperempat abad orang-orang mengikuti sirah para pemimpin lain, tetapi saya bangkit untuk melanjutkan misi kakek dan ayah saya—salam atas mereka.” Ya, ketahuilah, munajat-munajat Imam Husain juga merupakan sebentuk munajat yang bersifat hamasi.

Dua aspek ini (irfan dan hamasah) yang kita saksikan dalam sirah Sayyidus Syuhada, dapat kita saksikan pula dalam ucapan dan tulisan Imam Ali. Dan doa merupakan sebaik-baik manifestasi “kebutuhan” dan irfan seseorang. Hamba yang selalu membutuhkan dan tunduk kepada Allah merupakan manifestasi irfan, dimana bentuk hubungannya (dengan Allah) bukanlah (seperti) antara budak dengan tuannya. Allah menyatakan bahwa kedekatan diri-Nya terhadap kita adalah lebih dekat dari setiap maujud. Sebelum kita mengetahui apa yang hendak kita katakan, Allah telah lebih dahulu mengetahuinya. Allah mengetahui apa yang kita inginkan sebelum kita mengungkapkannya. Sebab, Dia Maha Mengetahui isi hati kita.

Ya, doa adalah (media) untuk mempererat hubungan hamba dengan Tuhan (nya), yang apabila (bentuk) hubungannya adalah seperti budak dengan tuannya, maka ia menjadi tak bernilai. Orang ‘arif  berdoa dan orang awam pun berdoa. Namun, doa ‘arif  adalah, “Ya Allah, ambillah dariku..!” Sementara doa orang biasa adalah, “Ya Allah, berilah aku..!” Ya, seorang ‘arif  akan berseru, “Ya Allah, ambillah jiwaku di jalan agama-Mu, ambillah kehormatanku di jalur agama-Mu; (dan) ambillah hartaku di garis agama-Mu. Ya Allah, belilah (ambillah) apa yang ada pada diriku..!” Allah Swt berfirman:

Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang di jalan Allah, lalu mereka membunuh atau terbunuh. Itulah janji Allah di dalam taurat, Injil, dan al-Quran. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual-beli yang telah kamu lakukan itu, itulah kemenangan yang besar. (QS. At-Taubah : 111)

Intisari doa seorang ‘arif  adalah, “Ya Allah, terimalah persembahanku!” Sedangkan seorang yang bukan ‘arif  akan berkata, “Ya Allah, berilah aku harta, anak, surga, kehormatan, kemuliaan, kedudukan, dan kebesaran.” Tangan yang selalu mengambil (meminta) tidak memiliki apa-apa. Ini bukan seorang ‘arif  dan sudah pasti bukan ahli hamasah. Sementara itu, tangan yang selalu memberi adalah tangan seorang ‘arif . Inilah doa Imam Ali bin Abi Thalib, “Ya Allah, karuniakanlah (kepada) kami kedudukan syuhada.” Maksudnya, “Aku berikan jiwaku kepada-Mu, syahidkanlah aku. Syahidkanlah diriku, aku persembahkan hartaku kepada-Mu.”

Mereka (para imam) mengajarkan kepada kita, agar berdoa, “Ya Allah, karuniakanlah taufik kepada kami untuk mati (terbunuh) di jalan-Mu.” Artinya, “Ya Allah, ambillah nyawaku. Janganlah Engkau biarkan aku mati di pembaringan dan perawatan, mati lantaran sakit. Sebab mati dalam keadaan itu tidaklah membanggakan. Ya Allah, berilah aku taufik (berupa) kematian dalam peperangan dengan wajah berlumur darah.” Inilah ajaran makrifah.

Doa seorang ‘arif  berbeda sekali dengan doa seorang yang bukan ‘arif. Kaum ‘arifin memiliki bacaan dan doa (yang khas), tetapi keinginan mereka tidak banyak, meskipun bukan merupakan masalah apabila mereka menginginkan sesuatu. Nabi Ayyub sangat tabah menghadapi semua cobaan yang menimpa, beliau tidak menginginkan sesuatu. Yang beliau panjatkan hanyalah apa yang dialaminya :

Sesungguhnya aku ditimpa penyakit, dan Engkau adalah Tuhan yang Maha Penyayang di antara semua penyayang. (QS. Al-Anbiya : 83)

Selama para wali Allah tidak diperkenankan (meminta sesuatu), mereka tidak akan menginginkan sesuatu. Ini mengajarkan bahwa kita harus melepaskan kepentingan pribadi kita lantaran Allah.

Ya, doa seorang ‘arif  adalah mengajak dan memberi, seperti, “Ya Allah, terimalah dan ambillah nyawa kami.” Ketika Sayyidah Zainab berdoa, beliau berseru, “Tuhan, terimalah debu dan darah segar dari kami ini.”

Manakala syuhada berada di medan pertempuran, doa yang terungkap saat itu adalah, “Ya Allah, terima pengorbanan ini.” Namun, doa seorang ‘abid yang zuhud adalah, “Ya Allah, berilah aku..!” Seorang ‘arif  akan berusaha menjadi mazhhar (perwujudan) sifat Allah yang Maha Dermawan, Pemurah dan Pemberi. Sementara, seorang ‘abid, adalah penampakan (dari) sifat meminta dan mengambil. Dan, manakala permohonan irfan bersifat khas, yaitu “memberi”, maka ini tidak bertentangan dengan hamasah, bahkan selaras.

Zuhud dan ibadah merupakan bagian dari irfan. Meskipun ini merupakan keutamaan, namun sisi kekurangannya adalah adanya cacat di dalamnya (bila zuhud diartikan sebagai menyingkir dari kehidupan bermasyarakat,—penerj.). Sementara, kekurangan ini tidak selaras dengan sifat keberanian. Apabila tidak demikian, maka sebuah kemuliaan tidak akan bertemu dengan kemuliaan lain. Padahal, (sebagaimana telah dibahas) sebuah keutamaan tidak (mungkin) bertentangan dengan keutamaan lainnya.

Dalam pada itu, insan kamil merupakan kumpulan dari seluruh (nilai) kemuliaan. Apabila kita tengok doa Nabi SAW, akan kita temukan, dalam doa-doa beliau yang ada adalah permohonan agar persembahan beliau kepada Allah dikabulkan, bukan permintaan. “Ya Allah, terimalah aku! Terimalah persembahanku di jalan-Mu.”

Jadi, yang dipanjatkan bukanlah, “Berilah aku surga,” Tetapi, “Ambillah apa yang ada pada diriku! Ambillah apa yang kumiliki untuk (kepentingan) umat manusia.” Ya, apabila seseorang menjauh dari dunia dan dari makhluk Allah (umat manusia), maka ia bukanlah seorang ‘arif .Sebab, seorang ‘arif adalah seorang yang berusaha untuk tidak membiarkan dirinya diselimuti tipuan fatamorgana duniawi. Usaha dan upayanya adalah untuk maslahat umat, memecahkan problem yang dihadapi dan membantu mereka.

Imam Ali mengatakan bahwa terdapat dua tujuan risalah para nabi: Pertama (yang berkaitan dengan) masalah ilmiah dan akal nazhari (teoritis), “Kemudian Allah mengutus para rasul-Nya untuk mereka, dan menugaskan para Nabi-Nya kepada mereka, untuk mengambil kembali perjanjian fitrahnya. Dan mengingatkan mereka akan nikmat-Nya yang dilupakan, menyampaikan hujjah, dan menerbitkan akal-akal mereka yang terbenam.” Kedua, masalah-masalah akal ‘amali (praktikal seperti kehendak, ikhlas, niat, ibadah, dan lainnya). Dalam hal ini, para nabi diutus untuk melepaskan umat dari penyembahan berhala.

Apabila seseorang memperoleh taufik (sehingga dapat) membebaskan umat dari perbudakan hawa nafsu dan mengantarkan mereka menjadi penyembah Allah, maka orang tersebut telah melaksanakan tugas para nabi. Dan, untuk sampai pada tujuan ini, seseorang harus berperang (berjuang), dan semangat juang adalah hamasah! (Bersambung……)

Komentari Artikel Ini

comments

https://pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js
%d blogger menyukai ini: