Dalam Kitabnya ‘Matsnawi-e Maknawi’, Rumi bercerita:
Dahulu, di sebuah negeri antah berantah, ada seorang muazzin yang bersuara jelek. Setiap hari ia memanggil orang untuk shalat. Orang-orang memberi nasihat kepadanya, “Berhentilah kamu memanggil orang untuk shalat. Negeri tempat di mana kita hidup tinggal mayoritas bukan beragama Islam. Bukan tidak mungkin, suara kamu akan menciptakan kerusuhan dan melahirkan pertengkaran antara kita dan orang-orang non Muslim.” Tetapi muazzin itu menolak nasihat banyak orang. Ia justru bahagia dengan mengumandangkan azannya yang buruk itu. Baginya, melantukan azan untuk memanggil orang shalat di negeri di mana orang tak pernah shalat adalah sebuah kehormatan.
Suatu pagi, seorang pendeta dengan sikap yang bersahabat datang menemui jamaah kaum Muslimin. Di tangannya ada jubah, lilin dan manisan. Berulang-ulang ia bertanya, “Beritahu aku di mana muazzin itu? Tunjukkan padaku siapa dia, muazzin yang suara dan teriakannya selalu membuat hatiku bahagia.” Seorang Muslim bertanya, “Kebahagiaan macam apa yang kau peroleh dari suara jelek muazzin itu?”
Pendeta itu kemudian bercerita, “Suara muazzin itu masuk menembus sela-sela dinding gereja tempat aku dan keluargaku tinggal. Anak perempuanku yang rupawan dan berbudi pekerti ingin sekali menikah dengan seorang Mukmin sejati. Aku menolak keinginannya itu. Akhirnya ia pun jatuh sakit. Kecintaannya kepada Islam sudah tumbuh mengakar dalam hatinya. Memikirkan anak gadisku itu membuatku tersiksa, gelisah, dan menderita kerisauan terus-menerus. Aku khawatir dia akan masuk Islam. Dan aku berpikir tidak ada obat yang bisa menyembuhkannya.” Sampai suatu ketika, mendengar suara azan itu. Ia bertanya, “Suara apa yang tidak enak ini? Suara ini menusuk telingaku. Belum pernah dalam hidupku, aku mendengar suara seburuk ini di tempat-tempat ibadat atau gereja.” Saudara perempuannya menjawab, “Suara itu namanya azan, panggilan beribadat untuk orang-orang Islam. Bagi seorang yang beriman, azan adalah ucapan utama. Dia tidak percaya. Dia bertanya padaku, “Ayah, betulkah suara yang jelek itu adalah suara azan untuk memanggil orang sembahyang?” Aku meyakinkannya bahwa itu adalah suara azan.
Ketika dia sudah yakin, wajahnya berubah pucat pasi. Kecintaannya pada Islam sirna dan kebenciannya justru tumbuh dalam hatinya. Menyaksikan perubahan itu, aku merasa dilepaskan dari cenkeraman kecemasan dan penderitaan. Tadi malam aku tidur dengan nyenyak. Dan kenikmatan serta kesenangan yang kuperoleh berkat suara azan yang dikumandangkan muazzin itu.”
Pendeta itu melanjutkan, “Bawalah aku kepada muazzin itu. Aku ingin memberikan semua hadiah ini.” Ketika pendeta itu bertemu dengan si muazzin, dia berkata, “Mohon terimalah hadiah ini. Sungguh kau telah menjadi pelindung dan juru selamatku. Berkat kebaikan yang telah kau perbuat, kini aku terbebas dari derita yang selama ini menghimpitku. Sekiranya aku memiliki kekayaan dan harta benda yang banyak, akan kusumpal mulutmu dengan emas.”
Rumi lalu berkata, “Keimananmu wahai Muslim, hanyalah kemunafikan dan kepalsuan. Seperti ajakan muazzin itu, yang dimaksudkan untuk membawa orang pada jalan kebenaran, malah mencegah orang dari jalan yang lurus. Hatiku dipenuhi penyesalan, tapi iman dan ketulusan Bayazid al-Bustami melenyapkannya.”
Kesalehan muazzin yang bersuara jelek hanyalah pulasan: meletakkan nilai pada aspek-aspek lahiriah, menempatkan kemuliaan pada pelaksanaan secara harfiah teks-teks syariat. Seperti muazzin itu, ia mengira melaksanakan perintah agama, padahal ia menuang racun pada iman. Ia mengambil bungkusnya dan mencampakkan hakikatnya. Kesetiaannya pada teks-teks syariat mengabaikannya dari ajaran agama sebenarnya.
Namun, kesalehan Bayazid al-Bustami mengelokkan kemasan iman dan meneguhkan hakikat agama:
Setetes saja iman Bayazid masuk ke dalam samudra
Seluruh samudra tenggelam dalam cahaya iman
Jika sepercik api dari keimanan Bayazid jatuh di tengah hutan
Seluruh hutan akan sirna karna percikan iman
Pada diri Bayazid azan dimaksudkan agar orang menerima cahaya iman tapi muazzin yang bersuara jelek mengubahnya jadi bencana.
Sumber: Rumi. Matsnawi-e Maknawi (lihat juga Jalaluddin Rakhmat, The Road to Allah)