Perspektif

Mengembangkan Sistem Kerja Sama Umat Islam

Untuk mencapai persatuan di kalangan umat Islam, kita harus mencari common denominator, suatu persamaan kriteria pengikat dalam satu pokok, senasib. Kita tahu bahwa kaum mukminin itu bersaudara. Jadi siapa saja yang seiman, bersaudara. Inilah ikatan utama, sama-sama percaya kepada Allah, mengakui bahwa Muhammad itu Rasulullah, Al-Quran itu Kitabullah, melaksanakan puasa, shalat, haji dan sebagainya. Semua adalah Muslim, semua adalah Mukmin.

Secara luas, ada tiga tingkatan Ukhuwah : Pertama, Ukhuwah Insaniah: yaitu persaudaraan diantara sesama manusia, secara menyeluruh. Kedua, Ukhuwah Rabbaniah: yaitu ikatan diantara mereka yang percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa, Ketiga, Ukhuwah Islamiah: berarti ikatan persaudaraan sesama umat Islam.

Ukhuwah Insaniah merupakan persaudaraan kemanusiaan yang bersifat universal. Dalam Al-Quran disebutkan bahwa Allah menciptakan manusia bersuku-suku, berbangsa-bangsa agar mereka saling ta’arruf, saling kenal. “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”(QS. Al-Hujurat : 13).

Perlu pula saya sampaikan, bahwa Ukhuwah Islamiah tidak hanya meliputi ukhuwah di kalangan umat Islam sendiri. Ukhuwah umat Islam adalah persaudaraan dan kerjasama yang bersifat universal, yang juga bisa diterapkan atas seluruh umat manusia secara luas, sesuai dengan ayat Al-Quran : “Dan tidak Ku-utus engkau (wahai Muhammad) kecuali sebagai rahmat bagi sekalian alam.”(QS. Al-Anbiya : 107). Oleh karenanya, kita diharapkan memiliki rasa saling menghargai, saling mencintai sesama manusia, meski pendirian, agama dan ras kita berbeda. Kita harus punya rasa persaudaraan, sepanjang mereka tidak mengganggu kita.

Akan halnya persaudaraan rabbani, Al-Quran juga memerintahkan bahwa sesungguhnya ada golongan-golongan yang lebih dekat kepada kita, daripada golongan Ateis atau Yahudi yang tidak menyembah Allah. Allah berfirman : “Engkau (Muhammad) akan menemukan golongan yang paling dekat persahabatannya dengan orang-orang beriman, ialah golongan yang berkata, Kami adalah orang-orang Nasrani.”(QS. Al-Maidah : 82)

Persatuan dengan Ishlah

Jika terjadi perselisihan di kalangan umat Islam haruslah didamaikan, harus ada ishlah di antara yang berselisih. Kita, misalnya, memang tidak bisa menyatukan Sunni dan Syi’ah, karena hal itu berakar dalam sejarah yang panjang. Tapi bukannya tidak mungkin terjadi kerja sama di antara keduanya. Mereka memang punya beberapa pandangan yang tidak sama dengan kita. Kita harus mau mempelajari dan untuk kemudian memahaminya. Banyak yang berbeda karena memang sejarah turut berperan. Tapi pandangan mereka seperti yang diwakili oleh Ali Syariati, Muthahhari dan sebagainya, banyak yang bagus. Jadi kita hendaknya jangan buru-buru menolak. Penolakan yang kelewat dini merupakan kelemahan umat Islam. Karenanya kita harus menggalang persatuan sesama kita. Andaikata golongan-golongan yang ada memiliki beberapa perbedaan satu sama lain, maka itu adalah soal biasa dan wajar. Dalam kerangka tetap menjaga keutuhan ukhuwah, memperbincangkan perbedaan-perbedaan yang ada, justru dapat memperjelas kedudukan dan berbagai hal tentang faham kita sendiri. Menurut saya, untuk mewujudkan ukhuwah tidak perlu harus ada satu pola pemikiran. Melainkan dalam hal ini kita justru harus beragam, asal ditempatkan dalam kerangka keseluruhan yang terpadu.

Penghalang-Penghalang Ukhuwah

Dalam kerangka mewujudkan ukhuwah ini, menurut Al-Quran paling sedikit ada dua hal yang harus dihindari. Pertama, hendaknya kita jangan memperolok-olok atau mencemooh orang lain, karena siapa tahu yang dicemooh itu justru lebih baik dari kita. “Wahai kaum yang beriman, janganlah kamu memperolok-olokkan kaum yang lain, karena boleh jadi mereka yang diperolok-olokkan itu lebih baik daripada mereka yang memperolok-olok.”(QS. Al-Hujurat : 11). Kemudian , yang kedua, “Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah sebagian besar dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa, dan janganlah mencari-cari kesalahan orang lain, jangan pula sebagian kamu menjelek-jelekkan sebagian yang lain. Adakah di antara kamu yang suka makan daging saudaranya sendiri yang telah mati.”(QS. Al-Hujurat : 12).

Islam dan Keberagaman

Lalu bagaimanakah wujud ukhuwah dalam kondisi umat yang dibatasi oleh nilai-nilai sosial budaya dan sebagainya? Adanya perbedaan-perbedaan kondisi sosial budaya umat bukanlah suatu yang esensial. Kesemuanya itu, seringkali hanya berupa perbedaan ‘bahasa’. Al-Quran mengatakan bahwa tiap-tiap Nabi diutus dengan bahasa kaumnya. Kalau kaum itu berbahasa Arab, maka Nabinya juga berbahasa Arab dan sebagainya. Kalau kita menghadapi kaum intelektual, maka yang kita gunakan adalah bahasa intelektual. Bahasa di sini bukan bahasa dalam arti yang biasa, melainkan ‘bentuk-bentuk ekspresi’.Dalam kerangka ini, Islam tidak selalu menolak tradisi. Ketika Islam masuk Persia, misalnya, kebudayaan Persia bukannya hancur, malah justru berkembang. Demikian pula halnya dengan kebudayaan Mesir dan Yunani. Dia bisa saja perkasa secara fisik, tapi sangat toleran terhadap kebudayaan. Karena itu, maka di dalam Islam kebudayaan berkembang menjadi beraneka ragam. Meski demikian, perbedaan-perbedaan kebangsaan atau ashabbiyah, tanpa adanya ta’arruf, memang justru bisa menjadi penghalang besar bagi terwujudnya ukhuwah.

Peran Komunikasi

Untuk tercapainya suatu ukhuwah yang kuat, dalam keanekaragaman seperti ini, peran komunikasi bersifat amat menentukan. Yang penting adalah saling pengertian dan memahami dalam rangka fastabiqul khairat, berkompetisi di dalam hal-hal yang baik. Selanjutnya perlu diwujudkan ta’awun – ta’awanu ‘alal birri wat-taqwa – kerjasama dalam bidang-bidang kebajikan (birr).

Dalam bentuk praktisnya, komunikasi itu bisa dilakukan dalam berbagai forum, misalnya forum tertulis lewat majalah, koran, forum diskusi, forum pertemuan bersama dan semacam itu. Syukurlah, sekarang komunikasi relatif lebih baik dibandingkan pada masa-masa yang lalu. Pada masa tersebut, karena tidak adanya komunikasi, maka orang saling curiga-mencurigai. Tapi sekarang, setelah adanya banyak pertemuan intensif, maka ukhuwah mendapat dukungan yang besar. Dengan demikian, ukhuwah diharapkan bisa memperoleh kemajuan-kemajuan berarti.

Komentari Artikel Ini

comments

https://pagead2.googlesyndication.com/pagead/js/adsbygoogle.js
%d blogger menyukai ini: